Agar
diperoleh pemahaman yang baik tentang Implementasi Kebijakan Pemekaran
Daerah, berikut ini dijelaskan terlebih dahulu bagaimana pengertian,
ciri dan fase dari sebuah Kebijakan Publik.
1. Pengertian, Ciri dan Fase Kebijakan Publik
a. Pengertian Kebijakan Publik
Berkaitan dengan definisi Kebijakan Publik, terdapat banyak batasan dan definisi yang bisa didapatkan dari literaratur-literatur ilmu politik maupun administrasi. Namun banyaknya pendapat tersebut tidaklah berarti telah memberikan makna yang simpang siur atau pertentangan persepsi tentang Kebijakan Publik. Perbedaan justeru terjadi hanya pada kedalaman analisis di dalam merumuskan batasan-batasan Kebijakan Publik itu sendiri. Kendati pada kenyataannya bahwa definisi atau batasan sedemikian banyaknya, namun untuk keperluan analisis didalam tulisan ini akan dikemukakan berapa saja dari pendapat-pendapat para ahli tersebut, diantaranya adalah Robert Eyestone (Winarno,1989) yang berpendapat bahwa secara luas Kebijakan Publik itu dapat didefinisikan sebagai berikut : Public Policy is the relationship of a governments unit to its Environment (Kebijakan Publik adalah hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya). Konsep ini memiliki kelemahan karena mengandung pengertian yang demikian luasnya dan sangat tidak kongkrit karena tidak memuat secara spesifik bagaimana hubungan yang dimaksud. Batasan lain tentang Kebijakan Publik ini diberikan secara simpel oleh Thomas R.Dye (Winarno,1989) yang mendefinisikan Kebijakan Publik sebagai berikut : Public Policy is whatever governments chose to do or not to do (Kebijakan Publik adalah apa saja yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan). Sekalipun batasan ini dirasakan agak tepat, akan tetapi batasan ini tidak cukup mengakui bahwa mungkin terdapat adanya perbedaan yang signifikan antara apa yang diputuskan oleh Pemerintah untuk dilakukan dan apa yang sebenarnya dilakukan oleh Pemerintah.
Kemudian Charles O. Jones di dalam bukunya An Introduction to the Study of Public Policy, mengemukakan pendapat H. Hugh Heclo sebagai berikut: Policy is course of action intended to accomplish some end (Kebijakan Publik adalah suatu arah kegiatan yang tertuju kepada tercapainya beberapa tujuan). Kemudian ia juga mengungkapkan bahwa :
A policy may usefully be considered as a course of action or inaction rather than specific decisions or action, and such a course has to be perceived and indentified by the analys in question.
(Sebuah Kebijakan Publik akan lebih cocok dilihat sebagai suatu arah tindakan atau tidak dilakukannya tindakan, daripada sebagai sekedar suatu keputusan atau tindakan belaka).
Selain Thomas R.Dye dan H. Hugh Heclo yang telah memberikan rumusan Kebijakan Publik yang hampir senada, masih menurut Jones (1996), ada juga para ahli-ahli lain yang memiliki pendapat yang senada yaitu Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt, pendapat mereka adalah :
Policy is defined as a standing decision characterized by behavioral consistency and repetitiveness on the part of both those who makes it and those who abide by it.
(Kebijakan didefinisikan sebagai suatu keputusan yang siap dilaksanakan dengan ciri adanya kemantapan prilaku dan berulangnya tindakan, baik oleh mereka yang membuatnya maupun oleh mereka yang harus mematuhinya).
Kemudian James E. Anderson (1975) dengan mengutip pendapat Carl J. Friedrich memberikan definisi Kebijakan sebagai berikut:
Public Policy is a proposed course of action af a person, group, or government within a given environment providing obstacles and opportunities wich the policy was proposed to utilized and overcome in a effort to reach a goal or relized an objective or a purposed.
(Kebijakan Publik adalah suatu arah tindakan yang diusulkan pada seseorang, golongan atau pemerintah dalam suatu lingkungan dengan halangan-halangan dan kesempatan-kesempatannya, yang diharapkan dapat memenuhi dn mengatasi halangan tersebut dalam rangka mencpai suatu cita-cita atau mewujudkan kehendak serta suatu tujuan tertentu).
Dari definisi beserta keterangan yang dikemukakan oleh Carl J.Fredrich itu, maka James E.Anderson menyimpulkan suatu konsep Kebijakan Publik adalah sebagai berikut:
Public Policy is a purposive course of action, followed by an actor or a set of actors in daling with a problem or metter of concern..
(Kebijakan Publik adalah suatu arah tindakan yang bertujuan, yang dilaksanakn oleh pelaku atau pelaku kebijakan didalam mengatasi suatu masalah atau urusan-urusan yang bersangkutan).
Agak berbeda dari definisi-definisi yang dikemukakan Anderson terdahulu dimana penekanannya pada pembuat kebijakan, maka Dimock and Dimock dalam bukunya yang berjudul Public Administration mengarahkan perhatian atau fokus definisinya pada pendapat dan keinginan rakyat. Ia memberikan definisi Kebijakan Publik sebagai berikut:
Public Policy is the reconciliation and crystallization of the views and wants of many people and groups in the body social.
(Kebijakan Publik adalah perpaduan dan kristalisasi daripada pendapat-pendapat dan keinginan-keinginan banyak orang dan golongan-golongan dalam masyarakat).
Dari berbagai definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ilmuwan tersebut diatas maka sementara dapat disimpulkan bahwa Kebijakan Publik memiliki dimensi yang luas sehingga menjadi sangat dinamis dan dapat diadakan pengembangan lebih lanjut. Oleh karena itu, di dalam suatu penelitian tertentu Kebijakan Publik dapat saja didudukkan sebagai variabel terikat (Dependent Variable) dan sebagai variabel bebas (Independent Variable).
Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa makna dan hakekat Public Policy atau Kebijakan Publik adalah suatu keputusan yang ditetapkan oleh Pejabat Pemerintah atau pihak yang berwenang dengan tujuan untuk memenuhi kepentingan rakyat (public Interest). Dimana kepentingan rakyat itu merupakan keseluruhan yang utuh dari perpaduan dan kristalisasi pendapat-pendapat, keinginan-keinginan dan tuntutan–tuntutan dari rakyat.
b. Ciri-ciri Kebijakan Publik
Ciri-ciri khusus yang melekat pada Kebijakan Publik bersumber pada kenyataan bahwa kebijakan tersebut dirumuskan yang oleh David Easton (Wahab,2002) disebut sebagai orang-orang yang memiliki wewenang dalam sistem politik, yaitu para tetua adat, ketua suku, eksekutif, lagislator, para hakim, para administrator, para monarkhi dan lain sebagainya. Mereka inilah yang menurut Easton, merupakan orang-orang yang dalam kesehariannya terlibat dalam urusan-urusan politik dalam sistem politik dan dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai pihak yang paling bertanggung jawab berkaitan dengan keputusan atau Kebijakan Publik tertentu.
Berkaitan dengan pendapat Easton di atas, Solichin A. Wahab di dalam bukunya Analisis Kebijaksanaan (2002) mengemukakan beberapa ciri dari Kebijakan Publik sebagai berikut ertama, Kebijakan Publik adalah tindakan yang mengarah pada tujuan daripada prilaku atau tindakan yang serba kebetulan, artinya bahwa kebijakan publik adalah tindakan yang direncanakan. Kedua, Kebijakan Publik pada hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola, yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh Pejabat-Pejabat Pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang berdiri sendiri. Misalnya saja kebijakan publik tidak hanya mencakup keputusan untuk membuat Undang-Undang di dalam bidang-bidang tertentu melainkan diikuti dengan keputusan-keputusan yang bersangkut paut dengan implementasi dan atau pemaksaan pemberlakuannya. Ketiga, Kebijakan Publik bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dilakukan oleh Pemerintah di dalam bidang-bidang tertentu, misalnya di dalam mengatur pola hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di dalam kerangka Otonomi Daerah, industri dan perdagangan, mengendalikan inflasi, dan lain sebagainya. Keempat, Kebijakan Publik mungkin berbentuk positif dan mungkin pula berbentuk negatif. Dalam bentuknya yang positif, kebijakan publik mungkin akan mencakup beberapa bentuk tindakan pemerintah yang dimaksudkan untuk memberikan pengaruh tertentu. Sementara di dalam bentuknya yang negatif, kebijakan publik meliputi keputusan-keputusan Pejabat Pemerintah untuk tidak bertindak atau tidak melakukan tindakan apapun dalam masalah-masalah dimana campur tangan pemerintah justeru sebenarnya sangat diperlukan.
Kongkritnya adalah bahwa dengan kebijakannya itu Pemerintah dapat saja menempuh suatu kebijakan yang sangat liberal, atau cuci tangan sama sekali, baik untuk sebagian atau seluruh sektor kehidupan masyarakat.
c. Fase-Fase Kebijakan Publik
Jika Kebijakan Publik dipandang sebagai suatu proses, maka pusat perhatian pasti akan tertuju pada siklus kebijakan. Pada umumnya siklus kebijakan terdiri dari beberapa fase, dan fase-fase tersebut adalah Formulasi, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan (Putra,2001).
Agak sedikit berbeda dengan pendapat diatas, William N.Dunn di dalam bukunya Analisis Kebijakan Publik (terjemahan Muhadjir Darwin dkk;2000) menyebutkan fase-fase kebijakan publik adalah sebagai berikut:
Proses analisis Kebijakan adalah serangkaian aktifitas intelektual yang dilakukan didalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktifitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan yang divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung dan diatur menurut waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.
Masih menurut Dunn, Tahapan atau fase-fase di dalam analisis Kebijakan Publik mencerminkan aktifitas yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang waktu, setiap tahap selalu berkaitan dengan tahap berikutnya. Tahap Terakhir kebijakan (Penilaian Kebijakan) dikaitkan dengan Tahap Pertama (Penyusunan Agenda), atau di tengah dalam aktifitas yang tidak linear.
Dari kedua pendapat ahli tentang fase-fase Kebijakan Publik tersebut dapat dijelaskan bahwa kedua pendapat tersebut masing – masing menempatkan implementasi sebagai salah satu fase yang penting di dalam studi Kebijakan Publik.
2. Pengertian Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah
Betapapun pentingnya tahapan implementasi kebijakan, fakta telah membuktikan bahwa baru pada dasa warsa terakhir ini saja (mulai tahun 1973) para ahli ilmu sosial mulai menyadari dan memberikan perhatian secara serius tentang Implementasi Kebijakan dan menerimanya sebagai bagian integral dari keseluruhan proses formulasi Kebijakan.
Untuk memperoleh batasan tentang implementasi kebijakan Pemekaran Daerah perlu diketahui beberapa pengertian tentang implementasi Kebijakan Publik secara umum.
Sehubungan dengan batasan Implementasi Kebijakan Publik ini, seorang ilmuwan dari Harvard University, Merilee S.Grindle (1980) menyatakan bahwa :
Implementasi Kebijakan Publik sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan.
Bahkan Udoji (Wahab,2002) dengan tegas juga memberikan pendapat tentang betapa pentingnya Implementasi Kebijakan. Ia mengatakan bahwa Implementasi Kebijakan Publik adalah :
The execution of policies is as important if not more important than policy-making. Policies will remain dreams or blue print file jackets unless they are implemented.
(Pelaksanaan Kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan.Kebijakan-Kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak dimplementasikan).
Sebagai bahan perbandingan, William N.Dunn (2000) memberikan definisi Implementasi Kebijakan Publik sebagai :
Implementasi Kebijakan berarti pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijakan dalam jangka waktu tertentu sampai dicapainya hasil kebijakan. Implementasi Kebijakan pada dasarnya merupakan aktivitas praktis yang dibedakan dari formulasi kebijakan yang bersifat teoritis.
Jadi Dunn menempatkan Implementasi sebagai konsep yang harus dibedakan namun dianggap sama pentingnya dengan kegiatan formulasi kebijakan, jika formulasi kebijakan adalah kegiatan dalam konteks teoritis maka implementasi kebijakan adalah kegiatan dalam konteks praktis.
Kemudian Pressman dan Wildavsky dalam bukunya Implementation yang diterbitkan pada tahun 1973 (Wahab,2002), yang digelar sebagai pencetus konsep Implementasi Kebijakan Publik menyatakan bahwa sebuah kata kerja mengimplementasikan itu sudah sepantasnya terkait langsung dengan kata benda kebijakan. Sehingga kedua pelopor studi implementasi ini berpendapat bahwa untuk melaksanakan kebijakan perlu mendapatkan perhatian yang seksama, oleh karena itu adalah keliru jika menganggap bahwa proses tersebut dengan sendirinya akan berlangsung mulus.
Agak mirip dengan pandangan kedua ilmuwan di atas, Van Meter dan Van Horn (1978) merumuskan proses Implementasi Kebijakan Publik sebagai :
Those actions by public or private individuals (or groups) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions
(Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh/pejabat-pejabat (atau kelompok-kelompok) pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan)
Jadi Van Meter dan Van Horn melihat Implementasi Kebijakan Publik sebagai suatu aktifitas yang real dan kongkrit, bukan menyangkut teori-teori tertentu saja, jadi senada dengan yang dikemukakan oleh Dunn.
Masih berkaitan dengan konsep teoritik Implementasi Kebijakan Publik, Walter William seperti yang dikutip Charles O.Jones (1996) menyatakan bahwa :
Masalah yang penting dalam implementasi kebijakan adalah hal memindahkan suatu keputusan ke dalam kegiatan atau pengoperasian dengan cara tertentu. Dan cara tersebut adalah bahwa apa yang dilakukan memiliki kemiripan nalar dengan keputusan tersebut, serta berfungsi dengan baik di dalam lingkup lembaganya. Hal terakhir mengandung pesan yang lebih jelas dibandingkan dengan kesulitan dalam menjembatani jurang pemisah antara keputusan kebijakan dan bidang kegiatan yang dapat dikerjakan.
