• About
  • Contact
  • Sitemap
  • Privacy Policy

Makalah Lengkap Ilmu Perundang-undangan

 

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pengujian peraturan perundang-undangan merupakan pengenalan dasar tentang judicial review (uji materiil sebuah peraturan perundang-undangan), yang di dalam sistem hukum di Indonesia, baru diadopsi setelah amandemen UUD 1945. Sebelumnya, tidak dikenal uji materiil sebuah peraturan perundang-udangan terhadap konstitusi. Dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman yang telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 dan diubah dengan UU No. 48 Tahun 2009, disebut kewenangan uji materiil peraturan perundang-undangan di bawah dan terhadap Undang-undang.[1]
Dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca perubahan, diadakan pembedaan yang tegas antara undang-undang dengan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 mengatur sebagai berikut : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar … “. Dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 mengatur sebagai berikut : “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang… “[2]
Dalam Pasal 145 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 mengatur sebagai berikut :
“Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.”
Dalam pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011, jenis dan Hierarki peraturan peraturan perundang-undangan yaitu :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
dari ketentuan tersebut diatas, dapat dipastikan mengenai apa saja bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan yang resmi dalam sistem hukum Indonesia berdsarkan UUD 1945 dan bentuk-bentuk peraturan mana saja yang lebih tinggi dan man yang lebih rendah tingkatannya satu sama lain. berkaitan dengan itu dapat pula diketahui dengan pasti mana saja bentuk peraturan perundang-undangan yang disebut sebagai peraturan di bawah undang-undang, mana saja yang setingkat dan mana yang lebih tinggi dari pada undang-undang.
B.     Rumusan Masalah
Dalam pembahasan Pengujian Peraturan Perundang-undangan ini kami membatasi masalah kedalam beberapa bagian, yaitu :
1.      Pengertian Pengujian Perundang-undangan?
2.      Siapa yang berwenang dalam pengujian peraturan perundang-undangan?





