BAB II
PEMBAHASAN
2.1 KEDAULATAN TERITORIAL DAN HAK-HAK LAIN YANG LEBIH KECIL YANG DIMILKI NEGARA-NEGARA
Salah satu dari unsur pokok status kenegaraan adalah penguasaan sat daerah territorial, didalam wilayah mana berlaku hokum Negara tersebut. Terhadap wilayah ini otoritas tertinggi berada pada Negara terkait.
Oleh karena itu, munculah konsep “Kedaulatan Teritorial” yang menandakan bahwa dialam wilayah kekuasaan ini Yurisdiksi dilaanakan oleh Negara terhadap orang-orang dan harta benda yang menyampingkan Negara-negara lain.
2.1.1 DIPEROLEHNYA KEDAULATAN
Lima cara tradisional dan yang pada umumnya diakui untuk diperolehnya kedaulatan territorial adalah sbb :
• Okupasi merupakan penegakan kedaulatan atas wilayah yang tidak berada dibawah penguasaan Negara manapun, baik wilayah yang baru ditemukan, ataupun suatu hal yang tidak mungkin, yang ditinggalkan oleh Negara yang semula menguasainya. Dalam menentukan apakah suatu okupasi telah dilakukan sesuai dengan hukum internasional atau tidak, maka prinsip keefektifan ( effectiveness) diterapkan dalam sebagian besarnya. Dalam eastern Greenland Case, Permanent Court of Internationaal Justice menetapkan bahwa Okupasi, supaya efektif mensyaratkan dua unsure dipihak Negara yang melakukan :
1. Suatu kehendak atau keinginan utuk bertindak sebagai yang berdaulat
2. Melaksanakan atau menunjukan kedaulatan secara pantas.
Beragam teori mengenai masalah ini telah dikemukakan dari waktu ke waktu, dan duan dari teori tersebut dianggap memiliki arti penting dalam kaitannya dengan klaim-klaim beberapa Negara tertentu didaerah kutub, yaitu:
1. Teori Kontinuitas (continuity), menurut teori ini suatu tindakan okupasi disuatu wilayah tertentu memperluas kedaulatan Negara yang elakukan okupasi sejauh diperlukan untuk menjamin keamanan atau pengembangan alam iwilayah terkait.
2. Teori Kontiguitas (contiguity) menurut teori ini kedaulatan Negara yang melakukan okupasi tersebut mencakup wilayah-wilayah yang berbatasan yang secara geografis berhubungan dengan wilayah terkait.
Kedua teori tersebut sampai tinggka tertentu tercermin dalam klaim-klaim yang diajukan oleh Negara-negara terhadap wilayah kutub berdasarkan prinsip sector (sector principles) dengan klaim-klaim berdasarkan prinsip ini, beberapa Negara yang wilayahnya berbatasan dengan daerah kutub telah menyatakan suatu hak kedaulatan terhadap tanah atau laut yang membeku didalam suat sector yang dibatasi oleh garis pantai wilayah dan oleh garis-garis bujur yang berpotongan dikutub utara atau kutub selatan.
• Aneksasi (annexation) adalah suatu metode perolehan kedaulatan terotorial yang dipaksakan dengan dua bentuk keadaan :
1. Apabila wilayah yang dianeksasi telah dilakukan atau ditundukan oleh Negara yang menganeksasi
2. Apabila wilayah yang dianeksasi dalam kedudukan yang benar-benar berada dibawah Negara yang menganeksasi pada waktu diumumkannya kehendak aneksasi oleh Negara tersebut.
Suatu aneksasi yang merupakan hasil dari agresi kasar yang dilakukan oleh suatu Negara terhadap Negara lain atau yang dihasilkan dari penggunaan kekerasan yang bertentangan dengan charter perserikatan bangsa-bangsa, tidak boleh diakui oleh Negara-negara yang lain.
• Penambahan (acceretion) wilayah terjadi apabila wilayah baru ditambahkan, terutama karena sebab-sebab alamiah, yang mungkin timbul karna pergerakan sungai atau lainnya ( misalnya tumpukan pasir karena tiupan angin), terhadap wilayah yang telah ada yang berada dibawah kedaulatan Negara yag memperoleh hak tersebut.
• Penyerahan (cession) merupakan suatu metode penting diperolehnya kedaulatan territorial. Metode ini didasarkan atas prinsip bahwa hak pengalihan wilayah adalah atribut fundamental dari kedaulatan suatu Negara.
Penyerahan suatu wilayah mungkin dilakukan secara sukarela, atau mungkin dilakukan dengan paksaan sebagi akibat peperangan yang diselesaikan dengan sukses oleh Negara yang menerima penyerahan wilayah terkait.
Negara yang myerahkan tidak dapat mengurangi apa yang ia serahkan, oleh karena itu dalam kaitan ini berdasarkan suatu penyerahan wilayah perlu dialihkan semua hak-hak berdaulat yang terkandung dalam wilayah yang diserahkannya. Dengan alasan yang sama, suatu Negara yang melakukan penyerahan tidak dapat mengalihkan lebih dari pada wilayah dimana ia telah melaksanakan kedaulatan, karenanya Negara penerima akan mengurus wilayah yang diserahkan tunduk pada suatu pembatasan kedaulatan atau hak-hak berdaulat misalnya, berkenaan dengan suatu kawasan khusus yang sebelumnya mengikat Negara yang menyerahkan.
