Pengadilan Niaga tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan
pailit sekalipu para pihak sudah terikat perjanjian yang memuat klausul
arbitrase. Yang penting syarat utang yang dapat ditagih dan jatuh tempo
terpenuhi. Pembentuk undang-undang memuat pasal ini agar klausul
arbitrase tidak dijadikan dalih menghindari pailit.
Rumusan Pasal 303 UU No. 37 Tahun 2004tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) itu jelas
dan tegas. Tetapi dalam prakteknya, masih sering menjadi pusaran
perdebatan. Salah satunya dalam kasus permohonan PKPU bank asal London,
Bank of New York Mellon terhadap PT Bakrieland Development Tbk.
Pertanyaan yang muncul: apakah arbitrase dalam pasal itu meliputi pula
arbitrase internasional, atau hanya arbitrase nasional? Karena
ketidakjelasan itu, majelis hakim yang menangani permohonan Bank of New
York Mellon membuat interpretasi. Berdasarkan kasus-kasus arbitrase
selama ini ternyata pengadilan Indonesia tidak berwenang membatalkan
putusan arbitrase internasional.
“Telah banyak yurisprudensi yang menyatakan arbitrase internasional
tidak dapat dibatalkan di Indonesia,” ucap anggota majelis hakim
Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat, Aroziduhu Waruwu saat membacakan
putusan.
Konsekuensi putusan itu, Pengadilan Niaga Indonesia tak berwenang
mengadili karena kedua belah pihak sudah memutuskan penyelesaian
sengketa dilakukan menurut hukum Inggris. Bank of New York Mellon sudah
menyatakan kasasi atas putusanini.
Metode interpretasi adalah salah satu metode penemuan hukum, di luar metode konstruksi. Menurut Prof. Sudikno Metrokusumo dan Pitlo, dalam buku mereka ‘Bab-Bab tentang Penemuan Hukum’, interpretasi adalah metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk diterapkan pada peristiwanya.
Interpretasi peraturan perundang-undangan banyak dilakukan hakim
Mahkamah Konstitusi. Bahkan interpretasi yang dibuat Mahkamah Konstitusi
acapkali mengakhiri perdebatan. Sekadar contoh, perdebatan tentang
frasa ‘pihak ketiga yang berkepentingan’
dalam Pasal 80 KUHAP. Frasa ini sudah lama menjadi perdebatan di
pengadilan, terutama mengenai posisi lembaga swadaya masyarakat dalam
hal mengajukan praperadilan. Ada yang pro dan ada yang kontra. Hingga
akhirnya Mahkamah Konstitusi membuat tafsir yang ekstensif.
“Interpretasi ekstensif paling banyak mendorong perkembangan ilmu
hukum,” kata Sidharta, salah seorang pendiri Asosiasi Filsafat Hukum
Indonesia, dalam sebuah diskusi yang diselengggarakan LeIP dan Forum
Diskusi Hakim Indonesia, di Jakarta, Sabtu (06/10). Selain ekstensif,
interpretasi bisa bersifat restriktif (menyempitkan makna).
Putusan hakim berupa interpretasi ekstensif yang sangat terkenal adalah
yurisprudensi pencurian listrik. Contoh lain adalah perluasan makna
‘menjual’ dalam Pasal 1576 KUH Perdata. Tafsir luas lema ‘menjual’ sudah
dibuat Hoge Raad (HR) sejak 1906, tak hanya mencakup jual beli, tetapi
juga peralihan atau pengasingan.
Ada banyak metode interpretasi yang dikenal, masing-masing saling
melengkapi. Misalnya, interpretasi gramatikal, teleologis atau
sosiologis, sistematis, historis, futuristik, dan komparatif. Menurut
Sidharta, tiap metode punya ciri-ciri sendiri sehingga tidak ada
petunjuk tentang metode mana yang sesungguhnya harus digunakan dalam
sebuah kasus konkrit. Meskipun demikian, dalam konteks hukum perjanjian,
Pasal 1342-1351 KUH Perdata
sudah mengatur urutan-urutan penafsiran yang harus dilalui. Pasal 1343
misalnya menyebutkan jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan
berbagai macam penafsiran, ia harus memilih menyelidiki maksud kedua
belah pihak yang membuat perjanjian daripada memegang teguh arti
kata-kata itu menurut huruf.