Dari dimensi yang lain, berikutnya Daniel A.Mazmanian dan Paul A.Sabatier (1981) menjelaskan makna Implementasi Kebijakan ini dengan mengatakan bahwa :
Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yaitu kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan publik , yang mana mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikan maupun akibat atau dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.
Pendapat kedua ilmuwan ini menggambarkan bahwa proses Implementasi Kebijakan Publik sesungguhnya tidak hanya menyangkut prilaku badan-badan administratif yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan menyangkut pula jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi prilaku dari semua pihak yang terlibat, dan pada akhirnya berpengaruh terhadap dampak baik yang diharapkan (intended) maupun yang tidak diharapkan (negative effect). Di dalam pendapat ini juga terlihat bahwa antara apa yang disebut sebagai Perumusan Kebijakan dan Implementasi Kebijakan tidak dianggap sebagai suatu proses yang terpisah.
Menurut Agus Dwiyanto (1995), Implementasi Kebijakan Publik mempersoalkan proses Implementasi Kebijakan Pemerintah. Jadi pertanyaan yang akan dijawab oleh studi ini adalah mengapa suatu Kebijakan Publik gagal mencapai tujuannya. Dengan demikian studi ini berusaha mengungkapkan proses implementasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan implementasi suatu Kebijakan Publik.
Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ilmuwan tadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah adalah aktifitas-aktifitas praktis yang dilakukan secara sistematis untuk menerapkan keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam rangka Pembentukan Daerah suatu daerah tertentu dengan proses Pemekaran Daerah.
B. Substansi Kebijakan Pemekaran Daerah.
1. Pemekaran Daerah
Analisis tentang wilayah atau daerah belum banyak ditemukan di dalam literatur-literatur Ilmu Sosial sehingga di ditemukan sedikit kesulitan di dalam merumuskan konsep-konsep teoritik tentang Daerah. Kemudian antara sebutan Daerah dan Wilayah tidak berhasil ditemukan adanya perbedaan, bahkan kedua sebutan ini sering dipertukarkan di dalam pemakaian sehari-hari. Oleh para ahli, batasan mengenai ilmu wilayah diartikan sebagai berikut :
Ilmu wilayah adalah suatu ilmu yang mempelajari wilayah terutama sebagai suatu sistem, khususnya yang menyangkut hubungan interaksi dan interpendensi antara subsistem utama, ekosistem dengan sub sistem utama sosial sistem, serta kaitannya dengan wilayah-wilayah lainnya dalam membentuk suatu kesatuan wilayah guna pengembangan termasuk penjagaan kelestarian wilayah tersebut (Sutami,1997).
Lebih lanjut beberapa ahli mendefinisikan wilayah sangat berbeda satu sama lain karena kepentingan dan latar belakang yang berbeda pula. Sebagaimana dikutip oleh Hadi Sabari (2000) dari beberapa pakar berikut ini : misalkan saja T.J.Wofter yang mengatakan bahwa :
suatu wilayah adalah daerah tertentu yang di dalamnya tercipta homogenitas struktur dan sosial sebagai perwujudan kombinasi antara faktor-faktor lingkungan dan demografi.
Kemudian R.S. Platt yang berpendapat bahwa :
suatu wilayah adalah daerah tertentu yang keberadaannya dikenal berdasarkan homogenitas umum baik atas dasar karakter lahan maupun huniannya.
Selanjutnya P. Vidal dela Blache, bahwa :
wilayah adalah tempat (domain) tertentu yang di dalamnya terdapat banyak sekali hal yang berbeda beda, namun secara artifisial bergabung bersama-sama, saling menyesuaikan untuk membentuk kebersamaan.
Berikutnya A.J. Herbertson, yang mengartikan :
wilayah sebagai bagian dari bagian yang tertentu dari permukaan bumi yang mempunyai sifat khas tertentu sebagai akibat dari adanya hubungan-hubungan khusus antara komplek lahan, air, udara, tanaman, binatang dan manusia sendiri.
Taylor yang melihat wilayah dari penampakan karakteristik memberikan batasan wilayah yaitu :
Sebagai suatu daerah tertentu di permukaan bumi yang dapat dibedakan dengan daerah tetangganya atas dasar kemampuan karakteristik atau properti yang menyatu.
Dari batasan dan pengertian yang diberikan oleh para Ahli diatas, maka dapat dikelompokkan adanya 3 pandangan tentang wilayah yaitu dari sudut pandang Humaniora (kemanusiaan), natural fenomena (gejala alamiah) dan geographycal fenomena (gejala geografi). Dengan demikian, dari pandangan-pandangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa perwilayahan adalah usaha untuk membagi-bagi permukaan bumi atau bagian dari permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula dengan kriteria seperti administratif, politik, ekonomi, sosial, kultural, fisik, geografis dan sebagainya. Selanjutnya perwilayahan tersebut membentuk organisasi dan kelembagaan dengan program berbagai variabelnya antara lain kepemimpinan, doktrin, program, sumber-sumber daya (Alam dan manusia) dan struktur intern lainnya (Eaton,1986)
Sedangkan menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksudkan dengan Daerah adalah :
Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tententu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah bertujuan untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas masyarakat serta mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Jadi intinya adalah memberikan kewenangan kepada Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakatnya yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dengan demikian pemikiran yang mendasari lahirnya Undang-Undang tentang Otonomi Daerah ini adalah :
a. Dalam rangka memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.
b. Penyelenggaraan otonomi daerah dilakukan dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, kemandirian, menjaga keserasian hubungan dengan Pemerintah Pusat serta memperhatikan potensi dan keberagaman daerah.
c. Guna menghadapi persaingan global, jadi Daerah diberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab (Gaffar, 2002).
Berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah tersebut sudah barang tentu menyebabkan terjadinya perubahan yang fundamental terhadap elemen-elemen Pemerintahan Daerah serta memerlukan penataan-penataan yang sistematis. Elemen-elemen utama yang membentuk Pemerintah Daerah itu adalah :
a. Adanya urusan otonomi yang merupakan dasar dari kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri,
b. Adanya kelembagaan yang merupakan pewadahan dari otonomi yang diserahkan kepada Daerah,
c. Adanya personil (pegawai daerah) untuk menjalankan urusan otonomi,
d. Adanya sumber keuangan untuk pembiayaan pelaksanaan otonomi,
e. Adanya unsur perwakilan rakyat yang merupakan perwujudan demokrasi di daerah,dan
f. Adanya manajemen pelayanan umum (public service).
Tujuan-tujuan yang ingin diperoleh dari adanya penataan tersebut terdiri dari :
a. Tujuan utama yaitu bagaimana dengan penataan kewenangan, kelembagaan, personil, keuangan, perwakilan dan manajemen urusan otonomi tersebut akan dapat memberdayakan Pemerintah Daerah agar mampu menjalankan tugasnya sebagai Daerah Otonom dengan baik (Gaffar, 2002).
b. Tujuan politis yaitu memposisikan Pemerintah Daerah sebagai instrumen pendidikan politik ditingkat lokal yang secara agregat akan menyumbangkan pendidikan politik secara nasional sebagai elemen dasar menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa. Pemberian Otonomi dan pembentukan institusi Pemerintah Daerah akan mencegah terjadinya sentralisasi dan mencegah kecenderungan sentrifugal dalam bentuk pemisahan diri (Smith, 1985).
c. Tujuan administratif yaitu mengisyaratkan Pemerintah Daerah akan mencapai efisiensi dan efektifitas dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya dalam artian bertindak dan menggunakan dana publik tidak boros yang pada gilirannya dalam pemilihan umum yang akan datang tidak lagi mendapat mandat untuk menjalankan amanah masyarakat (Gaffar, 2002).
Dari uraian diatas tersirat bahwa dimungkinkan adanya pembentukan daerah otonom yang baru, diantaranya yang ditempuh melalui cara pemekaran daerah. Pemekaran Daerah sendiri dimaksudkan adalah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui : (1)peningkatan pelayanan kepada masyarakat; (2)percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi; (3)percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah; (4)percepatan pengelolaan potensi daerah; (5)peningkatan keamanan dan ketertiban; serta (6)peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah (PP Nomor 129 Tahun 2000).
Selanjutnya di dalam pasal 1 Peraturan Pemerintah R.I Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, yang dimaksud dengan Pemekaran Daerah adalah Pemecahan Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota menjadi lebih dari satu Daerah.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Pemekaran Daerah merupakan tuntutan atau aspirasi sebagian besar masyarakat tertentu untuk memisahkan diri dari daerah induknya, kemudian membentuk suatu daerah baru baik itu Propinsi, Kabupaten atau Kota dengan pertimbangan dan alasan-alasan tertentu sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi Pemekaran Daerah lebih terarah pada keinginan atau aspirasi masyarakat.
2. Substansi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pemekaran Daerah.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pemekaran Daerah di Kabupaten Aceh Barat adalah landasan hukum pelaksanaan pemekaran daerah, dimana Kabupaten Aceh Barat dimekarkan menjadi 3 Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Barat sebagai induk, Kabupaten Aceh jaya dan Kabupaten Nagan Raya sebagai Kabupaten yang baru. Undang-Undang ini mengatur beberapa hal pokok , yaitu:
a) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 dikeluarkan dengan pertimbangan adanya perkembangan dan kemajuan di bidang penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Kabupaten Aceh Barat serta segenap kemampuan sumber daya yang ada (ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan lain-lain),
b) Pembentukan Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Nagan Raya sebagai hasil pemekaran Kabupaten Aceh Barat dimaksudkan agar dapat mendorong peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah,
c) Pengaturan secara jelas tentang batas-batas daerah serta ibukota, baik ibu kota Kabupaten maupun Kecamatan,
d) Kewenangan Kabupaten-Kabupaten yang baru terbentuk mencakup seluruh kewenangan bidang pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
e) Untuk Kabupaten yang baru terbentuk, Pembentukan DPRD sudah harus dilaksanakan paling lambat 6 bulan setelah peresmian Kabupaten,
f) Untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten yang baru terbentuk, Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati yang definitif sudah harus dilaksanakan paling lambat dalam waktu 1 tahun setelah peresmian Kabupaten,
g) Sebelum terpilihnya Bupati dan Wakil Bupati yang definitif, maka diangkat Penjabat Bupati oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden,
h) Untuk kelengkapan perangkat pemerintahan di Kabupaten yang baru maka dibentuk Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas-Dinas Kabupaten dan Lembaga-Lembaga teknis lainnya,
i) Berkaitan dengan sumber daya, serah terima sumber daya dari Kabupaten Induk kepada Kabupaten-Kabupaten yang baru terbentuk segera dilaksanakan. Sumber-sumber daya tersebut dapat berupa Pegawai Negeri, barang milik/ asset daerah, Badan Usaha Milik Daerah, dokumen atau arsip maupun utang-piutang,
j) Biaya yang diperlukan untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat sebelum ditetapkannya APBD di Kabupaten yang baru maka dibebankan kepada APBD Kabupaten Induk,
k) Sebelum Kabupaten yang baru terbentuk menetapkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002, maka yang berlaku adalah Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah Kabupaten induk (Kabupaten Aceh Barat).
3. Indikator Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah.
Berdasarkan beberapa substansi pokok yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 tersebut di atas, penulis dapat merinci beberapa indikator pokok yang dapat dijadikan tolok ukur implementasi Undang-Undang tentang Pemekaran Daerah Kabupaten Aceh Barat, yaitu :
a) Diresmikannya Kabupaten dan dilantiknya Penjabat Bupati paling lambat 1 bulan setelah UU Nomor 4 Tahun 2002 diundangkan.
b) Terbentuknya Organisasi Perangkat Daerah,
c) Terbentuknya DPRD paling lambat 6 bulan setelah peresmian Kabupaten,
d) Terpilihnya Bupati dan Wakil Bupati yang definitif paling lambat 1 tahun setelah peresmian Kabupaten,
e) Terlaksananya serah terima Asset Daerah dari Pemerintah Daerah Kabupaten Induk kepada Kabupaten yang baru paling lambat 1 tahun setelah peresmian Kabupaten,
Implementasi Undang-Undang dimaksud dianggap terlaksana sebagaimana mestinya apabila semua indikator-indikator di atas telah dapat dilaksanakan, demikian pula sebaliknya.
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah
Eugene Bardach di dalam bukunya yang sangat provokatif yaitu The Implementation Game (Jones,1996) mengatakan bahwa :
Adalah cukup sulit untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus di atas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakkan bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk dan cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka yang dianggap sebagai klien.
Disini Bardach bermaksud melukiskan kesulitan-kesulitan dalam mencapai kesepakatan di dalam proses kebijakan publik dan menerapkan kebijakan tersebut. Hal ini terlihat pada pelaksanaan kerja serta pemindahan dari tujuan yang disepakati ke proses pencapaian tujuan tersebut.
Jones sendiri menilai bahwa dalam Implementasi Kebijakan, pergeseran atau pemindahan yang dimaksudkan oleh Bardach tadi merupakan salah satu masa tenggang yang populer dalam proses Kebijakan Publik, yaitu pergeseran dari aspek politik ke aspek administrasi. Dengan demikian cukup penting untuk diakui bahwa tidak ada gambaran yang jelas tentang kebijakan umum di dalam praktek. Pada bagian akhir dari penjelasannya, Bardach juga mengatakan bahwa proses kesepakatan untuk menyetujui suatu program tertentu jarang memecahkan masalah yang memuaskan bagi setiap orang.