• Preskripsi (prescription) merupakan hal yang dieroleh melalui preskripsi (preskripsi akuisitif) adalah hasil dari pelaksanaan kedaulatan de facto secara damai untuk jangka waktu yang sangat lama atas wilayah yang tunduk pada kedaualatan Negara lain, dan preskripsi ini mungkin sebagai akibat dari pelaksanaan kedaulatan demikian yang sudah berjalan lama sekali (misalnya, karena dengan jangka waktu tersebut menghilangkan kesan kedaulatan oleh Negara pendahulu) atau sebagai akibat lamanya pemilikan yang bertentangan semata-mata.
Cara-cara ini secara langsng beranalogi kepada metode-metode hokum sipil mengenai diperolehnya pemilikan pribadi.
2.1.2 DIPEROLEHNYA KEDAULATAN TERITORIAL OLEH NEGARA YANG BARU MUNCUL
Diperolehnya kedaulatan teritorial oleh Negara-negara yang baru muncul, seperti daerah-daerah jajahan “didekolonisasi” atau wilayah-wilayah perwalian yang dimemerdekakan tapaknya merupakan sui generis. Dilema teoritis disini adalah bahwa wilayah merupakan salah satu dari komponen tatus kenegaraan emeang sampainegara bar itu ada, pada prinsipnya, tidak ada kesatuan yang dapat memihak.
Diatas landasan Negara baru tersebut, terdapat sutu kristalisasi keadaan, yaitu kedaulatan territorial dari rakyat yang kemudian menjadi kedaulatan Negara itu sendiri.
Wilayah coloni atau wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri berdasarkan charter memiliki “suatu status tersendiri dan berbeda dari wilayah Negara yang memerintahnya” yang hidup sampai rakyat wilayah terkait melaksanakan hak menentukan nasib sendiri.
2.1.3 HILANGNYA KEDAULATAN TERITORIAL
Cara-cara memperoleh kedaulatan territorial yang telah diuraikan diatas persis sama dengan metode kehilangan kedaulatan territorial jadi kedaulatan territorial dapat hilang karena ditinggalkannya (dereliction) wilayah berhubung adanya okupasi oleh pihak yang memperoleh dan yang menyatakan kehendak sebaiknya dari Negara yang meninggalkannya untuk melepaskan control efektifnya, Karena penalukan, karena kejadian alamiah yang berkaitan dengan penambahan wilayah dipihak Negara yang memperoleh wilayah, dan karena preskripsi. Namun, ada satu cara kehilangan wilayah yang tidak berkaitan dengan cara perolehan oleh Negara lain, yaitu revolusi yang diikuti dengan pemisahan ebagian dari wilayah Negara terkait.
2.2 KEDAULATAN ATAS RUANG UDARA
Sebelum perang dunia pertama(1914-1918) satu-satunya hak yang telah dimuat dalam perjanjian secara universal adalah bahwa ruang udara diatas laut lepas dan diatas wilayah yang tidak bertuan sama sekali bebs dan terbuka. Berkaitan dengan ruang udara diatas wilayah yang dikuasai dan diatas perairan yang tunduk pada kedaulatan Negara, terdapat sejumlah teori yang beragam, tetapi karena pecahnya perang dunia pertama pada tahun 1914 karena alas an darurat praktis, dianggap bahwa satu-satunya aturan teori yang diterima oleh semua Negara adalah teori kedaulatan dari Negara kolong (subjacent state) atas ruang udara adalah tidak terbatas, yaitu usque ad coelum teori ini dipakai dan dikukuhkan tidak hanya oleh pihak-pihak yang berperang, tetapi juga oleh Negara-negara netral. Teori tersebut inyatakan dalam pasal 1 Konvensi Paris 1919 untuk pengaturan navigasi udara, dimana peserta-peserta perjanjian mengakui bahwa setiap Negara meiliki ”kedaulatan lengkap dan eksklusif” atas ruang udara diatas wilayahnya dan perairan teritorialnya. Prinsip usque-ad-coelum ini diberlakukan oleh perkembangan terbaru menyangkut atmosfer tinggi dan di antariksa.
Konvensi Paris memuat ketentuan-ketentuan rinci bagi pengaturan internasional navigasi udara, sebagian bertujuan menetapkan keseragaman. Konvensi tersebut menetapkan perbedaan, yang hingga saat ini masih tetap dipakai yaitu antara (a) perusahaan angkutan atau pelayanan udara internasiona berjadwal (scheduled) (yang dikemukakan dalam pasal 15 sebagai “dinas navigasi udara Internasional teratur” dan “pengangkutan udara international”) dan (b) pesawat udara yang tidak melakukan pelayanan udara atau jasa angkutan udara berjadwal demikian.
Pada umumnya, sebelum perang dunia ke-2 hak-hak mendarat bagi pesawat udara asing berada dalam lingkup kebijaksanaan Negara yang bersangkutan.
“Lima Kebebasan diudara” (five freedom of the air) yaitu hak perusahaan penerbangan setiap Negara untuk:
1. Terbang melintasi wilayah asing tanpa mendarat,
2. Mendarat untuk tujuan-tujuan non-trafik
3. Menurunkan trafik disuatu Negara asing yang berasal dari Negara asal pesawat udara itu
4. Menaikan trafik dari suatu Negara asing yang dituju dengan tujuan Negara asal pesawat udara
5. Mengangkut trafik diantara 2 negara asing
Hanya 2 “kebebasan” pertama tampaknya yang memperoleh dukungan sebagian besar Negara yang hadir dalam Konfrensi Penerbangan Internasional di Chicago. Selanjutnya konfrensi terpaksa menyusun dua perjanjian, yaitu :
1. Perjanjian transit Jasa Angkutan udara Internasional (International air service transit agreement) yang mengatur dua kebebasan pertama.
