A. Asas Kepentingan Militer (Military Necessity)
Asas ini mengandung arti bahwa suatu pihak yang bersengketa (belligerent)
mempunyai hak untuk melakukan setiap tindakan yang dapat mengakibatkan
keberhasilan suatu operasi militer, namun sekaligus tidak melanggar
hukum perang.[2]
Asas kepentingan militer ini dalam pelaksanaannya sering pula dijabarkan dengan adanya penerapan prinsip pembatasan (limitation principle) dan prinsip proporsionalitas (proportionally principle).
a. Prinsip Pembatasan (Limitation Principle)
Prinsip
pembatasan adalah suatu prinsip yang menghendaki adanya pembatasan
terhadap sarana atau alat serta cara atau metode berperang yang
dilakukan oleh pihak yang bersengketa, seperti adanya larangan
penggunaan racun atau senjata beracun, larangan adanya penggunaan peluru
dum-dum, atau larangan menggunakan suatu proyektil yang dapat
menyebabkan luka-luka yang berlebihan (superfluous injury) dan penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering); dan lain-lain.
Pada ilustrasi di samping, penggunaan tank untuk menghancurkan
sasaran militer diperbolehkan, karena merupakan senjata yang biasa
dipakai atau senjata konvensional; sedangkan penggunaan racun, senjata
beracun (kimia) pada latar belakang gambar [termasuk senjata biologi
atau nuklir (senjata non-konvensional)] tidak dapat dibenarkan karena
sifatnya yang dapat mengakibatkan kemusnahan secara massal tanpa dapat
membedakan antara objek sipil dan sasaran militer.
b. Prinsip Proporsionalitas (Proportionality Principle)
Adapun
prinsip proporsionalitas menyatakan bahwa kerusakan yang akan diderita
oleh penduduk sipil atau objek-objek sipil harus proporsional sifatnya
dan tidak berlebihan dalam kaitan dengan diperolehnya keuntungan militer
yang nyata dan langsung yang dapat diperkirakan akibat dilakukannya
serangan terhadap sasaran militer. Perlu ditegaskan bahwa maksud
proporsional di sini BUKAN berarti keseimbangan.
Ilustrasi di samping dapat menggambarkan prinsip ini, di mana untuk
mengancurkan dua orang musuh yang membawa senapan mesin, maka tidak
perlu dikerahkan satu divisi kavaleri berupa tank-tank, karena hal
tersebut tidak hanya dapat mematikan ke dua musuh tersebut, namun
sekaligus juga dapat menghancurkan penduduk sipil dan objek-objek sipil
di sekitarnya.
Prinsip pembatasan dicantumkan di dalam Pasal 22 dan 23 Hague Regulations (Lampiran dari Konvensi Den Haag IV, 1907, atau Regulasi Den Haag), yang berbunyi “the rights of belligerents to adopt means of injuring the enemy is not unlimited”
atau hak dari Belligerents dalam menggunakan alat untuk melukai musuh
adalah tidak tak terbatas (jadi maksudnya =terbatas). Adapun
batasan-batasan tersebut, termasuk ke dalamnya penjabaran prinsip
proporsionalitas, dicantumkan lebih lanjut secara rinci di dalam Pasal 23.
B. Asas Kemanusiaan (Humanity)
Berdasarkan asas ini, maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk
memperhatikan asas-asas kemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk
menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka-luka yang berlebihan
atau penderitaan yang tidak perlu, [3] sebagaimana tercantum di dalam
Pasal 23 ayat(e).
Berperang memerlukan persenjataan, itu sudah pasti. Yang menjadi masalah adalah bagaimana “menggunakannya secara manusiawi”. Pasti
mungkin kita akan protes, bagaimana bisa?? Penggunaan senjata sudah
pasti tidak manusiawi, senjata sudah tentu menimbulkan luka dan
menyebabkan kematian. Lantas, apa yang dimaksud dengan Pasal ini?
Nah, itu tiada lain disebabkan adanya asas kemanusiaan (humanity) yang menjadi landasan pembentukan ketentuan tersebut. Memang dalam peperangan, keterpaksaan untuk melakukan
melukai musuh atau melakukan pembunuhan menjadi sesuatu yang SAH secara
hukum apabila dilakukan oleh orang yang berhak untuk ikut serta dalam
pertempuran (yakni kombatan) dan ditujukan kepada suatu sasaran yang
memang merupakan sasaran militer (military objectives). Jika
seorang prajurit dalam peperangan membunuh tentara musuh di medan
pertempuran dengan M-16, maka itu adalah hal yang biasa. Akan tetapi,
jika ia memakai M-16 berisi peluru “yang dikikir ujungnya”, maka cara
tersebut akan dianggap sebagai pelanggaran Hukum Perang. Mengapa?
bukankah musuhnya toh mati juga? (baca : korban tidak akan merasakan
bedanya ditembak dengan peluru yang dikikir/tidak dikikir).