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
Judicial review, menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam buku Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma.
Jimly Asshiddiqie menjelaskan dalam bukunya bahwa dalam teori pengujian (toetsing), dibedakan antara materiile toetsing dan formeele toetsing. Pembedaan tersebut biasanya dikaitkan dengan perbedaan pengertian antara wet in materiile zin (undang-undang dalam arti materiil) dan wet in formele zin (undang-undang dalam arti formal). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dibedakan dengan istilah pembentukan undang-undang dan materi muatan undang-undang. Pengujian atas materi muatan undang-undang adalah pengujian materiil, sedangkan pengujian atas pembentukannya adalah pengujian formil.
Jadi judicial review mencakup pengujian terhadap suatu norma hukum yang terdiri dari pengujian secara materiil (uji materiil) maupun secara formil (uji formil). Dan hak uji materiil adalah hak untuk mengajukan uji materiil terhadap norma hukum yang berlaku yang dianggap melanggar hak-hak konstitusional warga negara.[3]
Pengujian peraturan perundang-undangan merupakan pengenalan dasar tentang judicial review (uji materiil sebuah peraturan perundang-undangan), yang di dalam sistem hukum di Indonesia, baru diadopsi setelah amandemen UUD 1945.[4]
Judicial Review merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Dalam praktik, judicial review (pengujian) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”). Sedangkan, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh Mahkamah Agung (“MA”).[5]
Judicial review merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku peruduk-produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif, legislatif, maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. Pengajuan oleh hakim terhadap produk-produk cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif adalah konsekuensi dari dianutnya prinsip check and balance  berdasarkan pada doktrin pemisahan kekuasaan (Sparation of power). Karena itu kewenanagan untuk melakukan judicial review melekat pada fungsi hakim sebagi subyeknya, bukan pada pejabat lain. Jika pengujian dilakukan bukan oleh hakim, tetapi oleh lembaga parlemen, maka pengujian seperti itu dapat disebut dengan legislative review. Jika dilakukan oleh pemerintahan yang berada pada struktur yang lebih tinggi terhadap produk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan oleh pemerintahan yang berada pada struktur lebih rendah, maka pengujian itu disebut administrative review.[6]
Baik judicial review, legislatif review, maupun administrative review, pada dasarnya merupakan kegiatan pengujian peraturan perundang-undangan, yang melahirkan konsekuensinya keberlakuan dan atau perubahan sebuah undang-undang.[7]
Amandemen UUD 1945 dan reformasi perundang-udangan di bidang peradilan telah memetakan secara jelas pengaturan tentang judicial review ini. Sementara dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang pemerintah daerah yang telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 juga menyebutkan kewenangan kewenangan Departemen Dalam Negeri untuk melakukan pembatalan sebuah peraturan daerah yang dianggap tidak berkesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Di parlemen, mekanisme peninjauan dan perubahan perundang-undangan juga tersedia.
Secara ringkas dapat dirumuskan, kewenangan judicial review di Indonesia dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Sementara kewenangan administratfi review melekat pada Departemen Dalam Negeri, sebagai departemen yang secara administrative menanggungjawabi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sedangkan kewenangan legislatif review dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat.[8]
B.     Lembaga Yang Berwenang Dalam Pengujian Peraturan Perundang-undangan[9]
1.      Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi (MK) adalah salah satu lembaga Negara yang lahir pascaamandemen UUD 1945, yang termasuk rumpun lembaga yang menjalankan fungsi yudikatif. Berdasarkan UUD 1945 Pasal 24 C Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan salah satunya adalah menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar 1945. Lebih lanjut kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam UU. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa UU yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah UU yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945, yaitu perubahan pertama UUD 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999.
Kewenangan memutus permhonan judicial review yang dimiliki Mahkamah Konstitusi merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir, keputusannya bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta tidak ada upaya hukum lain.
Pasal 10 UU No. 24 tahun 2003 menyebutkan:
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a.       Menguji UU terhadap UUD dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
b.      Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945
c.       Memutus pembubaran partai politik dan
d.      Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Pemohon dari pengujian UU adalah pihak yang menganggap hak dan / atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya sebuah UU, yaitu:
a.       Perorangan WNI
b.      Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU
c.       Badan hukum public
d.      Lembaga negara
Yang dimaksud hak konstitusional menurut penjelasan pasal 51 UU No. 24 tahun 2003 adalah hak-hak yang diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, sedangkan yang dimaksud dengan orang perorangan termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama.
2.      Mahkamah Agung
Hak uji materil terhadap peraturan perundang-undangan dibawah UU dapat dilakukan teradap materi muatan ayat, pasal dan/ atau bagian dari peraturan perundang-undangan yang bertengan dengan peraturan perundang-undangan yang lebuh tinggi maupun terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan ini diatur dalam pasal 31 A UU No. 5 tahun 2004 Mahkamah Agung sebagai berikut:
1.      Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
2.      Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:
a.       Nama dan alamat pemohon
b.      Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar  permohonan dan wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
1)      Materi muatan ayat, pasal, dan / atau bagian peraturan perundang-undangan dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undagan yang lebuh tinggi. Dan / atau
2)      Pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
c.       Hal-hal yang diminta untuk dihapus
3.      Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon atau permohonannya tidak memenuhi syarat, amar putusan menyatakan permohonan tidak diterima.
4.      Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan
5.      Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat 4, amar putusan menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan / atau bagian dari peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebuh tinggi.
6.      Dalam hal peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebuh tinggi dan/ atau tidak bertentangan dalam pembentukannya, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
7.      Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan peraturan perundang-undangan dibawah UU diatur oleh Mahkamah Agung
3.      Dewan Perwakilan Rakyat
Tidak ada mekanisme yang baku mengenai bagaimana, kapan dan terhadap UU seperti apa DPR melakukan peninjauan dan revisi UU. Kewenangan melakukan peninjauan terhadap UU melekat dan berpijak pada kewenangan yang dimiliki DPR sebagai lembaga legislasi.
Mengenai praktik selama ini, DPR bersama pemerintah melakukan berbagai perubahan UU, jika menemukan ketidaksesuaian UU dengan UU yang lain. Bisa juga karena factor ketertinggalan sebuah UU dengan situasi terbaru yang muncul belakangan, atau juga karena peristiwa hukum yang lahir belakangan tidak cukup terwadahi penyelesaiannya dalam UU yang sudah ada. Sebagai contoh, di tahun 2006 DPR bersama pemerintah melakukan peninjauan dan membahas perubahan UU tentang kesehatan. Juga UU pemilu, patai polotik, yang selalu hamper berubah-ubah pada setiap periode pemilu.
4.      Departemen Dalam Negeri
Kewenangan Departemen Dalam Negeri untuk membatalkan peraturan daerah jika tidak sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi ini merupakan konsekuensi dari keberdaan Departemen Dalam Negeri sebagai pihak yang diberi mandat untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintahan daerah. UU No. 32 Tahun 2004 bagian pendahuluan angka 7 (tujuh) menyebutkan pembinaan atas penyelenggraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintahan pusat dan atau Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam rangka pembinaan oleh pemerintah, menteri dan pimpinan lembaga pemerintah non-departemen melakukan pembinaan sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh menteri dalam negeri untuk pembinaan dan pengawasan provinsi serta oleh Gubernur untuk pembinaan dan pengawasan Kabupaten atau kota.
Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah, pemerintah malakukan dengan 2 cara :
1)      Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah (RAPERDA), yaitu terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh MENDAGRI untuk RAPERDA Provinsi, dan oleh Gubernur terhadap RAPERDA Kabupaten/Kota.
2)      Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di luar yang termasuk dalam angka 1, yaitu setiap peraturan daerahwajib disampaikan kepada MENDAGRI untuk provinsi dan Gubernur untuk Kabupaten/Kota untuk memperoleh klarifikasi.
Mekanisme pembatalan peraturan Daerah, disebutkan dalam pasal 145 UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, sebagai berikut :
1.      Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.
2.      Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
3.      Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
4.      Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah rnencabut Perda dimaksud.
5.      Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
6.      Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan ;sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
7.      Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda dimaksud dinyatakan berlaku.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Judicial Review Adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma. yakni menguji bertentangan-tidaknya suatu undang-undang terhadap konstitusi, dan peraturan UU dengan UU yang lebih tinggi.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang
Kewenangan melakukan peninjauan terhadap UU melekat dan berpijak pada kewenangan yang dimiliki DPR sebagai lembaga legislasi.
Departemen Dalam Negeri dalam Kewenangannya untuk membatalkan peraturan daerah jika tidak sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi ini merupakan konsekuensi dari keberdaan Departemen Dalam Negeri sebagai pihak yang diberi mandat untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintahan daerah.







