Kata Pengantar
Segala puji hanya milik Allah SWT
atas segala nikmat dan karunia yang diberikan. Sholawat serta salam semoga
tercurah kepada Nabi besar Muhammad SAW, para sahabat, dan orang-orang yang
meneladani beliau. Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Semesta
Alam karena atas izin dan kehendak-Nya jualah makalah sederhana ini dapat kami
selesaikan tepat pada waktunya. Penulisan dan pembuatan makalah ini bertujuan
untuk menyampaikan pengetahuan kepada pembaca khusunya mahasiswa. Adapun yang
kami bahas dalam makalah sederhana ini mengenai “Due Procces Model dikaitkan dengan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia“.
Dalam penulisan makalah ini kami
menemui berbagai hambatan yang dikarenakan terbatasnya Ilmu Pengetahuan kami
mengenai hal yang berkenaan dengan penulisan makalah ini. Oleh karena itu sudah
sepatutnya kami berterima kasih kepada Bapak Sandi Prisma, S.H. selaku dosen pengampu kami. Kami menyadari
akan kemampuan kami yang masih dalam tahap pembelajaran.
Dalam makalah ini kami sudah
berusaha semaksimal mungkin. Tapi kami yakin makalah ini masih banyak
kekurangannya. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan juga kritik
membangun agar makalah kami dapat menjadi lebih sempurna. Kami berharap agar
makalah ini dapat berguna bagi orang lain yang membacanya.
Daftar
Isi
Kata
Pengantar
Daftar
isi
BAB
I Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Identifikasi Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Sistematika Penulisan
BAB II Pembahasan
BAB III Penutup
a. Kesimpulan
b. Saran
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbicara
mengenai penegakan hukum pidana di Indonesia, tentunya berbicara mengenai 2
(dua) tonggaknya, yakni hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum
pidana materiil di Indonesia secara umum diatur di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), dan secara khusus banyak diatur di peraturan perundang-undangan
yang mencantumkan ketentuan pidana. Begitu juga dengan hukum pidana formil di
Indonesia, diatur secara umum di dalam Kitan Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), dan secara khusus ada yang diatur di Undang-undang yang mencantumkan
ketentuan pidana.
Berpijak pada
kedua aturan hukum positif di atas, penegakan hukum pidana di Indonesia
menganut 2 (dua) sistem yang diterapkan secara bersamaan, yakni sistem
penegakan hukum pidana secara Diferensiasi Fungsional dan Intregated
Criminal Justice System. Mengapa demikian, karena pada strukturnya,
penegakan hukum pidana Indonesia dari hulu ke hilir ditangani lembaga yang
berdiri sendiri secara terpisah dan mempunyai tugas serta wewenangnya
masing-masing. Misalnya penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh Kepolisian,
penuntutan dilakukan oleh Kejaksaan, dan pemeriksaan persidangan beserta
putusan menjadi tanggung jawab dari hakim yang berada di bawah naungan Mahkamah
Agung. Hal tersebut yang menjadi sebab Indonesia dikatakan menganut sistem
Diferensiasi Fungsional. Namun apabila ditilik dari proses kerjanya, ternyata
semua lembaga tersebut bekerja secara berkelanjutan dan berkesinambungan.
Antara Kepolisian dan Kejaksaan misalnya, ketika melakukan penyidikan
Kepolisian akan menyusun Berita Acara Pemeriksaan yang nantinya menjadi dasar
dari Kejaksaan untuk menyusun Surat Dakwaan. Sementara itu, ada juga proses
yang dinamakan pra penuntutan, yakni ketika berkas dari Kepolisian dianggap
belum lengkap untuk menyusun Surat Dakwaan oleh Kejaksaan, maka berkas tersebut
dikembalikan ke Kepolisian untuk dilengkapi disertai dengan petunjuk dari jaksa
yang bersangkutan.
Di sisi lain,
dalam mekanisme check and balances antara Kepolisian dan Kejaksaan,
dikenal Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan (SKP2), yang mana terhadap 2 (dua) keputusan tersebut, masing-masing
dapat saling mengajukan keberata, melalui mekanisme sidang pra-peradilan.
Kedua proses
tersebut, menunjukkan bahwa selain menganut sistem Diferensiasi Fungsional,
Indonesia juga menganut Integrated Criminal Justice System dalam
proses penegakan hukum pidananya.
