PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA PELAKU USAHA BERDASARKAN KONTRAK DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM
A. Pertanggungjawaban Pelaku Usaha
Tanggung jawab hukum produsen dimakna harfiahkan sama halnya dengan tanggung jawab hukum pelaku usaha. Di mana pelaku usaha itu sendiri adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.86 Dalam UUPK Bab VI Pasal 1987 sampai dengan Pasal 28 UUPK, mengatur mengenai tanggung jawab perdata dari pelaku usaha terhadap konsumennya. Menurut Pasal 19 UUPK, tanggung jawab pelaku usaha ialah memberikan ganti rugi kepada konsumen sebagai akibat kerusakan, pencemaran, dan/atau barang dan jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan oleh pelaku usaha. Ganti rugi tersebut tidak selalu berupa pembayaran sejumlah uang, tetapi dapat pula berupa penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau berupa perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di samping tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 UUPK, hak-hak konsumen yang telah diatur dalam Pasal 4 UUPK hanyalah mungkin ditegakkan apabila pelaku usaha bersedia dengan sukarela memenuhi tuntutan konsumen terhadap pemenuhan hak-haknya yang dilanggar oleh pelaku usaha.
Apabila pelaku usaha tidak bersedia melaksanakannya secara sukarela, sedangkan konsumen beranggapan bahwa pelaku usaha yang bersangkutan telah melanggar kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan yang ditentukan oleh UUPK dan merugikan pihaknya, maka penegakan hak-hak konsumen itu hanya dapat dituntut kembali dengan proses penyelesaian sengketa yang ditentukan dalam UUPK.88 Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha perlu pula untuk diketahui di mana telah tertuang dalam Bab IV UUPK dari Pasal 8 sampai dengan Pasal 17. Dalam Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang, dan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam, label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan /atau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang rusak, cacat, atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat, atau bekas, dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut secara wajib menariknya dari peredaran.
Merupakan asas hukum yang umum berlaku dalam hukum perdata bahwa ganti rugi hanyalah mungkin diwajibkan kepada pelaku usaha untuk memberikannya kepada pihak yang dirugikan apabila telah terpenuhi hal-hal sebagai berikut:89 a. Telah terjadi kerugian bagi konsumen; b. Kerugian tersebut memang adalah sebagai akibat perbuatan pelaku usaha; c. Tuntutan ganti rugi telah diajukan gugatannya oleh pihak yang menurut UUPK berhak mengajukan gugatan (Pasal 46 ayat 1); d. Telah ada putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap sehingga telah dapat dilaksanakan, putusan tersebut dapat berupa hasil kesepakatan antara pelaku usaha dan konsumen yang telah menyelesaikan sengketanya melalui penyelesaian damai, atau berupa putusan arbitrase, BPSK atau putusan pengadilan.
A. Pertanggungjawaban Pelaku Usaha
Tanggung jawab hukum produsen dimakna harfiahkan sama halnya dengan tanggung jawab hukum pelaku usaha. Di mana pelaku usaha itu sendiri adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.86 Dalam UUPK Bab VI Pasal 1987 sampai dengan Pasal 28 UUPK, mengatur mengenai tanggung jawab perdata dari pelaku usaha terhadap konsumennya. Menurut Pasal 19 UUPK, tanggung jawab pelaku usaha ialah memberikan ganti rugi kepada konsumen sebagai akibat kerusakan, pencemaran, dan/atau barang dan jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan oleh pelaku usaha. Ganti rugi tersebut tidak selalu berupa pembayaran sejumlah uang, tetapi dapat pula berupa penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau berupa perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di samping tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 UUPK, hak-hak konsumen yang telah diatur dalam Pasal 4 UUPK hanyalah mungkin ditegakkan apabila pelaku usaha bersedia dengan sukarela memenuhi tuntutan konsumen terhadap pemenuhan hak-haknya yang dilanggar oleh pelaku usaha.
Apabila pelaku usaha tidak bersedia melaksanakannya secara sukarela, sedangkan konsumen beranggapan bahwa pelaku usaha yang bersangkutan telah melanggar kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan yang ditentukan oleh UUPK dan merugikan pihaknya, maka penegakan hak-hak konsumen itu hanya dapat dituntut kembali dengan proses penyelesaian sengketa yang ditentukan dalam UUPK.88 Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha perlu pula untuk diketahui di mana telah tertuang dalam Bab IV UUPK dari Pasal 8 sampai dengan Pasal 17. Dalam Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang, dan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam, label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan /atau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang rusak, cacat, atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat, atau bekas, dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut secara wajib menariknya dari peredaran.
Merupakan asas hukum yang umum berlaku dalam hukum perdata bahwa ganti rugi hanyalah mungkin diwajibkan kepada pelaku usaha untuk memberikannya kepada pihak yang dirugikan apabila telah terpenuhi hal-hal sebagai berikut:89 a. Telah terjadi kerugian bagi konsumen; b. Kerugian tersebut memang adalah sebagai akibat perbuatan pelaku usaha; c. Tuntutan ganti rugi telah diajukan gugatannya oleh pihak yang menurut UUPK berhak mengajukan gugatan (Pasal 46 ayat 1); d. Telah ada putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap sehingga telah dapat dilaksanakan, putusan tersebut dapat berupa hasil kesepakatan antara pelaku usaha dan konsumen yang telah menyelesaikan sengketanya melalui penyelesaian damai, atau berupa putusan arbitrase, BPSK atau putusan pengadilan.
No comments:
Post a Comment
Aturan Berkomentar :
1. Menggunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang Berkomentar spam, flood, junk, iklan, sara, sex dsb.(Komentar Akan Saya Hapus)
3. Silahkan gunakan OpenID untuk mempermudah blogwalking