Hogwood dan Gunn (Wahab,2002) secara garis besar menjelaskan bahwa kegagalan suatu kebijakan (policy failure) dapat dikelompokkan menjadi dua katagori. Pertama, yaitu tidak terimplementasikannya kebijakan itu (non implementation gap) dan Implementasi Kebijakan yang tidak berhasil (unsuccesfull implementation). Tidak terimplementasinya kebijakan berarti bahwa suatu kebijakan tidak berjalan sesuai dengan harapan, bahkan bisa diakibatkan karena pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam implementasi tidak bersedia bekerjasama, atau sedemikian luasnya jangkauan yang ingin dicapai oleh kebijakan.
Masih menurut Hogwood dan Gunn, agar Implementasi Kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik maka harus memperhatikan faktor-faktor berikut ini yaitu: (1)kondisi eksternal yang dihadapi organisasi dan instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan dan kendala; (2)untuk melaksanakan kebijakan harus tersedia waktu dan sumber-sumber yang memadai; (3)keterpaduan antar sumber daya yaitu manusia, dana dan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya; (4)kebijakan yang di implementasikan harus didasari hubungan kausalitas yang erat; (5) hubungan kausalitas harus bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya; (6)hubungan saling ketergantungan harus kecil; (7)pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan; (8)tugas-tugas harus terperinci dan ditempatkan pada urutan yang tepat; (9)komunikasi dan koordinasi yang sempurna dan (10)pihak-pihak yang memiliki wewenang dapat menuntut dan memperoleh kepatuhan kewenangan.
Menurut Mazmanian dan Sabatier (Wahab,2002) dalam rangka memformulasikan penelitian tentang Implementasi Kebijakan hal terpenting adalah merancang dan mengidentifikasikan variabel-variabel yang dianggap penting, kemudian menetapkan varibel mana yang paling mempengaruhi dalam menentukan berhasil atau gagalnya suatu kebijakan. Masih menurut kedua ahli tadi, Sabatier dan Mazmanian (Wibawa,1994), bahwa variabel-variabel yang dapat mempengaruhi berhasil atau gagalnya suatu kebijakan adalah sebagai berikut : (1)mudah atau tidaknya masalah yang akan dikerjakan; (2)kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses implementasi kebijakan; (3)pengaruh langsung berbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan tersebut.
Kemudian mereka juga mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan yaitu : (a)variabel kemampuan landasan hukum (peraturan) terhadap implementasi struktur; dan (b)variabel non peraturan yang mempengaruhi implementasi kebijakan.
Variabel kemampuan landasan hukum (peraturan) terhadap implementasi struktur meliputi: (1)kejelasan dan konsistensi sasaran; (2)sumber daya keuangan; (3)keterpaduan dari teori kausal yang memadai; (4)integrasi hierarkis dengan dan antar lembaga pelaksana; (5)peraturan keputusan dari agen pelaksana; (6)rekruitmen dari pejabat pelaksana; (7)akses formal ke luar. Sedangkan variabel non peraturan yang mempengaruhi jalannya implementasi kebijakan meliputi : (1)kondisi sosial ekonomi dan teknologi;(2) perhatian media terhadap masalah; (3)dukungan publik; (4)sikap dan sumber daya kelompok sasaran utama; (5)dukungan kewenangan; (6)komitmen dan kemampuan pejabat pelaksana.
Van Meter dan Van Horn (Wahab,2002) menjelaskan ada beberapa variabel bebas yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan yaitu: (1)ukuran dan tujuan kebijakan; (2)sumber-sumber kebijakan; (3)ciri-ciri atau sifat badan/instansi pelaksana dan (4) lingkungan ekonomi, sosial dan politik.
Gagal atau berhasilnya implementasi suatu kebijakan menurut Edward III (1980) ditentukan oleh 4 faktor, yaitu: (1)komunikasi; (2)sumber-sumber daya; (3)disposisi dan (4)struktur birokrasi.
Selanjutnya G.Shabbir Chemma dan Dennis A. Rondinelli (Wibawa,1994) mengungkapkan ada 4 variabel besar yang mempengruhi berhasil dan gagalnya implementasi kebijakan yaitu: Pertama, kondisi lingkungan meliputi : (a)model politik; (b)struktur pembuatan kebijakan; (c)karekteristik struktur kekuatan lokal; (d)kendala sumber daya, (e)faktor sosio kultural; (f)kecukupan infrastruktur fisik. Kedua, hubungan antar organisasi meliputi: (a)kejelasan dan konsistensi terhadap tujuan kebijakan; (b)hubungan antar dinas yang seimbang; (c)standarisasi perencanaan, anggaran, implementasi dan prosedur evaluasi, (d)keakuratan, konsistensi dan kualitas komunikasi antar organisasi dan(e) kefektifan jaringan untuk mendukung kegiatan kebijakan (program). Ketiga, sumberdaya organisasi yang meliputi: (a)sejauhmana organisasi mengontrol sumberdana; (b)kecukupan alokasi budget dengan program; (c)ketepatan waktu penerimaan budget; (d)dukungan kepemimpinan politik lokal; (e)dukungan dan kepemimpinan politik nasional dan (f)komitmen birokrasi pada tingkat nasional. Sedangkan variabel yang keempat adalah karekteristik dan kemampuan agen pelaksana meliputi: (a)teknik,manajerial dan keahlian politik para staf; (b)kemampuan untuk mengkoordinasikan dan mengontrol keputusan; (c)dukungan dan sumberdaya agen politik; (d)komunikasi internal organisasi; (e)hubungan agen pelaksana dan terget group; (f) hubungan agen pelaksana dengan organisasi non pemerintah lainnya; (g)kualitas kepemimpinan agen pelaksana; (h)komitmen para staf untuk melaksanakan program dan (i)lokasi agen pelaksana dalam sistem administrasi.
Yang terakhir adalah pendapat Merilee S.Grindle (1980), Ia mengidentifikasi dua hal yang sangat menentukan keberhasilan dalam Implementasi Kebijakan, yaitu Isi Kebijakan dan Konteks dari Implementasi itu sendiri. Dua hal itu kemudian dirinci menjadi :
a. Isi Kebijakan (Content of Policy) yang terdiri dari :
1) kepentingan siapa yang terlibat,
2) macam-macam manfaat,
3) sejauhmana perubahan akan diwujudkan,
4) tempat pembuatan kebijakan,
5) siapa yang menjadi implementatornya, dan
6) sumberdaya yang tersedia/disediakan.
b. Konteks Implementasi (Context of Implementation) yang terdiri dari:
1) kekuasaan, kepentingan, dan strategi para aktor yang terlibat,
2) karateristik lembaga dan rejim, dan
3) sesuai dengan kaidah dan tingkat responsif.
Kesimpulan yang dapat diambil dari apa yang disampaikan oleh Grindle ini adalah bahwa keberhasilan dari Implementasi Kebijakan ditentukan oleh banyak hal, terutama yang menyangkut kepentingan-kepentingan yang terlibat didalamnya. Sebuah Kebijakan yang sederhana tentu saja tidak melibatkan kepentingan banyak orang dan kelompok masyarakat sehingga pada akhirnya tidak akan membawa perubahan besar. Sebaliknya semakin melibatkan banyak kepentingan, maka keterlibatan seseorang atau kelompok dalam Implementasi Kebijakan tersebut akan sangat tergantung pada apakah kepentingannya terlindungi atau bahkan orang atau kelompok tersebut akan memperoleh manfaat yang besar atau tidak. Kalau kepentingannya terlindungi, maka dia akan berusaha untuk terlibat secara aktif dalam Implementasi Kebijakan karena bagaimanapun juga maanfaatnya pasti akan sampai kepada yang bersangkutan.
Berikutnya yang terakhir adalah pendapat Maarse (Tobing;1978) yang mengemukakan bahwa implementasi suatu kebijakan publik dipangaruhi oleh 4 faktor, yaitu : Pertama adalah isi kebijakan yang harus dilaksanakan, Kedua adalah tingkat informasi dari aktor-aktor yang terlibat dalam implementasi, Ketiga adalah banyaknya dukungan bagi kebijakan yang dilaksanakan, dan Keempat adalah potensi serta sumber daya seperti waktu, uang dan tenaga manusia.
Berdasarkan model-model Implementasi Kebijakan Publik yang dikemukakan oleh para ilmuwan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Kebijakan Publik. Terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dalam pengelompokkan variabel antara pakar yang satu dengan pakar lainnya. Namun tesis ini tidaklah bermaksud untuk membahas adanya perbedaan dan persamaan tersebut. Tetapi yang penting adalah bahwa dengan model-model tersebut telah diperoleh gambaran yang jelas bahwa terdapat banyak faktor atau variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan.
Di dalam hal penggunaan model, Santoso (Alfian dkk:1988) mengemukakan bahwa karya-karya atau buah pikir para pakar kebijakan belum ada yang menyinggung kasus Indonesia secara khusus, maka beberapa variabel dari model-model yang dikembangkan para pakar kebijakan mungkin relevan dan mungkin saja tidak relevan untuk mengkaji proses implementasi kebijakan di Indonesia.
Hampir senada dengan pendapat Santoso tadi, Wibawa (1994) mengemukakan bahwa seluruh model-model implementasi kebijakan jangan diaplikasikan secara mentah-mentah, melainkan dapat disesuaikan dengan kebutuhan studi implementasi.
Selanjutnya dapat disimpulkan pula bahwa semua pendapat para ilmuwan tersebut memiliki kebenaran-kebenaran, hanya saja apabila dilihat dari tingkat relevansi dengan konteks atau aspek tertentu yang akan dianalisis maka masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu perlu dilakukan seleksi terhadap variabel-variabel yang tepat dan memiliki tingkat kesesuaian atau relevansi yang tinggi dengan penelitian ini sehingga diperoleh hasil penelitian yang akurat tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah di Kabupaten Aceh Barat.
Setelah diadakan penyeleksian tingkat kesesuaian atau tingkat relevansi terhadap faktor-faktor tersebut di atas maka diperoleh variabel-variabel yang dapat mempengaruhi Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah di Kabupaten Aceh Barat adalah sebagai berikut :
1. Substansi Kebijakan Pemekaran Daerah,
2. SDM Implementator Kebijakan Pemekaran Daerah,
3. Struktur Birokrasi Komite Pemekaran Daerah,dan
4. Kondisi Lingkungan (kondisi sosial ekonomi dan sosial politik).
Berikut ini secara teoritik akan dijelaskan keempat faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan tersebut, yaitu :
1. Substansi Kebijakan Pemekaran Daerah
Dari berbagai pendapat para ilmuan yang telah disebutkan terdahulu yaitu pada bagian faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Kebijakan Publik dapat dinilai bahwa hampir semua ahli (kecuali Edward III) sependapat jika kejelasan isi atau substansi sebuah Kebijakan Publik sangat mempengaruhi dan menjadi salah satu faktor yang sangat penting didalam proses implementasi sebuah kebijakan publik. Karena pada kenyataannya banyak kasus yang disebabkan oleh permasalahan ketidakjelasan substansi menyebabkan para stakeholders dan pejabat pelaksana di lapangan menemukan kendala-kendala di dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan publik. Demikian pula masyarakat sebagai kelompok sasaran (target group) tidak selalu dengan serta merta menerima dan memberikan dukungannya terhadap sebuah kebijakan publik yang diintervensikan kepada mereka. Artinya bahwa bukan tidak mungkin apabila masyarakat akan memberikan reaksi atau respon untuk tidak menerima atau tidak mendukung kebijakan publik tertentu karena interpretasi mereka terhadap substansi kebijakan. Bahkan pada stadium lanjut, substansi kebijakan publik tersebut dapat dianggap sebagai potensi masalah atau konflik yang baru.
Untuk menemukenali substansi atau isi Kebijakan Publik, Samodra Wibawa dalam tulisannya yang berjudul Evaluasi Kebijakan Publik (1994) menjelaskan bahwa :
Kebijakan publik selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen dasar, yaitu tujuan yang luas, sasaran yang spesifik dan cara mencapai sasaran tersebut. Komponen yang terakhir biasanya belum dijelaskan secara rinci, dan oleh karena itulah birokrasi harus menterjemahkan sebagai program-program aksi dan proyek. Didalam “cara” tersebut terkandung beberapa komponen kebijakan yang lain, yaitu siapa pelaksana atau implementatornya, berapa besar dan darimana dana diperoleh, siapa kelompok sasarannya, bagaimana program dilaksanakan atau bagaimana sistem manajemennya, dan bagaimana keberhasilan atau kinerja kebijakan diukur.
Pada bagian selanjutnya ia juga mengatakan bahwa :
………komponen ketiga dari suatu kebijakan yaitu cara adalah merupakan komponen yang berfungsi untuk mewujudkan dua komponen yang pertama yaitu tujuan dan sasaran khusus.
Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Riswanda Imawan (1999) dengan mengutip pendapat William Dunn dan Samuel Patterson dkk mengatakan bahwa rumusan sebuah kebijakan publik yang baik selalu berisi dua hal yaitu tujuan kebijakan dan cara mencapai tujuan kebijakan tersebut.
Berdasarkan pendapat dua ahli di atas dapat disimpulkan bahwa komponen utama yang mengisi sebuah Kebijakan Publik adalah tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut. Jadi kejelasan isi atau substansi kebijakan sebagai faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan Pemekaran Daerah di Kabupaten Aceh Barat mengandung dua hal pokok yaitu :
a) Kejelasan tentang Tujuan Kebijakan Pemekaran Daerah.