DAFTAR PUSTAKA
Hasani, Ismail & Abdullah, A. Gani. Pengantar Ilmu Perundang-undangan, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.
Asshiddiqqi, Jimliy. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta : Konstitusi Press, 2006.
Artikel Judicial Review, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4257
Artikel Judicial Review, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1105/praktik-legislative-review-dan-judicial-review-di-indonesia, diakses tgl 14 mei 2012.


[1] Ismail Hasani & Prof. Dr. A. Gani Abdullah, SH. Pengantar Ilmu Perundang-undangan, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006. H.78.
[2] Prof. Dr. Jimliy Asshiddiqqi, SH. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta : Konstitusi Press, 2006. H.45
[3] Artikel Judicial Review, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4257
[4] Ismail Hasani & Prof. Dr. A. Gani Abdullah, SH. Pengantar Ilmu Perundang-undangan, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006. H.78.
[5] Artikel Judicial Review, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1105/praktik-legislative-review-dan-judicial-review-di-indonesia, diakses tgl 14 mei 2012.
Makalah Lengkap Ilmu Perundang-undangan 4.5 5 Unknown BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Pengujian peraturan perundang-undangan merupakan pengenalan dasar tentang judicial review...


No comments:

Post a Comment

Aturan Berkomentar :

1. Menggunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang Berkomentar spam, flood, junk, iklan, sara, sex dsb.(Komentar Akan Saya Hapus)
3. Silahkan gunakan OpenID untuk mempermudah blogwalking

J-Theme