2. Perjanjian pengangkutan udara internasional (international air transfor agreement) yang memuat semua “lima kebebasan”. Negara-negara peserta perjanjian ini boleh menolak pesawat udara Negara lain memasuki lalulintas udara didalam wilayahnya.
Konfrensi Chicago tidak menghasilkan perubahan penting terhadap hukum udara Internasional.
Kaidah-kaidah umum pokok dari Hukum udara internasional adalah mncakup suatu wilayah jangkauan yang sangat sempit, dengan membiarkan sejumlah besar masalah penting yang mempengaruhi traffic udara Internasional tidak datur. Masih diperlukan suatu knfensi multirateral untuk mengurangi dampak dari persaingan rute-rute udara dan komersialisasi udara dewasa ini, meskipun suatu konvensi demikian tampaknya hanya merupakan cita-ita saja.
Menjamurnya traktat-traktat bilateral ini yang, tunduk pada syarat-syarat ad hoc, membiarkan seluruh atau sebaian dari “lima kebebasan” bukan tanpa kelemahan. Perjanjian ini misalnya telah menggangu secara serius keseragaman hukum dan praktek-praktek yang merupakan salah satu tujuan utama konfrensi Chicago. Dilain pihak, melalui suatu kajian seksama terhadap traktat-traktat tersebut mengungkapkan sejumlah cirri yang mirip atau sama seperti bergantungnya hak-hak transit dan traktik atas resiprositas, pengakuan terhadap prinsip bahwa angkutan udara internasional harus diberikan kemudahan, dan keseragaman penting dalam perancangan klausula-klausula administrasi dan tekhnis.
Berkenaan dengan telekomunikasi radio, telah berkembang dua prinsip, yaitu:
1. Bahwa setiap Negara memiliki hak untuk mencegah ruang udaranya dilintasi oleh transmisi- transmisi gelombang radio yang merugikakan.
2. Bahwa setiap Negara memikul kewajiban untuk tidak memperkenankan dan mencegah wilayahnya digunakan untuk transmisi gelombang-gelombang radio yang merugikan Negara-negara lain.
Selanjutnya terdapat traktat moskow tanggal 5 Agustus 1963 yang melarang percobaan nuklir di atmosfer, diruang angkasa dan dibawah permukaan air. Menurut traktat yang beranggotakan lebih dari 100 negara ini, Negara-negara peserta perjanjian harus mengambil langkah untuk melarang, mencegah dan tidak melakukan suatu percobaan peledakan senjata nuklir, ditempat manapun yang berada dibawah yurisdiksi atau kontol diatmosfet, atau diluar batas-batas atmosfer, termasuk luar angkasa atau dibawah permukaan air termasuk perairan territorial atau laut lepas (secara umum lihat pasal 1). Perkembangan teknologi modern lainnya tampaknya mensyaratkan beberapa prinsio untuk perlindungan semua Negara. Dari kerugian melalui ruang udara : misalnya Negara-negara melalui alat-alat pembuatan hujan buatan diruang udara mereka dapat menghilangkan keuntungan dari awan-awan pembawa uap hujan, yang karenanya akan enyebabkan kekeringan, ataupun karena pemakaian energy atau untuk tujuan-tujuan tertentu dapat menimbulkan radiasi berbahaya yang mempengaruhi udara atau awan diatas wilayah Negara-negara tetangga.
Suatu konfrensi yang dihdiri 46 negara di Wina bulan maret 1985 mengeahkan konvensi untuk perlindungan lapisan ozone (convention for the protection of the ozone layer), dan konvensi ini disusul dengan pertemuan lain ( yang dihadiri 27 dari 46 negara yang hadir dalam konfrensi sebelumnya) di Montreal pada bulan September 1987 yang mengeluarkan protocol untuk konvensi tersebut diatas dalam upaya mengrangi konsumi CDCs dan produk-produk lain yang kemungkinan menimbulkan dampak-dampak serupa. Baru-baru ini pada bulan juni ampai juli 1988, diselenggarakan Konfrensi lain yang bukan saja melibatkan peserta antar pemerintahan tetapi juga dihadiri oleh sekitar 300 ilmuan dan orang-rang yang berkepentingan lain yang berasal dari 40 negara, di Tronto Kanada, dengan tema pokok konfrensi “Atmosfer yang berubah” (the changing atmosfer).
2.2.1 Lapisan-Lapisan Atmosfer Bagian Atas, Ruang Angkasa dn Kosmos
Persoalan-persoalan baru hukum internasional tercipta oleh aktifits-aktifitas Negara yang sangat intensif dilapisan-lapisan atas atmosfer diruang angkasa dan diruang kosmos, dan oleh adanya kemjuan-kemajuan spektakuler dalam teknologi luar angkaa, bidng navigasi, aeronotika dan dalam bidang eksplorasi planet, baik yang berawak maupun yang tidak berawak.
Memang sulit bagi hukum ruang angkasa internasional untuk mengikuti pesatnya perkembangan dalam bidang teknologi luar angkasa dan eksplorasi rung angkasa ini. Hukum Ruang angkasa hanya dapat mengantisipsi perkembangan-perkembangan ini secara terbatas, karena perumusan kaidah-kaidahnya sangan bergantung pada data terpercaya yang diperoleh melalui aktifitas-aktifitas diruang angkasa dan kosmos. Seperti yang dikatakan oleh hakim Manfred Lachs dari Internasional Court of Justice, yang juga pakar hukum ruang angkaa ternama.
Kontrol-kontrol hukum terhadap semua aktifitas di atau yang berkaitan ngan ruang angkasa adalah diluar permasalahan. Selain dari hal ini, ebagian bsar hukum rung angkasa internasinal akan menjadi hukum institusional, yang memuat kaidah-kaidah yang mengatur hubungan-hubungan antara sejumlah besar badan internasional dan nasional yang berkaitan dengan persoalan-persoalan ruang angkasa.