Nah, disinilah letak perlunya asas kemanusiaan di dalam melakukan
metode berperang, yaitu tetap memperlakukan manusia secara manusiawi
baik ketika peperangan berlangsung, dan bahkan setelah suatu pihak
menjadi korban. Perlu ditegaskan bahwa penggunaan peluru yang “dikikir
ujungnya”, akan menimbulkan efek ‘melebar’ di dalam tubuh sehingga
mengakibatkan luka sobekan yang tidak beraturan dan mengakibatkan
hancurnya jaringan tubuh manusia. Peluru yang demikian
disebut pula “peluru dum-dum” (dum-dum bullets;
karena diproduksi pertama kali di kota Dumdum, dekat Kalkuta, India),
atau “peluru yang memiliki efek mengembang dalam tubuh” (expanding bullets), sehingga Hukum Humaniter sudah melarang penggunaan peluru jenis ini dalam Deklarasi III tahun 1809.
Itulah sebabnya, Regulasi Den Haag melarang penggunaan alat dan cara
berperang yang dapat menimbulkan ‘luka-luka yang berlebihan’ dan
‘penderitaan yang tidak perlu’. Jika membunuh dengan peluru biasa dapat
mengakibatkan kematian seorang musuh; maka mengapa pula harus
mengkikirnya sehingga jasad korban menjadi hancur dan tidak dapat
dikenali? Itulah penderitaan yang tidak perlu…
(Insya Allah akan disampaikan pula penjelasan mengenai ‘expanding bullet’ / ‘dum-dum bullet’ pada kategori lainnya).
C. Asas Ksatriaan (Chivalry)
Asas ini mengandung arti bahwa di dalam suatu peperangan, kejujuran
harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang ilegal atau bertentangan
dengan Hukum Humaniter serta cara-cara berperang yang bersifat khianat
dilarang.[4]
Asas kesatriaan tergambar di dalam hampir semua ketentuan Hukum Humaniter. Sebagai contoh, mari kita lihat Konvensi Den Haag III (1907) mengenai permulaan perang (the commencement of hostilities).
Berdasarkan Pasal 1 Konvensi III ini, ditentukan bahwa peperangan tidak
akan dimulai tanpa adanya suatu peringatan yang jelas sebelumnya (previous and explicit warning), baik dalam bentuk pernyataan perang (declaration of war) beserta alasannya, atau suatu ultimatum perang yang bersyarat (ultimatum with conditional declaration of war).
Nah, tentu secara logika aturan ini rasanya tidak masuk akal.
Bukankah kelihatannya suatu pihak dapat memenangkan peperangan jika ia
menyerang secara diam-diam ketika pihak musuh lengah atau secara
mendadak tanpa pemberitahuan lebih dahulu? Namun pada kenyataannya,
aturan Hukum Humaniter justru menentukan sebaliknya. Hal ini tidak lain
adalah refleksi dari asas kesatriaan yang tercermin di dalam Konvensi
Den Haag III.
Contoh lain dapat dilihat pada ketentuan Pasal 23 Lampiran Konvensi Den Haag IV yang disebut juga Regulasi Den Haag (Hague Regulations). Kita ambil salah satu contoh saja, yaitu Pasal 23 ayat(c)
yang menetapkan bahwa seorang kombatan dari pihak negara yang
bersengketa dilarang membunuh atau melukai musuh yang telah menyerah,
atau yang tidak mampu melakukan perlawanan lagi.
Ketentuan ayat di atas, jika diperhatikan selintas, juga rasanya
tidak masuk akal. Bukankah lebih mudah untuk memenangkan pertempuran
jika pihak musuh dibunuh, dilukai atau dibuat ‘tidak berdaya’ selagi ia
menyerah atau tak mampu lagi bertempur? Namun, ternyata aturan Hukum
Humaniter menentukan sebaliknya.
Oleh karena itu, seandainya saja tidak diterapkan asas kesatriaan dalam pembentukan ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter, maka sudah
hampir pasti peperangan akan berlangsung dengan sangat brutal dan keji.
Jika sudah ada aturannya saja perang masih menyisakan kekejian, maka …
bagaimanakah pula jadinya jika perang berlangsung tanpa aturan
Baca Juga : Pelanggaran-pelanggaran Hukum Humaniter
Baca Juga : Pelanggaran-pelanggaran Hukum Humaniter
No comments:
Post a Comment
Aturan Berkomentar :
1. Menggunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang Berkomentar spam, flood, junk, iklan, sara, sex dsb.(Komentar Akan Saya Hapus)
3. Silahkan gunakan OpenID untuk mempermudah blogwalking