Bahwa sebuah kebijakan yang baik harus memuat tujuan yang hendak dicapai dengan diimplementasikan kebijakan tersebut secara jelas, baik itu tujuan jangka pendek atau jangka panjang ataupun tujuan yang bersifat sempit dan luas. Adanya kejelasan tujuan ini kian menjadi sangat penting bila dikaitkan dengan ragam interpretasi yang bakal muncul baik di kalangan pelaksana kebijakan (implementator) maupun masyarakat (target group) ketika kebijakan diimplementasikan. Kejelasan tujuan kebijakan selain akan menghilangkan keragu-raguan bahkan kemungkinan kesalahan dikalangan pejabat pelaksana, juga akan meningkatkan dukungan di kalangan masyarakat Kabupaten Aceh Barat.
b) Kejelasan tentang Cara Mencapai Tujuan Kebijakan Pemekaran Daerah.
Bahwa sebuah kebijakan publik yang baik juga memuat cara mencapai tujuan kebijakan secara jelas, dan ini berkaitan dengan beberapa hal, yaitu :
1) Kejelasan tentang pelaksana atau implementator kebijakan Pemekaran Daerah: hal ini sangat penting karena kejelasan implementator akan menghilangkan kemungkinan stagnasi atau bahkan kemungkinan overlapping dalam penanganan implementasi kebijakan publik,
2) Kejelasan tentang dana atau anggaran yang disediakan untuk mengimplementasikan kebijakan Pemekaran Daerah: banyak kasus kebijakan yang telah membuktikan bahwa aspek dana atau anggaran sangat diperlukan di dalam implementasi kebijakan publik. Kejelasan tentang dana atau sistem insentif tertentu akan dapat menggerakkan upaya pencapaian tujuan kebijakan menjadi lebih efektif,
3) Kejelasan tentang proses atau tahapan pelaksanaan kebijakan Pemekaran Daerah: hal ini juga sangat vital karena akan dapat menghilangkan kemungkinan overlapping di dalam realisasi tujuan kebijakan, selanjutnya yang terakhir adalah
4) Kejelasan tentang bagaimana keberhasilan atau kinerja kebijakan itu diukur: dalam sebuah kebijakan yang baik hal ini biasanya ditandai dengan dimuatnya tenggang waktu, output secara fisik maupun non fisik sebagai ukuran pencapaian tujuan kebijakan.
2. SDM Implementator Kebijakan Pemekaran Daerah
Sumber Daya Manusia mempunyai peran penting di dalam Implementasi Kebijakan Publik karena fakta menunjukkan bahwa bagaimanapun jelas dan konsistennya ketentuan serta bagaimanapun akuratnya dalam memfungsikan aturan tersebut jika personil yang bertanggungjawab melaksanakan kebijakan (implementator) kurang memiliki sumber daya untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan bisa efektif. Hal ini seperti dikemukakan oleh Edward III (1980) yang mengatakan :
No matter how clear and consistent implementation orders are and no matter how accurately they transmitted, if the personnel responsible for carrying out policies lack the resources to do an effective job, implementation will not be effectively.
Yang dimaksudkan dengan Sumber Daya yang terpenting di dalam implementasi kebijakan antara lain adalah menyangkut staf yang harus mempunyai keahlian dan kemampuan melaksanakan tugas, perintah dan anjuran atasan (pimpinan). Aspek ini biasanya disebut dengan aspek kualitas Sumber Daya Manusia.
Disamping itu harus ada pula ketepatan dan kelayakan antara jumlah staf yang dibutuhkan dengan keahlian yang harus dimiliki sesuai dengan tugas-tugas yang akan dikerjakan. Aspek ini biasanya dikenal dengan aspek kuantitas Sumber Daya Manusia. Hal ini seperti yang diutarakan juga oleh Edward III (1980) sebagai berikut:
Important resources include staff of the proper size and with the necessary experties ; relevant and adequate information on how to implementation policies and on on the compliance of others involved in implementation; the authority to ensure that policies are carried out as they are intended; and fasilities (including buildings, equipment, land, and supplies) in which or with which to provide services. Insufficient resources will mean that laws will be not enforce, servis will not be provide, and reasonable regulations will not be developed.
Berdasarkan pendapat ilmuwan diatas, mengingat bahwa aspek manusia adalah yang terpenting dari semua jenis sumber daya, maka di dalam penelitian ini hanya dibatasi pada faktor Sumber Daya manusia saja. Oleh karena itu faktor Sumber Daya Manusia implementator kebijakan Pemekaran Daerah di Kabupaten Aceh Barat dibagi kepada dua bidang kajian secara teoritik, yaitu berkaitan dengan kualitas SDM dan kuantitas SDM aparat pelaksana (implementator) kebijakan seperti yang telah dijelaskan di atas.
Jika tingkat kemampuan yang didasarkan tingkat pendidikan dan pengalaman serta penguasaan tugas-tugas yang dimiliki oleh Aparat Implementator dijadikan fokus pembahasan pada aspek Kualitas Sumber Daya manusia, maka pembahasan yang menyangkut jumlah aparat pelaksana (implementator) yang dibutuhkan oleh seperangkat organisasi yang dibentuk untuk mengimplementasikan kebijakan tertentu dijadikan fokus pembahasan pada aspek yang kedua, yaitu kuantitas Sumber daya Manusia.
3. Struktur Birokrasi Komite Pemekaran Daerah
Organisasi sebagai wadah berhimpun orang-orang yang sehaluan dan setujuan harus mampu menampung berbagai pikiran dan keinginan orang-orang tersebut, sehingga wadah itu tetap utuh tidak pecah belah.
Fungsi organisasi sebagai wadah erat kaitannya dengan bentuk dan susunannya yang harus merupakan kerangka kerja. Dari perkembangan organisasi dengan berfungsi sebagai wadah tidak cukup memenuhi tuntutan keadaan yang makin dinamis dan kompleks. Peranan organisasi tidak hanya sekedar sebagai tempat atau wadah, tetapi telah bertumbuh menjadi alat, yaitu alat untuk mencapai tujuan tertentu. Hal tersebut seperti diutarakan oleh Warsito Utomo (2003), yaitu sebagai berikut :
Apabila organisasi berperan sebagai wadah, maka akan bersifat statis, tetapi sebagai alat maka organisasi akan berperan aktif. Dengan demikian organisasi memiliki beberapa syarat penting yaitu susunan organisasi, susunan personalia, sistem pembagian kerja dan pertanggungjawaban.
Karena tujuan dirumuskannya sebuah kebijakan publik adalah ingin mencapai sesuatu tujuan tertentu, maka sudah barang tentu untuk mengimplementasikan kebijakan publik diperlukan sebuah organisasi. Oleh karena itu implementasi kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari organisasi atau struktur birokrasi.
Berkaitan dengan hal tersebut, Jones (1996) menyatakan bahwa Kebijakan Publik jarang berjalan swalaksana (self-executing), sedangkan organisasi diperlukan agar pekerjaan dapat dilaksanakan.
Kemudian hal senada juga diungkapkan oleh Edward III (1980) bahwa :
Meskipun sumber-sumber untuk mengimplementasikan suatu kebijakan cukup dan para pelaksana (implementators) mengetahui apa dan bagaimana cara melakukannya, serta mereka mempunyai keinginan untuk melakukannya, implementasi kebijakan bisa saja belum efektif, karena adanya ketidakefisienan struktur birokrasi. Struktur Birokrasi ini mencakup aspek-aspek seperti, struktur organisasi, pembagian kewenangan, hubungan antar unit-unit organisasi.
Dua pendapat ahli di atas sudah cukup mewakili pendapat bahwa sedemikian pentingnya sebuah organisasi untuk mengimplementasikan suatu Kebijakan Publik. Di dalam pembahasan aspek struktur Birokrasi Komite Pemekaran Daerah di Kabupaten Aceh Barat, ada dua hal penting yang dapat dijadikan fokus pembahasan yaitu berkaitan dengan Struktur Organisasi dan Tata Kerja Organisasi. Struktur dimaksudkan sebagai susunan bagan-bagan atau komponen-komponen yang menunjukkan departementasi dan spesialisasi, sedangkan Tata Kerja dimaksudkan sebagai susunan Tugas Pokok dan Fungsi dari masing-masing komponen yang dibentuk.
4. Kondisi Lingkungan (Kondisi Sosial Ekonomi dan Sosial Politik di Kabupaten Aceh Barat)
Kecuali Edward III, semua ilmuwan sependapat bahwa kondisi eksternal kebijakan publik yaitu berupa kondisi lingkungan sosial ekonomi dan sosial politik sangat mempengaruhi penerapan sebuah kebijakan publik. Hal ini sangat beralasan disebabkan kondisi politik dan perkembangan ekonomi ini berkaitan dengan kesiapan lingkungan terhadap perubahan yang akan muncul sebagai konsekwensi dari dimplementasikannya sebuah Kebijakan Publik, apalagi kebijakan tersebut akan membawa perubahan yang sangat signifikan bagi lingkungan itu.
Selain itu, kondisi sosial ekonomi dan sosial politik juga berkaitan dengan kesiapan lingkungan apabila diikutsertakan sebagai aktor didalam implementasi Kebijakan Publik. Di dalam penelitian ini, mungkin pertanyaan yang sangat relevan diajukan untuk faktor ini adalah seberapa jauh kondisi ekonomi dan politik di Kabupaten Aceh Barat memberikan “ruang gerak” yang cukup atau menciptakan kondisi yang kondusif bagi penerapan Kebijakan Pemekaran Daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson,J.E. 1979, Public Policy Making, Nelson : London.
Bobrow,D.B dan Dryek,J.S. 1985, Policy Analysis by Design, University of Pittsburg Press.
Darwin,M. Teori Organisasi Publik, Magister Administrasi Publik-UGM: Yogyakarta.
Dunn,W.N. 2000, Pengantar Analisis Kebijakan Publik (terjemahan/ Penyunting Muhadjir Darwin dkk), Gadjah Mada University Press.
Dwiyanto,A. 1995, Prinsip-Prinsip Administrasi Publik, Magister Administrasi Publik -UGM: Yogyakarta.
Dye,T.R. 1978, Understanding Public Administration, University Of Islabama Press.
………… 1978, Understanding Public Policy, Prentice Hall-Engelwood Cliffts : N.J.
Eaton,J.W. 1986, Pembangunan Lembaga dan Pembangunan Nasional : dari konsep ke aplikasi, UI-Press : Jakarta.
Edward,G.C. 1980, Implementating Public Policy, Congressional Quarterly Press : Washington.
Gaffar,A. 2000, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
………… dkk, 2002 Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Grindle,M.S. 1980, Politics and Policy Implementation in the Third World, Princetone University Press.
Hoogerwerf,A. 1983, Overheidsbeleid (terjemahan RLL Tobing 1985), Erlangga:Jakarta.
Islamy,M.I, 1998, Agenda Kebijakan Administrasi Negara, Universitas Brawijaya: Malang.
……………, 1997, Prinsip-prinsip Perumusan kebijakan Negara, Bumi Aksara: Jakarta.
……………, 1984, Materi Pokok Kebijakan Publik, Universitas Terbuka, Karunika: Jakarta.
Jones,C.O. 1996, An Introduction to the Study of Public Policy, Belmont CA : Wadsworth.
Mazmanian,D dan Sabatier,P.A. 1981, Effective Policy Implementation, Lexingtone Mass DC : Heath.
Moleong,J.L, 2001, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Posdakarya, Bandung.
Nihin,H.A.Dj. 2000, Berbagai Keadaan dan Penyikapannya, Khadik : Jakarta.
Pressman,J.L dan Wildavsky,A. 1984, Implementation, University of California : Berkeley.
Putra,F. 2001, Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik : Pustaka Pelajar,Yogyakarta.
Sabari,H. 2000, Struktur Tata Ruang Kota, Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Santoso,A. 1988, Pelaksanaan Kebijakan Publik kasus Bima dan KUD, dalam masa depan kehidupan politik di Indonesia, Editor Alfian dan Nazarudin Syamsuddin, Rajawali:Jakarta.
Singarimbun,M dan Effendi,S. 1987, Metode Penelitian Survai, LP3ES : Jakarta.
Smith,B.C. 1985, Decentralization: The Territorial Dimension of the State, George Allen & Unwin : London.
Sugiono. 2001, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta : Bandung.
Syafei,I.K dkk.1997, Ilmu Administrasi Publik, Rineka Cipta : Jakarta.
Wahab, S.A. 2002, Analisis Kebijaksanaan. Bumi Aksara: Jakarta.
Wibawa,S. 1994, Evaluasi Kebijakan Publik, Raja Grafindo Persada : Jakarta.
…………… 1994, Kebijakan Publik, Proses dan Analisis, Intermedia : Jakarta.
Winarno,B. 1989, Teori Kebijaksanaan Publik, Pusat Antar Universitas Studi Sosial : Yogyakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2002 Tentang Pemekaran Daerah di Kabupaten Aceh Barat.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 2000 Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 Tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran,Penghapusan dan Penggabungan Daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2003 Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2001 Tentang Penetapan Jumlah dan Tata Cara Pengisian Keanggotaan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota yang baru dibentuk setelah Pemilu 1999.
Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pengucapan Sumpah/Janji Pelantikan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 5 tahun 2000 tentang Perubahan atas Kepmendagri Nomor 2 Tahun 2000 Tentang Pedoman Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengesahan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Keputusan Menteri Dalam Negeri R.I Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Jumlah dan Tata Cara Pengisian Keanggotaan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota yang baru dibentuk setelah Pemilu 1999.
Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 35 Tahun 2002 Tentang Penetapan Jumlah Penduduk dan Jumlah Kursi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Di Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dibentuk setelah Pemilihan Umum 1999.