Risiko-risiko generaliasi, untuk merumuskn beberapa lndsan hukum ruang angkasa.
1. Jelas bahwa kaidah Usque ad cooelum, yaitu doktrin kedaulatan Negara kolong untuk ketinggian yang tidak terbatas, tidak dapat dilksanakan dalam praktek.
2. Ruang angkasa diluar batas tertinggi ini, dimanapun adanya, dan benda-benda langit tunduk kepada hukum internasional dan charter PBB, bebas untuk eksplorasi dan oemanfaatan oleh semua Negara atas dasar kesamaan sesuai dengn hukum Internasional, eksplorasi dan pemanfaatan demikian harus dilakukan untuk keuntungan dan dalam kepentingan eluruh umat manusia sert tidak tunduk pada pemilikan nasional.
3. Kewajiban setiap Negara peluncur satelit atau objek keorbit atau diluar itu untuk memberikan pemberitahuan secara pantas tentng peluncura dan informasi mengenai hal-hal seperti orbit-orbit, muatan-muatan, dan frekuensi radio.
4. Berkaitan dengan penemuan-penemuan mengenai ifat hakikat ruang angkasa adalah kewajiban bagi setiap Negara peluncur objek-ojek kedalam orbit atau diluar orbit untuk mengambil tindakan pencegahan guna menghindarkankerugian kepada Negara-negara lain, atau suatu perubahan tetap dalam lingkungan bumi, atau kontaminasi atmosfer bagian atas dan ruang angkasa dan terhadap benda-benda langit erta bumi, atau suatu ganguan terhadap penggunaan bebas eksplorasi ilmiah pada lapisan atmosfer atas dan ruang angkasa.
5. Komunikasi melalui sarana satelit komunikasi harus disediakan secara bebas kepad semua Negara berdasarkan suatu landasan global dan non diskriminasi.
6. Setiap Negara yng meluncurkn suatu objek keruang angkasa tetap empunyai hak berdaulat terhadap objek tersebut tidak menjadi persolan dimanapun objek tersebut berada dan dimana objek tersebut kan mendarat
7. Negara-negara membawa kewajiban untuk mempermudah perjalanan objek-objek luar angkasa yng dimaksudkan untuk melakukan eksplorasi luar angkasa bagi tujuan-tujuan damai dan memberikan bantuan pada kendaraan ruang angaksa yang melakukan pendarata darurat diwilayah mereka.
8. Yang perlu disinggung adalah mengenai dampak konvensi 1986 tentang early notification of a nuclear dan Konvensi tahun 1986 tentang asistensi in case of nuclear accident, keduan konvensi tersebut dibuat sebagai akibat reactor nuklir Chernobyl. Konvensi ini dapat diberlakukan terhadap akibat-akibat yang terjadi dibumi ebagai akibat kecelakaan yang melibatkan objek-objek ruang angkasa yang membawa sumber-sumber nuklir.
2.2.2 Hak-Hak yang Lebih Kecil daripada Kedaulatan-Lingkungan Pengaruh dan Lingkungan Kepentingan
Hak-hak yang masih dalam taraf permulaan dala istilah diplomatic dikenal sebagai
“lingkungan pengaruh” (sphere of influence) atau lingkungan kepentingan (sphere of interest) dan yang umumnya banyak dikemukakan pada puncknya dalam abad kesembilan belas dahulu ketika terjadi perasaingan internasional untuk mengekploitasi negeri-negeri yang lemah atau yang terbelakang seperti yang diperlihatkan oleh sejarah.
Definisi dari Lingkungan pengaruh seperti apa yang dikemukakan oleh Hall adalah suatu pengertian yang memungkinkn suatu Negara untuk mendapatkan haknya sendiri guna mengusir keluar Negara-negara Eropa dari wilayah-wilayah yang memiliki arti penting secara politis sebagai sarana upaya ekspansi dimasa dating terhadap dominion-dominion atau protektorat-protektorat, atau secara strategi sebagai pencegah agar Negara-negara tetangga yang beradab tidak memliki posisi militer yang dominan.
Suatu Lingkungan Kepentingan hanya berbeda dari arah penekanan dari suatu Lingkungan pengaruh. Suatu Negara menyatakan suatu lingkungan kepentingan dalam suatu wilayah tertentu apabila Negara ini mengklaim untuk memperoleh konsensi ekonomi atau financial eksklusif dalam wilayah tersebut, yang tidak akan mengizinkan negara lain melakukannya.
2.3 PERBATASAN DAN SUNGAI-SUNGAI
1. PERBATASAN adalah salah satu manifestasi yang terpenting dari kedaulatan territorial. Sejauh perbatasan itu secara tegas diakui dengan trakat atau diakui secara umum npa pernyataan yang tegas, maka perbatasan merupakan bagian dari suatu hak Negara terhadap wilayah. Suat perbatasan sering kali didefinisikan sebagai garis imajiner diatas permukaan bumi, yang memisahkan wilayah suatu Negara dari Negara lain.