Interpretasi gramatikal dapat dilihat pada putusan MA No. 11K/Kr/1955.
Dalam kasus surat perintah pengosongan rumah, Mahkamah Agung menyalahkan
hakim judex facti yang hanya menafsirkan kata ‘didiami’ dalam Pasal 7
ayat (1) Noodverordening regeling gebruik bepaalde woningen en andere gebouwen stad Bandung, sebagaimana arti gramatikalnya. Kata ‘didiami’ harus ditafsirkan meliputi dipakai.
Seorang hakim juga bisa terjebak ketika menafsirkan suatu kata sesuai
makna sosiologisnya atau konteksnya. Jika terlalu kaku menafsirkan
istilah senjata tajam, maka akan banyak petani yang terkena Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951.
Apalagi di beberapa daerah, seperti di Sampang, ada kebiasaan
masyarakat membawa senjata. Putusan Mahkamah Agung No. 103 K/Kr/1975
tegas-tegas menyatakan bahwa arit, parang, dan cangkul adalah alat
pekerjaan sehari-hari bagi petani. Sehingga alat-alat tersebut bagi
seorang petani tidak dapat ditafsirkan sebagai senjata tajam seperti
dimaksud Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No. 12 Tahun 1951 tersebut.
Jika kesulitan memahami arti suatu rumusan Undang-Undang, hakim
sebenarnya bisa mengandalkan maksud pembentuk Undang-Undang sebagaimana
tertuang dalam memorie van toelichting. Notulensi proses
pembahasan biasanya menggambarkan suasana kebatinan dan maksud para
pembentuk Undang-Undang. Interpretasi historis ini bisa digunakan jika
proses pembahasan suatu RUU di DPR terdokumentasi dengan baik.
Penafsiran membatasi
Jika penafsiran ekstensif cenderung mendorong perkembangan ilmu hukum,
penafsiran restriktif justru bisa sebaliknya. Interpretasi restriktif,
menurut Sudikno dan Pitlo, adalah penjelasan atau penafsiran yang
bersifat membatasi. Ruang lingkup ketentuan suatu undang-undang
dibatasi.
Salah satu yang bisa dijadikan contoh dan isunya masih hangat adalah pembatasan makna hakim dalam UU No. 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial (UU Komisi Yudisial). Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 05/PUU-IV/2006 telah memaknai kata ‘hakim’ dalam UU
Komisi Yudisial tidak meliputi hakim konstitusi. Untuk sampai pada
kesimpulan itu, Mahkamah Konstitusi secara tegas menyebut menggunakan
metode interpretasi sistematis dan historis, yakni berdasarkan original intent perumusan ketentuan UUD 1945. Dengan putusan itu, Komisi Yudisial tak punya kewenangan mengawasi hakim konstitusi.
Kini, ketika kasus eks Ketua Mahkamah Konstitusi
M. Akil Mochtar mencuat, sejumlah kalangan menilai kembali secara
kritis putusan Mahkamah tersebut. Bagaimanapun, tanpa ada yang
mengawasi, hakim-hakim Mahkamah Konstitusi akan merasa bebas melakukan
apa saja. Padahal dengan kekuasaan yang begitu besar, potensi
penyimpangan juga ada. Kasus Akil sudah memperlihatkan indikasinya.
Sumber : Hukumonline.com
No comments:
Post a Comment
Aturan Berkomentar :
1. Menggunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang Berkomentar spam, flood, junk, iklan, sara, sex dsb.(Komentar Akan Saya Hapus)
3. Silahkan gunakan OpenID untuk mempermudah blogwalking