1. Pengertian, Ciri dan Fase Kebijakan Publik
a. Pengertian Kebijakan Publik
Berkaitan dengan definisi Kebijakan Publik, terdapat banyak batasan dan definisi yang bisa didapatkan dari literaratur-literatur ilmu politik maupun administrasi. Namun banyaknya pendapat tersebut tidaklah berarti telah memberikan makna yang simpang siur atau pertentangan persepsi tentang Kebijakan Publik. Perbedaan justeru terjadi hanya pada kedalaman analisis di dalam merumuskan batasan-batasan Kebijakan Publik itu sendiri. Kendati pada kenyataannya bahwa definisi atau batasan sedemikian banyaknya, namun untuk keperluan analisis didalam tulisan ini akan dikemukakan berapa saja dari pendapat-pendapat para ahli tersebut, diantaranya adalah Robert Eyestone (Winarno,1989) yang berpendapat bahwa secara luas Kebijakan Publik itu dapat didefinisikan sebagai berikut : Public Policy is the relationship of a governments unit to its Environment (Kebijakan Publik adalah hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya). Konsep ini memiliki kelemahan karena mengandung pengertian yang demikian luasnya dan sangat tidak kongkrit karena tidak memuat secara spesifik bagaimana hubungan yang dimaksud. Batasan lain tentang Kebijakan Publik ini diberikan secara simpel oleh Thomas R.Dye (Winarno,1989) yang mendefinisikan Kebijakan Publik sebagai berikut : Public Policy is whatever governments chose to do or not to do (Kebijakan Publik adalah apa saja yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan). Sekalipun batasan ini dirasakan agak tepat, akan tetapi batasan ini tidak cukup mengakui bahwa mungkin terdapat adanya perbedaan yang signifikan antara apa yang diputuskan oleh Pemerintah untuk dilakukan dan apa yang sebenarnya dilakukan oleh Pemerintah.
Kemudian Charles O. Jones di dalam bukunya An Introduction to the Study of Public Policy, mengemukakan pendapat H. Hugh Heclo sebagai berikut: Policy is course of action intended to accomplish some end (Kebijakan Publik adalah suatu arah kegiatan yang tertuju kepada tercapainya beberapa tujuan). Kemudian ia juga mengungkapkan bahwa :
A policy may usefully be considered as a course of action or inaction rather than specific decisions or action, and such a course has to be perceived and indentified by the analys in question.
(Sebuah Kebijakan Publik akan lebih cocok dilihat sebagai suatu arah tindakan atau tidak dilakukannya tindakan, daripada sebagai sekedar suatu keputusan atau tindakan belaka).
Selain Thomas R.Dye dan H. Hugh Heclo yang telah memberikan rumusan Kebijakan Publik yang hampir senada, masih menurut Jones (1996), ada juga para ahli-ahli lain yang memiliki pendapat yang senada yaitu Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt, pendapat mereka adalah :
Policy is defined as a standing decision characterized by behavioral consistency and repetitiveness on the part of both those who makes it and those who abide by it.
(Kebijakan didefinisikan sebagai suatu keputusan yang siap dilaksanakan dengan ciri adanya kemantapan prilaku dan berulangnya tindakan, baik oleh mereka yang membuatnya maupun oleh mereka yang harus mematuhinya).
Kemudian James E. Anderson (1975) dengan mengutip pendapat Carl J. Friedrich memberikan definisi Kebijakan sebagai berikut:
Public Policy is a proposed course of action af a person, group, or government within a given environment providing obstacles and opportunities wich the policy was proposed to utilized and overcome in a effort to reach a goal or relized an objective or a purposed.
(Kebijakan Publik adalah suatu arah tindakan yang diusulkan pada seseorang, golongan atau pemerintah dalam suatu lingkungan dengan halangan-halangan dan kesempatan-kesempatannya, yang diharapkan dapat memenuhi dn mengatasi halangan tersebut dalam rangka mencpai suatu cita-cita atau mewujudkan kehendak serta suatu tujuan tertentu).
Dari definisi beserta keterangan yang dikemukakan oleh Carl J.Fredrich itu, maka James E.Anderson menyimpulkan suatu konsep Kebijakan Publik adalah sebagai berikut:
Public Policy is a purposive course of action, followed by an actor or a set of actors in daling with a problem or metter of concern..
(Kebijakan Publik adalah suatu arah tindakan yang bertujuan, yang dilaksanakn oleh pelaku atau pelaku kebijakan didalam mengatasi suatu masalah atau urusan-urusan yang bersangkutan).
Agak berbeda dari definisi-definisi yang dikemukakan Anderson terdahulu dimana penekanannya pada pembuat kebijakan, maka Dimock and Dimock dalam bukunya yang berjudul Public Administration mengarahkan perhatian atau fokus definisinya pada pendapat dan keinginan rakyat. Ia memberikan definisi Kebijakan Publik sebagai berikut:
Public Policy is the reconciliation and crystallization of the views and wants of many people and groups in the body social.
(Kebijakan Publik adalah perpaduan dan kristalisasi daripada pendapat-pendapat dan keinginan-keinginan banyak orang dan golongan-golongan dalam masyarakat).
Dari berbagai definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ilmuwan tersebut diatas maka sementara dapat disimpulkan bahwa Kebijakan Publik memiliki dimensi yang luas sehingga menjadi sangat dinamis dan dapat diadakan pengembangan lebih lanjut. Oleh karena itu, di dalam suatu penelitian tertentu Kebijakan Publik dapat saja didudukkan sebagai variabel terikat (Dependent Variable) dan sebagai variabel bebas (Independent Variable).
Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa makna dan hakekat Public Policy atau Kebijakan Publik adalah suatu keputusan yang ditetapkan oleh Pejabat Pemerintah atau pihak yang berwenang dengan tujuan untuk memenuhi kepentingan rakyat (public Interest). Dimana kepentingan rakyat itu merupakan keseluruhan yang utuh dari perpaduan dan kristalisasi pendapat-pendapat, keinginan-keinginan dan tuntutan–tuntutan dari rakyat.
b. Ciri-ciri Kebijakan Publik
Ciri-ciri khusus yang melekat pada Kebijakan Publik bersumber pada kenyataan bahwa kebijakan tersebut dirumuskan yang oleh David Easton (Wahab,2002) disebut sebagai orang-orang yang memiliki wewenang dalam sistem politik, yaitu para tetua adat, ketua suku, eksekutif, lagislator, para hakim, para administrator, para monarkhi dan lain sebagainya. Mereka inilah yang menurut Easton, merupakan orang-orang yang dalam kesehariannya terlibat dalam urusan-urusan politik dalam sistem politik dan dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai pihak yang paling bertanggung jawab berkaitan dengan keputusan atau Kebijakan Publik tertentu.
Berkaitan dengan pendapat Easton di atas, Solichin A. Wahab di dalam bukunya Analisis Kebijaksanaan (2002) mengemukakan beberapa ciri dari Kebijakan Publik sebagai berikut ertama, Kebijakan Publik adalah tindakan yang mengarah pada tujuan daripada prilaku atau tindakan yang serba kebetulan, artinya bahwa kebijakan publik adalah tindakan yang direncanakan. Kedua, Kebijakan Publik pada hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola, yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh Pejabat-Pejabat Pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang berdiri sendiri. Misalnya saja kebijakan publik tidak hanya mencakup keputusan untuk membuat Undang-Undang di dalam bidang-bidang tertentu melainkan diikuti dengan keputusan-keputusan yang bersangkut paut dengan implementasi dan atau pemaksaan pemberlakuannya. Ketiga, Kebijakan Publik bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dilakukan oleh Pemerintah di dalam bidang-bidang tertentu, misalnya di dalam mengatur pola hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di dalam kerangka Otonomi Daerah, industri dan perdagangan, mengendalikan inflasi, dan lain sebagainya. Keempat, Kebijakan Publik mungkin berbentuk positif dan mungkin pula berbentuk negatif. Dalam bentuknya yang positif, kebijakan publik mungkin akan mencakup beberapa bentuk tindakan pemerintah yang dimaksudkan untuk memberikan pengaruh tertentu. Sementara di dalam bentuknya yang negatif, kebijakan publik meliputi keputusan-keputusan Pejabat Pemerintah untuk tidak bertindak atau tidak melakukan tindakan apapun dalam masalah-masalah dimana campur tangan pemerintah justeru sebenarnya sangat diperlukan.
Kongkritnya adalah bahwa dengan kebijakannya itu Pemerintah dapat saja menempuh suatu kebijakan yang sangat liberal, atau cuci tangan sama sekali, baik untuk sebagian atau seluruh sektor kehidupan masyarakat.
c. Fase-Fase Kebijakan Publik
Jika Kebijakan Publik dipandang sebagai suatu proses, maka pusat perhatian pasti akan tertuju pada siklus kebijakan. Pada umumnya siklus kebijakan terdiri dari beberapa fase, dan fase-fase tersebut adalah Formulasi, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan (Putra,2001).
Agak sedikit berbeda dengan pendapat diatas, William N.Dunn di dalam bukunya Analisis Kebijakan Publik (terjemahan Muhadjir Darwin dkk;2000) menyebutkan fase-fase kebijakan publik adalah sebagai berikut:
Proses analisis Kebijakan adalah serangkaian aktifitas intelektual yang dilakukan didalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktifitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan yang divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung dan diatur menurut waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.
Masih menurut Dunn, Tahapan atau fase-fase di dalam analisis Kebijakan Publik mencerminkan aktifitas yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang waktu, setiap tahap selalu berkaitan dengan tahap berikutnya. Tahap Terakhir kebijakan (Penilaian Kebijakan) dikaitkan dengan Tahap Pertama (Penyusunan Agenda), atau di tengah dalam aktifitas yang tidak linear.
Dari kedua pendapat ahli tentang fase-fase Kebijakan Publik tersebut dapat dijelaskan bahwa kedua pendapat tersebut masing – masing menempatkan implementasi sebagai salah satu fase yang penting di dalam studi Kebijakan Publik.
2. Pengertian Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah
Betapapun pentingnya tahapan implementasi kebijakan, fakta telah membuktikan bahwa baru pada dasa warsa terakhir ini saja (mulai tahun 1973) para ahli ilmu sosial mulai menyadari dan memberikan perhatian secara serius tentang Implementasi Kebijakan dan menerimanya sebagai bagian integral dari keseluruhan proses formulasi Kebijakan.
Untuk memperoleh batasan tentang implementasi kebijakan Pemekaran Daerah perlu diketahui beberapa pengertian tentang implementasi Kebijakan Publik secara umum.
Sehubungan dengan batasan Implementasi Kebijakan Publik ini, seorang ilmuwan dari Harvard University, Merilee S.Grindle (1980) menyatakan bahwa :
Implementasi Kebijakan Publik sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan.
Bahkan Udoji (Wahab,2002) dengan tegas juga memberikan pendapat tentang betapa pentingnya Implementasi Kebijakan. Ia mengatakan bahwa Implementasi Kebijakan Publik adalah :
The execution of policies is as important if not more important than policy-making. Policies will remain dreams or blue print file jackets unless they are implemented.
(Pelaksanaan Kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan.Kebijakan-Kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak dimplementasikan).
Sebagai bahan perbandingan, William N.Dunn (2000) memberikan definisi Implementasi Kebijakan Publik sebagai :
Implementasi Kebijakan berarti pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijakan dalam jangka waktu tertentu sampai dicapainya hasil kebijakan. Implementasi Kebijakan pada dasarnya merupakan aktivitas praktis yang dibedakan dari formulasi kebijakan yang bersifat teoritis.
Jadi Dunn menempatkan Implementasi sebagai konsep yang harus dibedakan namun dianggap sama pentingnya dengan kegiatan formulasi kebijakan, jika formulasi kebijakan adalah kegiatan dalam konteks teoritis maka implementasi kebijakan adalah kegiatan dalam konteks praktis.
Kemudian Pressman dan Wildavsky dalam bukunya Implementation yang diterbitkan pada tahun 1973 (Wahab,2002), yang digelar sebagai pencetus konsep Implementasi Kebijakan Publik menyatakan bahwa sebuah kata kerja mengimplementasikan itu sudah sepantasnya terkait langsung dengan kata benda kebijakan. Sehingga kedua pelopor studi implementasi ini berpendapat bahwa untuk melaksanakan kebijakan perlu mendapatkan perhatian yang seksama, oleh karena itu adalah keliru jika menganggap bahwa proses tersebut dengan sendirinya akan berlangsung mulus.
Agak mirip dengan pandangan kedua ilmuwan di atas, Van Meter dan Van Horn (1978) merumuskan proses Implementasi Kebijakan Publik sebagai :
Those actions by public or private individuals (or groups) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions
(Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh/pejabat-pejabat (atau kelompok-kelompok) pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan)
Jadi Van Meter dan Van Horn melihat Implementasi Kebijakan Publik sebagai suatu aktifitas yang real dan kongkrit, bukan menyangkut teori-teori tertentu saja, jadi senada dengan yang dikemukakan oleh Dunn.
Masih berkaitan dengan konsep teoritik Implementasi Kebijakan Publik, Walter William seperti yang dikutip Charles O.Jones (1996) menyatakan bahwa :
Masalah yang penting dalam implementasi kebijakan adalah hal memindahkan suatu keputusan ke dalam kegiatan atau pengoperasian dengan cara tertentu. Dan cara tersebut adalah bahwa apa yang dilakukan memiliki kemiripan nalar dengan keputusan tersebut, serta berfungsi dengan baik di dalam lingkup lembaganya. Hal terakhir mengandung pesan yang lebih jelas dibandingkan dengan kesulitan dalam menjembatani jurang pemisah antara keputusan kebijakan dan bidang kegiatan yang dapat dikerjakan.