Dalam terminology tentang maalah perbatasan, ada suatu perbedaan yang ditetapkan secara tegas antara perbatasan “alamiah” dan “buatan”. Perbatasan alamiah terdiri dari gunung-gunung, sungai-sungai, pesisir pantai, hutan-hutan, danau-danau, dan gurun, dimana hal-hal tersebut membagi wilayah dua Negara atau lebih. Tetapi yang dipakai dalam pengertian politis, istilah “perbatasan alamiah” memiliki suatu arti yang jauh lebih penting. Perbatasan alamiah menunjukan garis yang ditentukan oleh alam, sampai garis mana suatu Negara harus dianggap diperluas atau dibatasi dari atau sebagai perlindungan terhadap Negara lain. Perbatasan-perbatasan buatan terdiri dari baik tanda-tanda yang ditunjukan untuk mengindikasi garis perbatasan imajiner atau parallel dengan garis bujur atau garis lintang.
Kadang-kadang suatu garis perbatasan terletak sepajang tepi sungai, sedangkan seluruh dasar sungai itu berada dibawah kedaulatan Negara lain yang berbatasan. Hal ini adalah suatu kasus kekecualian yang timbul berdasarkan traktat atau oleh okupasi yang dilakukan secara damai yang berlangsung lama.
Dalam hal danau-danau dan laut-laut yang terkurung daratan, pilihan bagi gais perbatasan yang sesuai bergantng pada kedalaman, konfigurasi dan penggunaan danau atau laut yang terkait.
Berkenaan dengan teluk-teluk atau selat-selat, tidak ada kaidah umum untuk menetapkan gais perbatasan, karena pertimbangan historis dan geografis turut memainkan peranannya namun dalam banyak peristiwa “median line” telah diakui sebagai kaidah untuk menentukan batas.
2. SUNGAI-SUNGAI
Apabila sebuah sungai terletak dalam wilayah suatu Negara maka sungai tersebut sepenuhnya milik Negara tersebut dan pada umumnya tidak ada Negara lain yang berhak untuk memperoleh hak-hak pelayaran disungai tersebut. Juga apabila sebuah sungai mengalir melalui beberapa negra maka setiap Negara memiliki bagian dari sungai yang mengalir elalui wilayahnya, tetapi kontrofersi terjadi sekitar masalah hak-hak Negara tepian sungai (riparian state) dan negara-negara lain untuk brlayar sepanjang keseluruhan sungai tersebut.
Bahkan penulis-penulis yang berpendapat bahwa terdapat kebebasan pelayaran juga berbeda pendapat dalam tafsiran mereka mengenai tingkatan hak ini :
1. Sebagian penulis menyatakan bahwa hak lintas demikian hanya terbatas pada masa damai,
2. Penulis lain menyatakan bahwa hanya Negara-negara yang dilalui oleh suatu sungai internasional yang memilii hak lintas ini
3. Kelompok ke-3 berpendapat bahwa kebebasan lintas adalah tanpa pembatasan apapun, yang hanya tunduk kepada hak setiap Negara untuk membuat perturan-peraturan yang diperlukan dan wajar berkenaan dengan pengguna sungai yang berada dalam garis perbataannya.
Namun, ukuran kebebasan pelayaran tersebut yang telah ditetapkan seperti dalam terusan-terusan internasional sepenuhnya ciptaan traktat.
Apabila kebebasan umum pelayaran sungai tampaknya merupakan cita-cita yang amat muluk (utopian) untuk dicapai hukum Internasional, maka paling sedikit ada tempat bagi kaidah-kaidah yang lingkupnya lebih terbatas, yang merupakan penghalusan praktek-praktek restriktif yang dilakukan oleh Negara-negara tepian, Jadi secara umum mungkin diakui bahwa Negara-negara tersebut tidak boleh membebankan iuran yang sewenang-wenang atau terlalu tinggi dan tidak boleh memperlakukan Negara-negara non-tepian dengan cara diskriminatif atau tidak adil.
Demikian pula, setidak-tidaknya ada suatu kewajiban pada pihak Negara tepian sungai untuk mempertimbangkan akibat dari aktifitas-aktifitas terhadap Negara-negara lain yang sama-sama berada ditepian sungai atau didaerah aliran sunngai. Yang terakhir, terdapat masalah pencemaran lintas batas dari sungai-sungai dan danau-danau yang menambah komplexitas keseluruhan persoalan tersebut.
2.4 SERVITUT DAN FASILITAS-FASILITAS TERITORIAL
Berdasarkan praktek sekarang, suatu servitut (servitude) Internaional dapat didefinisikan sebagai suatu pembatasan eksepsional yang dibebankan oleh traktat terhadap kedaulatan territorial Negara tertentu dimana wilayah Negara tersebut dibebani kewajiban-kewajiban restriksi-restriksi yang melayani kepentingan-kepentingan dari Negara lain, atu kesatuan non-negara. Suatu contoh terkenal adalah syarat bahwa kota perbatasan huningen di Alsace tidak boleh dibentangi demi kepentingan canton of basle (swos).
Servitut-servitut harus merupakan hak-hak kebendaan (in rem), yaitu diberikan kepada wilayah territorial yang dikenakan restiksi, dan yang meliputi sesuatu yang harus dikerjakan atau sesuatu yang tidak boleh dikerjakan oleh Negara yang dikenai servitut diwilayah territorial tersebut. Misalnya hak-hak peikanan dijalur maritime, hak ntuk membangun jalan kereta api melalui suatu wilayah.
Pada awalnya, dotrin servitut internasional diambil dari hukum perdata, dan banyak pengarang berpendapat bahwa translasinya pada bidang hukum internasional belum berhasil. Terdapat alasan kuat bahwa doktrin tersebut sesungguhnya kurang begitu perlu, dan bahwa hukum internasional dapat menghapus penerapan doktrin ini. Pendapat ini paling sedikit didukung oleh penolakan dalam dua kasus yang mengenai klaim servitut.