Penegakan hukum
pidana di tiap-tiap negara biasanya berkiblat pada model-model tertentu. Dalam
hal ini, Indonesia lagi-lagi mencampurkan 2 (dua) model penegakan hukum, yaitu Crime
Control Model dan Due Process Model. Kedua model yang
dikemukakan oleh Herbert L. Packer ini, sebenarnya saling bertolak belakang
satu sama lain. Crime Control Model lebih menekankan pada adanya asas
praduga bersalah atau Presumption of Guilty, sedangkan Due Process
Model lebih menekankan pada adanya asas praduga tak bersalah atau Presumption
of Innocence. Namun ketika ditilik landasan filosofisnya, sebenarnya 2
(dua) asas tersebut tidaklah saling berlawanan, karena memang berasal dari konsep
berpikir yang berbeda. Asas praduga bersalah mendasarkan pada pemikiran “jangan
sampai ada pelaku kejahatan yang tidak dihukum”, sedangakan asas praduga tak
bersalah mendasarkan pada pemikiran “jangan sampai ada orang yang tak bersalah,
dihukum”.
KUHAP sebagai
induk hukum acara pidana Indonesia sendiri secara eksplisit menyatakan bahwa
Indonesia menganut kedua asas tersebut, yakni bisa kita temukan dalam ketentuan
Penjelasan Umum, angka 3 huruf c dan angka 3 huruf e. Walaupun terkesan
mencampuradukkan, namun penerapan kedua asas ini secara bersamaan sebenarnya
merupakan hal yang bisa ditoleransi, hal ini dikarenakan adanya perbedaan tugas
dari tiap aparat penegak hukum. Polisi dan Jaksa misalnya, secara prinsip
memang harus bekerja berdasarkan asas praduga bersalah atau Presumption of
Guilty, karena jaksa khususnya, harus meyakinkan pada majelis hakim
pemeriksa perkara bahwa terdakwa memang benar-benar bersalah dengan
mengumpulkan alat bukti dan barang bukti. Namun di sisi lain, baik Polisi
maupun Jaksa harus memperlakukan Tersangka/Terdakwa seakan-akan tidak bersalah.
Begitu juga dengan tugas seorang hakim, yang memeriksa perkara dan memberikan
putusan terhadap salah atau tidaknya Terdakwa, harus menggunakan asas praduga
tidak bersalah atau Presumption of Innocence. Hal ini berkaitan dengan
asas dasar hakim yang berlaku di seluruh dunia, yaitu “Lebih baik tidak
menghukum orang yang bersalah, daripada menghukum orang yang tidak bersalah.”
Berdasarkan
uraian di atas, sebenarnya dapat terlihat jelas bahwa meskipun KUHAP menerapkan
kedua asas tersebut, namun pada praktiknya tetap lebih condong kepada asas
praduga tak bersalah atau Presumption of Innocence. Hal ini juga
disebabkan karena penegakan hukum pidana pada era KUHAP, lebih menitik beratkan
pada perlindungan hak asasi warga negara, dari kesewenang-wenangan negarayang
mana juga didukung oleh aturan dalam Penjelasan Umum KUHAP, yakni pada angka 3
huruf c.[1]
B. Identifikasi Masalah
Bagaimana
keterkaitan due process model dengan sistem peradilan pidana di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Untuk
mengetahui, memahami, menganalisa keterkaitan due procss model dengan sistem
peradlian pidana di Indonesia.
D. Sistematika Penulisan
Bab I : latar belakang, identifikasi
masalah, tujuan penulisan, dan sistmatika penulisan
Bab II : pembahasan mengenai
keterkaitan due process model dengan sistem peradlan pidana di indonesia.
Bab III : kesimpulan dan saran.
BAB II
PEMBAHASAN
Due Procces Model dikaitkan dengan Sistem Peradilan Pidana
di Indonesia
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR
PUSTAKA
No comments:
Post a Comment
Aturan Berkomentar :
1. Menggunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang Berkomentar spam, flood, junk, iklan, sara, sex dsb.(Komentar Akan Saya Hapus)
3. Silahkan gunakan OpenID untuk mempermudah blogwalking