Dari dimensi yang lain, berikutnya Daniel A.Mazmanian dan Paul A.Sabatier (1981) menjelaskan makna Implementasi Kebijakan ini dengan mengatakan bahwa :
Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yaitu kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan publik , yang mana mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikan maupun akibat atau dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.
Pendapat kedua ilmuwan ini menggambarkan bahwa proses Implementasi Kebijakan Publik sesungguhnya tidak hanya menyangkut prilaku badan-badan administratif yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan menyangkut pula jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi prilaku dari semua pihak yang terlibat, dan pada akhirnya berpengaruh terhadap dampak baik yang diharapkan (intended) maupun yang tidak diharapkan (negative effect). Di dalam pendapat ini juga terlihat bahwa antara apa yang disebut sebagai Perumusan Kebijakan dan Implementasi Kebijakan tidak dianggap sebagai suatu proses yang terpisah.
Menurut Agus Dwiyanto (1995), Implementasi Kebijakan Publik mempersoalkan proses Implementasi Kebijakan Pemerintah. Jadi pertanyaan yang akan dijawab oleh studi ini adalah mengapa suatu Kebijakan Publik gagal mencapai tujuannya. Dengan demikian studi ini berusaha mengungkapkan proses implementasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan implementasi suatu Kebijakan Publik.
Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ilmuwan tadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah adalah aktifitas-aktifitas praktis yang dilakukan secara sistematis untuk menerapkan keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam rangka Pembentukan Daerah suatu daerah tertentu dengan proses Pemekaran Daerah.
B. Substansi Kebijakan Pemekaran Daerah.
1. Pemekaran Daerah
Analisis tentang wilayah atau daerah belum banyak ditemukan di dalam literatur-literatur Ilmu Sosial sehingga di ditemukan sedikit kesulitan di dalam merumuskan konsep-konsep teoritik tentang Daerah. Kemudian antara sebutan Daerah dan Wilayah tidak berhasil ditemukan adanya perbedaan, bahkan kedua sebutan ini sering dipertukarkan di dalam pemakaian sehari-hari. Oleh para ahli, batasan mengenai ilmu wilayah diartikan sebagai berikut :
Ilmu wilayah adalah suatu ilmu yang mempelajari wilayah terutama sebagai suatu sistem, khususnya yang menyangkut hubungan interaksi dan interpendensi antara subsistem utama, ekosistem dengan sub sistem utama sosial sistem, serta kaitannya dengan wilayah-wilayah lainnya dalam membentuk suatu kesatuan wilayah guna pengembangan termasuk penjagaan kelestarian wilayah tersebut (Sutami,1997).
Lebih lanjut beberapa ahli mendefinisikan wilayah sangat berbeda satu sama lain karena kepentingan dan latar belakang yang berbeda pula. Sebagaimana dikutip oleh Hadi Sabari (2000) dari beberapa pakar berikut ini : misalkan saja T.J.Wofter yang mengatakan bahwa :
suatu wilayah adalah daerah tertentu yang di dalamnya tercipta homogenitas struktur dan sosial sebagai perwujudan kombinasi antara faktor-faktor lingkungan dan demografi.
Kemudian R.S. Platt yang berpendapat bahwa :
suatu wilayah adalah daerah tertentu yang keberadaannya dikenal berdasarkan homogenitas umum baik atas dasar karakter lahan maupun huniannya.
Selanjutnya P. Vidal dela Blache, bahwa :
wilayah adalah tempat (domain) tertentu yang di dalamnya terdapat banyak sekali hal yang berbeda beda, namun secara artifisial bergabung bersama-sama, saling menyesuaikan untuk membentuk kebersamaan.
Berikutnya A.J. Herbertson, yang mengartikan :
wilayah sebagai bagian dari bagian yang tertentu dari permukaan bumi yang mempunyai sifat khas tertentu sebagai akibat dari adanya hubungan-hubungan khusus antara komplek lahan, air, udara, tanaman, binatang dan manusia sendiri.
Taylor yang melihat wilayah dari penampakan karakteristik memberikan batasan wilayah yaitu :
Sebagai suatu daerah tertentu di permukaan bumi yang dapat dibedakan dengan daerah tetangganya atas dasar kemampuan karakteristik atau properti yang menyatu.
Dari batasan dan pengertian yang diberikan oleh para Ahli diatas, maka dapat dikelompokkan adanya 3 pandangan tentang wilayah yaitu dari sudut pandang Humaniora (kemanusiaan), natural fenomena (gejala alamiah) dan geographycal fenomena (gejala geografi). Dengan demikian, dari pandangan-pandangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa perwilayahan adalah usaha untuk membagi-bagi permukaan bumi atau bagian dari permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula dengan kriteria seperti administratif, politik, ekonomi, sosial, kultural, fisik, geografis dan sebagainya. Selanjutnya perwilayahan tersebut membentuk organisasi dan kelembagaan dengan program berbagai variabelnya antara lain kepemimpinan, doktrin, program, sumber-sumber daya (Alam dan manusia) dan struktur intern lainnya (Eaton,1986)
Sedangkan menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksudkan dengan Daerah adalah :
Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tententu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah bertujuan untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas masyarakat serta mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Jadi intinya adalah memberikan kewenangan kepada Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakatnya yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dengan demikian pemikiran yang mendasari lahirnya Undang-Undang tentang Otonomi Daerah ini adalah :
a. Dalam rangka memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.
b. Penyelenggaraan otonomi daerah dilakukan dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, kemandirian, menjaga keserasian hubungan dengan Pemerintah Pusat serta memperhatikan potensi dan keberagaman daerah.
c. Guna menghadapi persaingan global, jadi Daerah diberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab (Gaffar, 2002).
Berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah tersebut sudah barang tentu menyebabkan terjadinya perubahan yang fundamental terhadap elemen-elemen Pemerintahan Daerah serta memerlukan penataan-penataan yang sistematis. Elemen-elemen utama yang membentuk Pemerintah Daerah itu adalah :
a. Adanya urusan otonomi yang merupakan dasar dari kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri,
b. Adanya kelembagaan yang merupakan pewadahan dari otonomi yang diserahkan kepada Daerah,
c. Adanya personil (pegawai daerah) untuk menjalankan urusan otonomi,
d. Adanya sumber keuangan untuk pembiayaan pelaksanaan otonomi,
e. Adanya unsur perwakilan rakyat yang merupakan perwujudan demokrasi di daerah,dan
f. Adanya manajemen pelayanan umum (public service).
Tujuan-tujuan yang ingin diperoleh dari adanya penataan tersebut terdiri dari :
a. Tujuan utama yaitu bagaimana dengan penataan kewenangan, kelembagaan, personil, keuangan, perwakilan dan manajemen urusan otonomi tersebut akan dapat memberdayakan Pemerintah Daerah agar mampu menjalankan tugasnya sebagai Daerah Otonom dengan baik (Gaffar, 2002).
b. Tujuan politis yaitu memposisikan Pemerintah Daerah sebagai instrumen pendidikan politik ditingkat lokal yang secara agregat akan menyumbangkan pendidikan politik secara nasional sebagai elemen dasar menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa. Pemberian Otonomi dan pembentukan institusi Pemerintah Daerah akan mencegah terjadinya sentralisasi dan mencegah kecenderungan sentrifugal dalam bentuk pemisahan diri (Smith, 1985).
c. Tujuan administratif yaitu mengisyaratkan Pemerintah Daerah akan mencapai efisiensi dan efektifitas dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya dalam artian bertindak dan menggunakan dana publik tidak boros yang pada gilirannya dalam pemilihan umum yang akan datang tidak lagi mendapat mandat untuk menjalankan amanah masyarakat (Gaffar, 2002).
Dari uraian diatas tersirat bahwa dimungkinkan adanya pembentukan daerah otonom yang baru, diantaranya yang ditempuh melalui cara pemekaran daerah. Pemekaran Daerah sendiri dimaksudkan adalah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui : (1)peningkatan pelayanan kepada masyarakat; (2)percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi; (3)percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah; (4)percepatan pengelolaan potensi daerah; (5)peningkatan keamanan dan ketertiban; serta (6)peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah (PP Nomor 129 Tahun 2000).
Selanjutnya di dalam pasal 1 Peraturan Pemerintah R.I Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, yang dimaksud dengan Pemekaran Daerah adalah Pemecahan Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota menjadi lebih dari satu Daerah.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Pemekaran Daerah merupakan tuntutan atau aspirasi sebagian besar masyarakat tertentu untuk memisahkan diri dari daerah induknya, kemudian membentuk suatu daerah baru baik itu Propinsi, Kabupaten atau Kota dengan pertimbangan dan alasan-alasan tertentu sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi Pemekaran Daerah lebih terarah pada keinginan atau aspirasi masyarakat.
2. Substansi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pemekaran Daerah.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pemekaran Daerah di Kabupaten Aceh Barat adalah landasan hukum pelaksanaan pemekaran daerah, dimana Kabupaten Aceh Barat dimekarkan menjadi 3 Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Barat sebagai induk, Kabupaten Aceh jaya dan Kabupaten Nagan Raya sebagai Kabupaten yang baru. Undang-Undang ini mengatur beberapa hal pokok , yaitu:
a) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 dikeluarkan dengan pertimbangan adanya perkembangan dan kemajuan di bidang penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Kabupaten Aceh Barat serta segenap kemampuan sumber daya yang ada (ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan lain-lain),
b) Pembentukan Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Nagan Raya sebagai hasil pemekaran Kabupaten Aceh Barat dimaksudkan agar dapat mendorong peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah,
c) Pengaturan secara jelas tentang batas-batas daerah serta ibukota, baik ibu kota Kabupaten maupun Kecamatan,
d) Kewenangan Kabupaten-Kabupaten yang baru terbentuk mencakup seluruh kewenangan bidang pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
e) Untuk Kabupaten yang baru terbentuk, Pembentukan DPRD sudah harus dilaksanakan paling lambat 6 bulan setelah peresmian Kabupaten,
f) Untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten yang baru terbentuk, Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati yang definitif sudah harus dilaksanakan paling lambat dalam waktu 1 tahun setelah peresmian Kabupaten,
g) Sebelum terpilihnya Bupati dan Wakil Bupati yang definitif, maka diangkat Penjabat Bupati oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden,
h) Untuk kelengkapan perangkat pemerintahan di Kabupaten yang baru maka dibentuk Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas-Dinas Kabupaten dan Lembaga-Lembaga teknis lainnya,
i) Berkaitan dengan sumber daya, serah terima sumber daya dari Kabupaten Induk kepada Kabupaten-Kabupaten yang baru terbentuk segera dilaksanakan. Sumber-sumber daya tersebut dapat berupa Pegawai Negeri, barang milik/ asset daerah, Badan Usaha Milik Daerah, dokumen atau arsip maupun utang-piutang,
j) Biaya yang diperlukan untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat sebelum ditetapkannya APBD di Kabupaten yang baru maka dibebankan kepada APBD Kabupaten Induk,
k) Sebelum Kabupaten yang baru terbentuk menetapkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002, maka yang berlaku adalah Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah Kabupaten induk (Kabupaten Aceh Barat).
3. Indikator Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah.
Berdasarkan beberapa substansi pokok yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 tersebut di atas, penulis dapat merinci beberapa indikator pokok yang dapat dijadikan tolok ukur implementasi Undang-Undang tentang Pemekaran Daerah Kabupaten Aceh Barat, yaitu :
a) Diresmikannya Kabupaten dan dilantiknya Penjabat Bupati paling lambat 1 bulan setelah UU Nomor 4 Tahun 2002 diundangkan.
b) Terbentuknya Organisasi Perangkat Daerah,
c) Terbentuknya DPRD paling lambat 6 bulan setelah peresmian Kabupaten,
d) Terpilihnya Bupati dan Wakil Bupati yang definitif paling lambat 1 tahun setelah peresmian Kabupaten,
e) Terlaksananya serah terima Asset Daerah dari Pemerintah Daerah Kabupaten Induk kepada Kabupaten yang baru paling lambat 1 tahun setelah peresmian Kabupaten,
Implementasi Undang-Undang dimaksud dianggap terlaksana sebagaimana mestinya apabila semua indikator-indikator di atas telah dapat dilaksanakan, demikian pula sebaliknya.
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah
Eugene Bardach di dalam bukunya yang sangat provokatif yaitu The Implementation Game (Jones,1996) mengatakan bahwa :
Adalah cukup sulit untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus di atas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakkan bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk dan cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka yang dianggap sebagai klien.
Disini Bardach bermaksud melukiskan kesulitan-kesulitan dalam mencapai kesepakatan di dalam proses kebijakan publik dan menerapkan kebijakan tersebut. Hal ini terlihat pada pelaksanaan kerja serta pemindahan dari tujuan yang disepakati ke proses pencapaian tujuan tersebut.
Jones sendiri menilai bahwa dalam Implementasi Kebijakan, pergeseran atau pemindahan yang dimaksudkan oleh Bardach tadi merupakan salah satu masa tenggang yang populer dalam proses Kebijakan Publik, yaitu pergeseran dari aspek politik ke aspek administrasi. Dengan demikian cukup penting untuk diakui bahwa tidak ada gambaran yang jelas tentang kebijakan umum di dalam praktek. Pada bagian akhir dari penjelasannya, Bardach juga mengatakan bahwa proses kesepakatan untuk menyetujui suatu program tertentu jarang memecahkan masalah yang memuaskan bagi setiap orang.