PEMBAHASAN
2.1 KEDAULATAN TERITORIAL DAN HAK-HAK LAIN YANG LEBIH KECIL YANG DIMILKI NEGARA-NEGARA
Salah satu dari unsur pokok status kenegaraan adalah penguasaan sat daerah territorial, didalam wilayah mana berlaku hokum Negara tersebut. Terhadap wilayah ini otoritas tertinggi berada pada Negara terkait.
Oleh karena itu, munculah konsep “Kedaulatan Teritorial” yang menandakan bahwa dialam wilayah kekuasaan ini Yurisdiksi dilaanakan oleh Negara terhadap orang-orang dan harta benda yang menyampingkan Negara-negara lain.
2.1.1 DIPEROLEHNYA KEDAULATAN
Lima cara tradisional dan yang pada umumnya diakui untuk diperolehnya kedaulatan territorial adalah sbb :
• Okupasi merupakan penegakan kedaulatan atas wilayah yang tidak berada dibawah penguasaan Negara manapun, baik wilayah yang baru ditemukan, ataupun suatu hal yang tidak mungkin, yang ditinggalkan oleh Negara yang semula menguasainya. Dalam menentukan apakah suatu okupasi telah dilakukan sesuai dengan hukum internasional atau tidak, maka prinsip keefektifan ( effectiveness) diterapkan dalam sebagian besarnya. Dalam eastern Greenland Case, Permanent Court of Internationaal Justice menetapkan bahwa Okupasi, supaya efektif mensyaratkan dua unsure dipihak Negara yang melakukan :
1. Suatu kehendak atau keinginan utuk bertindak sebagai yang berdaulat
2. Melaksanakan atau menunjukan kedaulatan secara pantas.
Beragam teori mengenai masalah ini telah dikemukakan dari waktu ke waktu, dan duan dari teori tersebut dianggap memiliki arti penting dalam kaitannya dengan klaim-klaim beberapa Negara tertentu didaerah kutub, yaitu:
1. Teori Kontinuitas (continuity), menurut teori ini suatu tindakan okupasi disuatu wilayah tertentu memperluas kedaulatan Negara yang elakukan okupasi sejauh diperlukan untuk menjamin keamanan atau pengembangan alam iwilayah terkait.
2. Teori Kontiguitas (contiguity) menurut teori ini kedaulatan Negara yang melakukan okupasi tersebut mencakup wilayah-wilayah yang berbatasan yang secara geografis berhubungan dengan wilayah terkait.
Kedua teori tersebut sampai tinggka tertentu tercermin dalam klaim-klaim yang diajukan oleh Negara-negara terhadap wilayah kutub berdasarkan prinsip sector (sector principles) dengan klaim-klaim berdasarkan prinsip ini, beberapa Negara yang wilayahnya berbatasan dengan daerah kutub telah menyatakan suatu hak kedaulatan terhadap tanah atau laut yang membeku didalam suat sector yang dibatasi oleh garis pantai wilayah dan oleh garis-garis bujur yang berpotongan dikutub utara atau kutub selatan.
• Aneksasi (annexation) adalah suatu metode perolehan kedaulatan terotorial yang dipaksakan dengan dua bentuk keadaan :
1. Apabila wilayah yang dianeksasi telah dilakukan atau ditundukan oleh Negara yang menganeksasi
2. Apabila wilayah yang dianeksasi dalam kedudukan yang benar-benar berada dibawah Negara yang menganeksasi pada waktu diumumkannya kehendak aneksasi oleh Negara tersebut.
Suatu aneksasi yang merupakan hasil dari agresi kasar yang dilakukan oleh suatu Negara terhadap Negara lain atau yang dihasilkan dari penggunaan kekerasan yang bertentangan dengan charter perserikatan bangsa-bangsa, tidak boleh diakui oleh Negara-negara yang lain.
• Penambahan (acceretion) wilayah terjadi apabila wilayah baru ditambahkan, terutama karena sebab-sebab alamiah, yang mungkin timbul karna pergerakan sungai atau lainnya ( misalnya tumpukan pasir karena tiupan angin), terhadap wilayah yang telah ada yang berada dibawah kedaulatan Negara yag memperoleh hak tersebut.
• Penyerahan (cession) merupakan suatu metode penting diperolehnya kedaulatan territorial. Metode ini didasarkan atas prinsip bahwa hak pengalihan wilayah adalah atribut fundamental dari kedaulatan suatu Negara.
Penyerahan suatu wilayah mungkin dilakukan secara sukarela, atau mungkin dilakukan dengan paksaan sebagi akibat peperangan yang diselesaikan dengan sukses oleh Negara yang menerima penyerahan wilayah terkait.
Negara yang myerahkan tidak dapat mengurangi apa yang ia serahkan, oleh karena itu dalam kaitan ini berdasarkan suatu penyerahan wilayah perlu dialihkan semua hak-hak berdaulat yang terkandung dalam wilayah yang diserahkannya. Dengan alasan yang sama, suatu Negara yang melakukan penyerahan tidak dapat mengalihkan lebih dari pada wilayah dimana ia telah melaksanakan kedaulatan, karenanya Negara penerima akan mengurus wilayah yang diserahkan tunduk pada suatu pembatasan kedaulatan atau hak-hak berdaulat misalnya, berkenaan dengan suatu kawasan khusus yang sebelumnya mengikat Negara yang menyerahkan.
• Preskripsi (prescription) merupakan hal yang dieroleh melalui preskripsi (preskripsi akuisitif) adalah hasil dari pelaksanaan kedaulatan de facto secara damai untuk jangka waktu yang sangat lama atas wilayah yang tunduk pada kedaualatan Negara lain, dan preskripsi ini mungkin sebagai akibat dari pelaksanaan kedaulatan demikian yang sudah berjalan lama sekali (misalnya, karena dengan jangka waktu tersebut menghilangkan kesan kedaulatan oleh Negara pendahulu) atau sebagai akibat lamanya pemilikan yang bertentangan semata-mata.
Cara-cara ini secara langsng beranalogi kepada metode-metode hokum sipil mengenai diperolehnya pemilikan pribadi.
2.1.2 DIPEROLEHNYA KEDAULATAN TERITORIAL OLEH NEGARA YANG BARU MUNCUL
Diperolehnya kedaulatan teritorial oleh Negara-negara yang baru muncul, seperti daerah-daerah jajahan “didekolonisasi” atau wilayah-wilayah perwalian yang dimemerdekakan tapaknya merupakan sui generis. Dilema teoritis disini adalah bahwa wilayah merupakan salah satu dari komponen tatus kenegaraan emeang sampainegara bar itu ada, pada prinsipnya, tidak ada kesatuan yang dapat memihak.
Diatas landasan Negara baru tersebut, terdapat sutu kristalisasi keadaan, yaitu kedaulatan territorial dari rakyat yang kemudian menjadi kedaulatan Negara itu sendiri.
Wilayah coloni atau wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri berdasarkan charter memiliki “suatu status tersendiri dan berbeda dari wilayah Negara yang memerintahnya” yang hidup sampai rakyat wilayah terkait melaksanakan hak menentukan nasib sendiri.
2.1.3 HILANGNYA KEDAULATAN TERITORIAL
Cara-cara memperoleh kedaulatan territorial yang telah diuraikan diatas persis sama dengan metode kehilangan kedaulatan territorial jadi kedaulatan territorial dapat hilang karena ditinggalkannya (dereliction) wilayah berhubung adanya okupasi oleh pihak yang memperoleh dan yang menyatakan kehendak sebaiknya dari Negara yang meninggalkannya untuk melepaskan control efektifnya, Karena penalukan, karena kejadian alamiah yang berkaitan dengan penambahan wilayah dipihak Negara yang memperoleh wilayah, dan karena preskripsi. Namun, ada satu cara kehilangan wilayah yang tidak berkaitan dengan cara perolehan oleh Negara lain, yaitu revolusi yang diikuti dengan pemisahan ebagian dari wilayah Negara terkait.
2.2 KEDAULATAN ATAS RUANG UDARA
Sebelum perang dunia pertama(1914-1918) satu-satunya hak yang telah dimuat dalam perjanjian secara universal adalah bahwa ruang udara diatas laut lepas dan diatas wilayah yang tidak bertuan sama sekali bebs dan terbuka. Berkaitan dengan ruang udara diatas wilayah yang dikuasai dan diatas perairan yang tunduk pada kedaulatan Negara, terdapat sejumlah teori yang beragam, tetapi karena pecahnya perang dunia pertama pada tahun 1914 karena alas an darurat praktis, dianggap bahwa satu-satunya aturan teori yang diterima oleh semua Negara adalah teori kedaulatan dari Negara kolong (subjacent state) atas ruang udara adalah tidak terbatas, yaitu usque ad coelum teori ini dipakai dan dikukuhkan tidak hanya oleh pihak-pihak yang berperang, tetapi juga oleh Negara-negara netral. Teori tersebut inyatakan dalam pasal 1 Konvensi Paris 1919 untuk pengaturan navigasi udara, dimana peserta-peserta perjanjian mengakui bahwa setiap Negara meiliki ”kedaulatan lengkap dan eksklusif” atas ruang udara diatas wilayahnya dan perairan teritorialnya. Prinsip usque-ad-coelum ini diberlakukan oleh perkembangan terbaru menyangkut atmosfer tinggi dan di antariksa.
Konvensi Paris memuat ketentuan-ketentuan rinci bagi pengaturan internasional navigasi udara, sebagian bertujuan menetapkan keseragaman. Konvensi tersebut menetapkan perbedaan, yang hingga saat ini masih tetap dipakai yaitu antara (a) perusahaan angkutan atau pelayanan udara internasiona berjadwal (scheduled) (yang dikemukakan dalam pasal 15 sebagai “dinas navigasi udara Internasional teratur” dan “pengangkutan udara international”) dan (b) pesawat udara yang tidak melakukan pelayanan udara atau jasa angkutan udara berjadwal demikian.
Pada umumnya, sebelum perang dunia ke-2 hak-hak mendarat bagi pesawat udara asing berada dalam lingkup kebijaksanaan Negara yang bersangkutan.
“Lima Kebebasan diudara” (five freedom of the air) yaitu hak perusahaan penerbangan setiap Negara untuk:
1. Terbang melintasi wilayah asing tanpa mendarat,
2. Mendarat untuk tujuan-tujuan non-trafik
3. Menurunkan trafik disuatu Negara asing yang berasal dari Negara asal pesawat udara itu
4. Menaikan trafik dari suatu Negara asing yang dituju dengan tujuan Negara asal pesawat udara
5. Mengangkut trafik diantara 2 negara asing
Hanya 2 “kebebasan” pertama tampaknya yang memperoleh dukungan sebagian besar Negara yang hadir dalam Konfrensi Penerbangan Internasional di Chicago. Selanjutnya konfrensi terpaksa menyusun dua perjanjian, yaitu :
1. Perjanjian transit Jasa Angkutan udara Internasional (International air service transit agreement) yang mengatur dua kebebasan pertama.
2. Perjanjian pengangkutan udara internasional (international air transfor agreement) yang memuat semua “lima kebebasan”. Negara-negara peserta perjanjian ini boleh menolak pesawat udara Negara lain memasuki lalulintas udara didalam wilayahnya.