Hogwood dan Gunn (Wahab,2002) secara garis besar menjelaskan bahwa kegagalan suatu kebijakan (policy failure) dapat dikelompokkan menjadi dua katagori. Pertama, yaitu tidak terimplementasikannya kebijakan itu (non implementation gap) dan Implementasi Kebijakan yang tidak berhasil (unsuccesfull implementation). Tidak terimplementasinya kebijakan berarti bahwa suatu kebijakan tidak berjalan sesuai dengan harapan, bahkan bisa diakibatkan karena pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam implementasi tidak bersedia bekerjasama, atau sedemikian luasnya jangkauan yang ingin dicapai oleh kebijakan.
Masih menurut Hogwood dan Gunn, agar Implementasi Kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik maka harus memperhatikan faktor-faktor berikut ini yaitu: (1)kondisi eksternal yang dihadapi organisasi dan instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan dan kendala; (2)untuk melaksanakan kebijakan harus tersedia waktu dan sumber-sumber yang memadai; (3)keterpaduan antar sumber daya yaitu manusia, dana dan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya; (4)kebijakan yang di implementasikan harus didasari hubungan kausalitas yang erat; (5) hubungan kausalitas harus bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya; (6)hubungan saling ketergantungan harus kecil; (7)pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan; (8)tugas-tugas harus terperinci dan ditempatkan pada urutan yang tepat; (9)komunikasi dan koordinasi yang sempurna dan (10)pihak-pihak yang memiliki wewenang dapat menuntut dan memperoleh kepatuhan kewenangan.
Menurut Mazmanian dan Sabatier (Wahab,2002) dalam rangka memformulasikan penelitian tentang Implementasi Kebijakan hal terpenting adalah merancang dan mengidentifikasikan variabel-variabel yang dianggap penting, kemudian menetapkan varibel mana yang paling mempengaruhi dalam menentukan berhasil atau gagalnya suatu kebijakan. Masih menurut kedua ahli tadi, Sabatier dan Mazmanian (Wibawa,1994), bahwa variabel-variabel yang dapat mempengaruhi berhasil atau gagalnya suatu kebijakan adalah sebagai berikut : (1)mudah atau tidaknya masalah yang akan dikerjakan; (2)kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses implementasi kebijakan; (3)pengaruh langsung berbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan tersebut.
Kemudian mereka juga mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan yaitu : (a)variabel kemampuan landasan hukum (peraturan) terhadap implementasi struktur; dan (b)variabel non peraturan yang mempengaruhi implementasi kebijakan.
Variabel kemampuan landasan hukum (peraturan) terhadap implementasi struktur meliputi: (1)kejelasan dan konsistensi sasaran; (2)sumber daya keuangan; (3)keterpaduan dari teori kausal yang memadai; (4)integrasi hierarkis dengan dan antar lembaga pelaksana; (5)peraturan keputusan dari agen pelaksana; (6)rekruitmen dari pejabat pelaksana; (7)akses formal ke luar. Sedangkan variabel non peraturan yang mempengaruhi jalannya implementasi kebijakan meliputi : (1)kondisi sosial ekonomi dan teknologi;(2) perhatian media terhadap masalah; (3)dukungan publik; (4)sikap dan sumber daya kelompok sasaran utama; (5)dukungan kewenangan; (6)komitmen dan kemampuan pejabat pelaksana.
Van Meter dan Van Horn (Wahab,2002) menjelaskan ada beberapa variabel bebas yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan yaitu: (1)ukuran dan tujuan kebijakan; (2)sumber-sumber kebijakan; (3)ciri-ciri atau sifat badan/instansi pelaksana dan (4) lingkungan ekonomi, sosial dan politik.
Gagal atau berhasilnya implementasi suatu kebijakan menurut Edward III (1980) ditentukan oleh 4 faktor, yaitu: (1)komunikasi; (2)sumber-sumber daya; (3)disposisi dan (4)struktur birokrasi.
Selanjutnya G.Shabbir Chemma dan Dennis A. Rondinelli (Wibawa,1994) mengungkapkan ada 4 variabel besar yang mempengruhi berhasil dan gagalnya implementasi kebijakan yaitu: Pertama, kondisi lingkungan meliputi : (a)model politik; (b)struktur pembuatan kebijakan; (c)karekteristik struktur kekuatan lokal; (d)kendala sumber daya, (e)faktor sosio kultural; (f)kecukupan infrastruktur fisik. Kedua, hubungan antar organisasi meliputi: (a)kejelasan dan konsistensi terhadap tujuan kebijakan; (b)hubungan antar dinas yang seimbang; (c)standarisasi perencanaan, anggaran, implementasi dan prosedur evaluasi, (d)keakuratan, konsistensi dan kualitas komunikasi antar organisasi dan(e) kefektifan jaringan untuk mendukung kegiatan kebijakan (program). Ketiga, sumberdaya organisasi yang meliputi: (a)sejauhmana organisasi mengontrol sumberdana; (b)kecukupan alokasi budget dengan program; (c)ketepatan waktu penerimaan budget; (d)dukungan kepemimpinan politik lokal; (e)dukungan dan kepemimpinan politik nasional dan (f)komitmen birokrasi pada tingkat nasional. Sedangkan variabel yang keempat adalah karekteristik dan kemampuan agen pelaksana meliputi: (a)teknik,manajerial dan keahlian politik para staf; (b)kemampuan untuk mengkoordinasikan dan mengontrol keputusan; (c)dukungan dan sumberdaya agen politik; (d)komunikasi internal organisasi; (e)hubungan agen pelaksana dan terget group; (f) hubungan agen pelaksana dengan organisasi non pemerintah lainnya; (g)kualitas kepemimpinan agen pelaksana; (h)komitmen para staf untuk melaksanakan program dan (i)lokasi agen pelaksana dalam sistem administrasi.
Yang terakhir adalah pendapat Merilee S.Grindle (1980), Ia mengidentifikasi dua hal yang sangat menentukan keberhasilan dalam Implementasi Kebijakan, yaitu Isi Kebijakan dan Konteks dari Implementasi itu sendiri. Dua hal itu kemudian dirinci menjadi :
a. Isi Kebijakan (Content of Policy) yang terdiri dari :
1) kepentingan siapa yang terlibat,
2) macam-macam manfaat,
3) sejauhmana perubahan akan diwujudkan,
4) tempat pembuatan kebijakan,
5) siapa yang menjadi implementatornya, dan
6) sumberdaya yang tersedia/disediakan.
b. Konteks Implementasi (Context of Implementation) yang terdiri dari:
1) kekuasaan, kepentingan, dan strategi para aktor yang terlibat,
2) karateristik lembaga dan rejim, dan
3) sesuai dengan kaidah dan tingkat responsif.
Kesimpulan yang dapat diambil dari apa yang disampaikan oleh Grindle ini adalah bahwa keberhasilan dari Implementasi Kebijakan ditentukan oleh banyak hal, terutama yang menyangkut kepentingan-kepentingan yang terlibat didalamnya. Sebuah Kebijakan yang sederhana tentu saja tidak melibatkan kepentingan banyak orang dan kelompok masyarakat sehingga pada akhirnya tidak akan membawa perubahan besar. Sebaliknya semakin melibatkan banyak kepentingan, maka keterlibatan seseorang atau kelompok dalam Implementasi Kebijakan tersebut akan sangat tergantung pada apakah kepentingannya terlindungi atau bahkan orang atau kelompok tersebut akan memperoleh manfaat yang besar atau tidak. Kalau kepentingannya terlindungi, maka dia akan berusaha untuk terlibat secara aktif dalam Implementasi Kebijakan karena bagaimanapun juga maanfaatnya pasti akan sampai kepada yang bersangkutan.
Berikutnya yang terakhir adalah pendapat Maarse (Tobing;1978) yang mengemukakan bahwa implementasi suatu kebijakan publik dipangaruhi oleh 4 faktor, yaitu : Pertama adalah isi kebijakan yang harus dilaksanakan, Kedua adalah tingkat informasi dari aktor-aktor yang terlibat dalam implementasi, Ketiga adalah banyaknya dukungan bagi kebijakan yang dilaksanakan, dan Keempat adalah potensi serta sumber daya seperti waktu, uang dan tenaga manusia.
Berdasarkan model-model Implementasi Kebijakan Publik yang dikemukakan oleh para ilmuwan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Kebijakan Publik. Terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dalam pengelompokkan variabel antara pakar yang satu dengan pakar lainnya. Namun tesis ini tidaklah bermaksud untuk membahas adanya perbedaan dan persamaan tersebut. Tetapi yang penting adalah bahwa dengan model-model tersebut telah diperoleh gambaran yang jelas bahwa terdapat banyak faktor atau variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan.
Di dalam hal penggunaan model, Santoso (Alfian dkk:1988) mengemukakan bahwa karya-karya atau buah pikir para pakar kebijakan belum ada yang menyinggung kasus Indonesia secara khusus, maka beberapa variabel dari model-model yang dikembangkan para pakar kebijakan mungkin relevan dan mungkin saja tidak relevan untuk mengkaji proses implementasi kebijakan di Indonesia.
Hampir senada dengan pendapat Santoso tadi, Wibawa (1994) mengemukakan bahwa seluruh model-model implementasi kebijakan jangan diaplikasikan secara mentah-mentah, melainkan dapat disesuaikan dengan kebutuhan studi implementasi.
Selanjutnya dapat disimpulkan pula bahwa semua pendapat para ilmuwan tersebut memiliki kebenaran-kebenaran, hanya saja apabila dilihat dari tingkat relevansi dengan konteks atau aspek tertentu yang akan dianalisis maka masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu perlu dilakukan seleksi terhadap variabel-variabel yang tepat dan memiliki tingkat kesesuaian atau relevansi yang tinggi dengan penelitian ini sehingga diperoleh hasil penelitian yang akurat tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah di Kabupaten Aceh Barat.
Setelah diadakan penyeleksian tingkat kesesuaian atau tingkat relevansi terhadap faktor-faktor tersebut di atas maka diperoleh variabel-variabel yang dapat mempengaruhi Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah di Kabupaten Aceh Barat adalah sebagai berikut :
1. Substansi Kebijakan Pemekaran Daerah,
2. SDM Implementator Kebijakan Pemekaran Daerah,
3. Struktur Birokrasi Komite Pemekaran Daerah,dan
4. Kondisi Lingkungan (kondisi sosial ekonomi dan sosial politik).
Berikut ini secara teoritik akan dijelaskan keempat faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan tersebut, yaitu :
1. Substansi Kebijakan Pemekaran Daerah
Dari berbagai pendapat para ilmuan yang telah disebutkan terdahulu yaitu pada bagian faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Kebijakan Publik dapat dinilai bahwa hampir semua ahli (kecuali Edward III) sependapat jika kejelasan isi atau substansi sebuah Kebijakan Publik sangat mempengaruhi dan menjadi salah satu faktor yang sangat penting didalam proses implementasi sebuah kebijakan publik. Karena pada kenyataannya banyak kasus yang disebabkan oleh permasalahan ketidakjelasan substansi menyebabkan para stakeholders dan pejabat pelaksana di lapangan menemukan kendala-kendala di dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan publik. Demikian pula masyarakat sebagai kelompok sasaran (target group) tidak selalu dengan serta merta menerima dan memberikan dukungannya terhadap sebuah kebijakan publik yang diintervensikan kepada mereka. Artinya bahwa bukan tidak mungkin apabila masyarakat akan memberikan reaksi atau respon untuk tidak menerima atau tidak mendukung kebijakan publik tertentu karena interpretasi mereka terhadap substansi kebijakan. Bahkan pada stadium lanjut, substansi kebijakan publik tersebut dapat dianggap sebagai potensi masalah atau konflik yang baru.
Untuk menemukenali substansi atau isi Kebijakan Publik, Samodra Wibawa dalam tulisannya yang berjudul Evaluasi Kebijakan Publik (1994) menjelaskan bahwa :
Kebijakan publik selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen dasar, yaitu tujuan yang luas, sasaran yang spesifik dan cara mencapai sasaran tersebut. Komponen yang terakhir biasanya belum dijelaskan secara rinci, dan oleh karena itulah birokrasi harus menterjemahkan sebagai program-program aksi dan proyek. Didalam “cara” tersebut terkandung beberapa komponen kebijakan yang lain, yaitu siapa pelaksana atau implementatornya, berapa besar dan darimana dana diperoleh, siapa kelompok sasarannya, bagaimana program dilaksanakan atau bagaimana sistem manajemennya, dan bagaimana keberhasilan atau kinerja kebijakan diukur.
Pada bagian selanjutnya ia juga mengatakan bahwa :
………komponen ketiga dari suatu kebijakan yaitu cara adalah merupakan komponen yang berfungsi untuk mewujudkan dua komponen yang pertama yaitu tujuan dan sasaran khusus.
Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Riswanda Imawan (1999) dengan mengutip pendapat William Dunn dan Samuel Patterson dkk mengatakan bahwa rumusan sebuah kebijakan publik yang baik selalu berisi dua hal yaitu tujuan kebijakan dan cara mencapai tujuan kebijakan tersebut.
Berdasarkan pendapat dua ahli di atas dapat disimpulkan bahwa komponen utama yang mengisi sebuah Kebijakan Publik adalah tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut. Jadi kejelasan isi atau substansi kebijakan sebagai faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan Pemekaran Daerah di Kabupaten Aceh Barat mengandung dua hal pokok yaitu :
a) Kejelasan tentang Tujuan Kebijakan Pemekaran Daerah.
Bahwa sebuah kebijakan yang baik harus memuat tujuan yang hendak dicapai dengan diimplementasikan kebijakan tersebut secara jelas, baik itu tujuan jangka pendek atau jangka panjang ataupun tujuan yang bersifat sempit dan luas. Adanya kejelasan tujuan ini kian menjadi sangat penting bila dikaitkan dengan ragam interpretasi yang bakal muncul baik di kalangan pelaksana kebijakan (implementator) maupun masyarakat (target group) ketika kebijakan diimplementasikan. Kejelasan tujuan kebijakan selain akan menghilangkan keragu-raguan bahkan kemungkinan kesalahan dikalangan pejabat pelaksana, juga akan meningkatkan dukungan di kalangan masyarakat Kabupaten Aceh Barat.
b) Kejelasan tentang Cara Mencapai Tujuan Kebijakan Pemekaran Daerah.
Bahwa sebuah kebijakan publik yang baik juga memuat cara mencapai tujuan kebijakan secara jelas, dan ini berkaitan dengan beberapa hal, yaitu :
1) Kejelasan tentang pelaksana atau implementator kebijakan Pemekaran Daerah: hal ini sangat penting karena kejelasan implementator akan menghilangkan kemungkinan stagnasi atau bahkan kemungkinan overlapping dalam penanganan implementasi kebijakan publik,
2) Kejelasan tentang dana atau anggaran yang disediakan untuk mengimplementasikan kebijakan Pemekaran Daerah: banyak kasus kebijakan yang telah membuktikan bahwa aspek dana atau anggaran sangat diperlukan di dalam implementasi kebijakan publik. Kejelasan tentang dana atau sistem insentif tertentu akan dapat menggerakkan upaya pencapaian tujuan kebijakan menjadi lebih efektif,
3) Kejelasan tentang proses atau tahapan pelaksanaan kebijakan Pemekaran Daerah: hal ini juga sangat vital karena akan dapat menghilangkan kemungkinan overlapping di dalam realisasi tujuan kebijakan, selanjutnya yang terakhir adalah
4) Kejelasan tentang bagaimana keberhasilan atau kinerja kebijakan itu diukur: dalam sebuah kebijakan yang baik hal ini biasanya ditandai dengan dimuatnya tenggang waktu, output secara fisik maupun non fisik sebagai ukuran pencapaian tujuan kebijakan.
2. SDM Implementator Kebijakan Pemekaran Daerah
Sumber Daya Manusia mempunyai peran penting di dalam Implementasi Kebijakan Publik karena fakta menunjukkan bahwa bagaimanapun jelas dan konsistennya ketentuan serta bagaimanapun akuratnya dalam memfungsikan aturan tersebut jika personil yang bertanggungjawab melaksanakan kebijakan (implementator) kurang memiliki sumber daya untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan bisa efektif. Hal ini seperti dikemukakan oleh Edward III (1980) yang mengatakan :
No matter how clear and consistent implementation orders are and no matter how accurately they transmitted, if the personnel responsible for carrying out policies lack the resources to do an effective job, implementation will not be effectively.
Yang dimaksudkan dengan Sumber Daya yang terpenting di dalam implementasi kebijakan antara lain adalah menyangkut staf yang harus mempunyai keahlian dan kemampuan melaksanakan tugas, perintah dan anjuran atasan (pimpinan). Aspek ini biasanya disebut dengan aspek kualitas Sumber Daya Manusia.
Disamping itu harus ada pula ketepatan dan kelayakan antara jumlah staf yang dibutuhkan dengan keahlian yang harus dimiliki sesuai dengan tugas-tugas yang akan dikerjakan. Aspek ini biasanya dikenal dengan aspek kuantitas Sumber Daya Manusia. Hal ini seperti yang diutarakan juga oleh Edward III (1980) sebagai berikut:
Important resources include staff of the proper size and with the necessary experties ; relevant and adequate information on how to implementation policies and on on the compliance of others involved in implementation; the authority to ensure that policies are carried out as they are intended; and fasilities (including buildings, equipment, land, and supplies) in which or with which to provide services. Insufficient resources will mean that laws will be not enforce, servis will not be provide, and reasonable regulations will not be developed.
Berdasarkan pendapat ilmuwan diatas, mengingat bahwa aspek manusia adalah yang terpenting dari semua jenis sumber daya, maka di dalam penelitian ini hanya dibatasi pada faktor Sumber Daya manusia saja. Oleh karena itu faktor Sumber Daya Manusia implementator kebijakan Pemekaran Daerah di Kabupaten Aceh Barat dibagi kepada dua bidang kajian secara teoritik, yaitu berkaitan dengan kualitas SDM dan kuantitas SDM aparat pelaksana (implementator) kebijakan seperti yang telah dijelaskan di atas.
Jika tingkat kemampuan yang didasarkan tingkat pendidikan dan pengalaman serta penguasaan tugas-tugas yang dimiliki oleh Aparat Implementator dijadikan fokus pembahasan pada aspek Kualitas Sumber Daya manusia, maka pembahasan yang menyangkut jumlah aparat pelaksana (implementator) yang dibutuhkan oleh seperangkat organisasi yang dibentuk untuk mengimplementasikan kebijakan tertentu dijadikan fokus pembahasan pada aspek yang kedua, yaitu kuantitas Sumber daya Manusia.
3. Struktur Birokrasi Komite Pemekaran Daerah
Organisasi sebagai wadah berhimpun orang-orang yang sehaluan dan setujuan harus mampu menampung berbagai pikiran dan keinginan orang-orang tersebut, sehingga wadah itu tetap utuh tidak pecah belah.
Fungsi organisasi sebagai wadah erat kaitannya dengan bentuk dan susunannya yang harus merupakan kerangka kerja. Dari perkembangan organisasi dengan berfungsi sebagai wadah tidak cukup memenuhi tuntutan keadaan yang makin dinamis dan kompleks. Peranan organisasi tidak hanya sekedar sebagai tempat atau wadah, tetapi telah bertumbuh menjadi alat, yaitu alat untuk mencapai tujuan tertentu. Hal tersebut seperti diutarakan oleh Warsito Utomo (2003), yaitu sebagai berikut :
Apabila organisasi berperan sebagai wadah, maka akan bersifat statis, tetapi sebagai alat maka organisasi akan berperan aktif. Dengan demikian organisasi memiliki beberapa syarat penting yaitu susunan organisasi, susunan personalia, sistem pembagian kerja dan pertanggungjawaban.
Karena tujuan dirumuskannya sebuah kebijakan publik adalah ingin mencapai sesuatu tujuan tertentu, maka sudah barang tentu untuk mengimplementasikan kebijakan publik diperlukan sebuah organisasi. Oleh karena itu implementasi kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari organisasi atau struktur birokrasi.
Berkaitan dengan hal tersebut, Jones (1996) menyatakan bahwa Kebijakan Publik jarang berjalan swalaksana (self-executing), sedangkan organisasi diperlukan agar pekerjaan dapat dilaksanakan.
Kemudian hal senada juga diungkapkan oleh Edward III (1980) bahwa :
Meskipun sumber-sumber untuk mengimplementasikan suatu kebijakan cukup dan para pelaksana (implementators) mengetahui apa dan bagaimana cara melakukannya, serta mereka mempunyai keinginan untuk melakukannya, implementasi kebijakan bisa saja belum efektif, karena adanya ketidakefisienan struktur birokrasi. Struktur Birokrasi ini mencakup aspek-aspek seperti, struktur organisasi, pembagian kewenangan, hubungan antar unit-unit organisasi.
Dua pendapat ahli di atas sudah cukup mewakili pendapat bahwa sedemikian pentingnya sebuah organisasi untuk mengimplementasikan suatu Kebijakan Publik. Di dalam pembahasan aspek struktur Birokrasi Komite Pemekaran Daerah di Kabupaten Aceh Barat, ada dua hal penting yang dapat dijadikan fokus pembahasan yaitu berkaitan dengan Struktur Organisasi dan Tata Kerja Organisasi. Struktur dimaksudkan sebagai susunan bagan-bagan atau komponen-komponen yang menunjukkan departementasi dan spesialisasi, sedangkan Tata Kerja dimaksudkan sebagai susunan Tugas Pokok dan Fungsi dari masing-masing komponen yang dibentuk.
4. Kondisi Lingkungan (Kondisi Sosial Ekonomi dan Sosial Politik di Kabupaten Aceh Barat)
Kecuali Edward III, semua ilmuwan sependapat bahwa kondisi eksternal kebijakan publik yaitu berupa kondisi lingkungan sosial ekonomi dan sosial politik sangat mempengaruhi penerapan sebuah kebijakan publik. Hal ini sangat beralasan disebabkan kondisi politik dan perkembangan ekonomi ini berkaitan dengan kesiapan lingkungan terhadap perubahan yang akan muncul sebagai konsekwensi dari dimplementasikannya sebuah Kebijakan Publik, apalagi kebijakan tersebut akan membawa perubahan yang sangat signifikan bagi lingkungan itu.
Selain itu, kondisi sosial ekonomi dan sosial politik juga berkaitan dengan kesiapan lingkungan apabila diikutsertakan sebagai aktor didalam implementasi Kebijakan Publik. Di dalam penelitian ini, mungkin pertanyaan yang sangat relevan diajukan untuk faktor ini adalah seberapa jauh kondisi ekonomi dan politik di Kabupaten Aceh Barat memberikan “ruang gerak” yang cukup atau menciptakan kondisi yang kondusif bagi penerapan Kebijakan Pemekaran Daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson,J.E. 1979, Public Policy Making, Nelson : London.
Bobrow,D.B dan Dryek,J.S. 1985, Policy Analysis by Design, University of Pittsburg Press.
Darwin,M. Teori Organisasi Publik, Magister Administrasi Publik-UGM: Yogyakarta.
Dunn,W.N. 2000, Pengantar Analisis Kebijakan Publik (terjemahan/ Penyunting Muhadjir Darwin dkk), Gadjah Mada University Press.
Dwiyanto,A. 1995, Prinsip-Prinsip Administrasi Publik, Magister Administrasi Publik -UGM: Yogyakarta.
Dye,T.R. 1978, Understanding Public Administration, University Of Islabama Press.
………… 1978, Understanding Public Policy, Prentice Hall-Engelwood Cliffts : N.J.
Eaton,J.W. 1986, Pembangunan Lembaga dan Pembangunan Nasional : dari konsep ke aplikasi, UI-Press : Jakarta.
Edward,G.C. 1980, Implementating Public Policy, Congressional Quarterly Press : Washington.
Gaffar,A. 2000, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
………… dkk, 2002 Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Grindle,M.S. 1980, Politics and Policy Implementation in the Third World, Princetone University Press.
Hoogerwerf,A. 1983, Overheidsbeleid (terjemahan RLL Tobing 1985), Erlangga:Jakarta.
Islamy,M.I, 1998, Agenda Kebijakan Administrasi Negara, Universitas Brawijaya: Malang.
……………, 1997, Prinsip-prinsip Perumusan kebijakan Negara, Bumi Aksara: Jakarta.
……………, 1984, Materi Pokok Kebijakan Publik, Universitas Terbuka, Karunika: Jakarta.
Jones,C.O. 1996, An Introduction to the Study of Public Policy, Belmont CA : Wadsworth.
Mazmanian,D dan Sabatier,P.A. 1981, Effective Policy Implementation, Lexingtone Mass DC : Heath.
Moleong,J.L, 2001, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Posdakarya, Bandung.
Nihin,H.A.Dj. 2000, Berbagai Keadaan dan Penyikapannya, Khadik : Jakarta.
Pressman,J.L dan Wildavsky,A. 1984, Implementation, University of California : Berkeley.
Putra,F. 2001, Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik : Pustaka Pelajar,Yogyakarta.
Sabari,H. 2000, Struktur Tata Ruang Kota, Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Santoso,A. 1988, Pelaksanaan Kebijakan Publik kasus Bima dan KUD, dalam masa depan kehidupan politik di Indonesia, Editor Alfian dan Nazarudin Syamsuddin, Rajawali:Jakarta.
Singarimbun,M dan Effendi,S. 1987, Metode Penelitian Survai, LP3ES : Jakarta.
Smith,B.C. 1985, Decentralization: The Territorial Dimension of the State, George Allen & Unwin : London.
Sugiono. 2001, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta : Bandung.
Syafei,I.K dkk.1997, Ilmu Administrasi Publik, Rineka Cipta : Jakarta.
Wahab, S.A. 2002, Analisis Kebijaksanaan. Bumi Aksara: Jakarta.
Wibawa,S. 1994, Evaluasi Kebijakan Publik, Raja Grafindo Persada : Jakarta.
…………… 1994, Kebijakan Publik, Proses dan Analisis, Intermedia : Jakarta.
Winarno,B. 1989, Teori Kebijaksanaan Publik, Pusat Antar Universitas Studi Sosial : Yogyakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2002 Tentang Pemekaran Daerah di Kabupaten Aceh Barat.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 2000 Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 Tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran,Penghapusan dan Penggabungan Daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2003 Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2001 Tentang Penetapan Jumlah dan Tata Cara Pengisian Keanggotaan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota yang baru dibentuk setelah Pemilu 1999.
Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pengucapan Sumpah/Janji Pelantikan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 5 tahun 2000 tentang Perubahan atas Kepmendagri Nomor 2 Tahun 2000 Tentang Pedoman Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengesahan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Keputusan Menteri Dalam Negeri R.I Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Jumlah dan Tata Cara Pengisian Keanggotaan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota yang baru dibentuk setelah Pemilu 1999.
Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 35 Tahun 2002 Tentang Penetapan Jumlah Penduduk dan Jumlah Kursi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Di Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dibentuk setelah Pemilihan Umum 1999.
No comments:
Post a Comment
Aturan Berkomentar :
1. Menggunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang Berkomentar spam, flood, junk, iklan, sara, sex dsb.(Komentar Akan Saya Hapus)
3. Silahkan gunakan OpenID untuk mempermudah blogwalking