Konfrensi Chicago tidak menghasilkan perubahan penting terhadap hukum udara Internasional.
Kaidah-kaidah umum pokok dari Hukum udara internasional adalah mncakup suatu wilayah jangkauan yang sangat sempit, dengan membiarkan sejumlah besar masalah penting yang mempengaruhi traffic udara Internasional tidak datur. Masih diperlukan suatu knfensi multirateral untuk mengurangi dampak dari persaingan rute-rute udara dan komersialisasi udara dewasa ini, meskipun suatu konvensi demikian tampaknya hanya merupakan cita-ita saja.
Menjamurnya traktat-traktat bilateral ini yang, tunduk pada syarat-syarat ad hoc, membiarkan seluruh atau sebaian dari “lima kebebasan” bukan tanpa kelemahan. Perjanjian ini misalnya telah menggangu secara serius keseragaman hukum dan praktek-praktek yang merupakan salah satu tujuan utama konfrensi Chicago. Dilain pihak, melalui suatu kajian seksama terhadap traktat-traktat tersebut mengungkapkan sejumlah cirri yang mirip atau sama seperti bergantungnya hak-hak transit dan traktik atas resiprositas, pengakuan terhadap prinsip bahwa angkutan udara internasional harus diberikan kemudahan, dan keseragaman penting dalam perancangan klausula-klausula administrasi dan tekhnis.
Berkenaan dengan telekomunikasi radio, telah berkembang dua prinsip, yaitu:
1. Bahwa setiap Negara memiliki hak untuk mencegah ruang udaranya dilintasi oleh transmisi- transmisi gelombang radio yang merugikakan.
2. Bahwa setiap Negara memikul kewajiban untuk tidak memperkenankan dan mencegah wilayahnya digunakan untuk transmisi gelombang-gelombang radio yang merugikan Negara-negara lain.
Selanjutnya terdapat traktat moskow tanggal 5 Agustus 1963 yang melarang percobaan nuklir di atmosfer, diruang angkasa dan dibawah permukaan air. Menurut traktat yang beranggotakan lebih dari 100 negara ini, Negara-negara peserta perjanjian harus mengambil langkah untuk melarang, mencegah dan tidak melakukan suatu percobaan peledakan senjata nuklir, ditempat manapun yang berada dibawah yurisdiksi atau kontol diatmosfet, atau diluar batas-batas atmosfer, termasuk luar angkasa atau dibawah permukaan air termasuk perairan territorial atau laut lepas (secara umum lihat pasal 1). Perkembangan teknologi modern lainnya tampaknya mensyaratkan beberapa prinsio untuk perlindungan semua Negara. Dari kerugian melalui ruang udara : misalnya Negara-negara melalui alat-alat pembuatan hujan buatan diruang udara mereka dapat menghilangkan keuntungan dari awan-awan pembawa uap hujan, yang karenanya akan enyebabkan kekeringan, ataupun karena pemakaian energy atau untuk tujuan-tujuan tertentu dapat menimbulkan radiasi berbahaya yang mempengaruhi udara atau awan diatas wilayah Negara-negara tetangga.
Suatu konfrensi yang dihdiri 46 negara di Wina bulan maret 1985 mengeahkan konvensi untuk perlindungan lapisan ozone (convention for the protection of the ozone layer), dan konvensi ini disusul dengan pertemuan lain ( yang dihadiri 27 dari 46 negara yang hadir dalam konfrensi sebelumnya) di Montreal pada bulan September 1987 yang mengeluarkan protocol untuk konvensi tersebut diatas dalam upaya mengrangi konsumi CDCs dan produk-produk lain yang kemungkinan menimbulkan dampak-dampak serupa. Baru-baru ini pada bulan juni ampai juli 1988, diselenggarakan Konfrensi lain yang bukan saja melibatkan peserta antar pemerintahan tetapi juga dihadiri oleh sekitar 300 ilmuan dan orang-rang yang berkepentingan lain yang berasal dari 40 negara, di Tronto Kanada, dengan tema pokok konfrensi “Atmosfer yang berubah” (the changing atmosfer).
2.2.1 Lapisan-Lapisan Atmosfer Bagian Atas, Ruang Angkasa dn Kosmos
Persoalan-persoalan baru hukum internasional tercipta oleh aktifits-aktifitas Negara yang sangat intensif dilapisan-lapisan atas atmosfer diruang angkasa dan diruang kosmos, dan oleh adanya kemjuan-kemajuan spektakuler dalam teknologi luar angkaa, bidng navigasi, aeronotika dan dalam bidang eksplorasi planet, baik yang berawak maupun yang tidak berawak.
Memang sulit bagi hukum ruang angkasa internasional untuk mengikuti pesatnya perkembangan dalam bidang teknologi luar angkasa dan eksplorasi rung angkasa ini. Hukum Ruang angkasa hanya dapat mengantisipsi perkembangan-perkembangan ini secara terbatas, karena perumusan kaidah-kaidahnya sangan bergantung pada data terpercaya yang diperoleh melalui aktifitas-aktifitas diruang angkasa dan kosmos. Seperti yang dikatakan oleh hakim Manfred Lachs dari Internasional Court of Justice, yang juga pakar hukum ruang angkaa ternama.
Kontrol-kontrol hukum terhadap semua aktifitas di atau yang berkaitan ngan ruang angkasa adalah diluar permasalahan. Selain dari hal ini, ebagian bsar hukum rung angkasa internasinal akan menjadi hukum institusional, yang memuat kaidah-kaidah yang mengatur hubungan-hubungan antara sejumlah besar badan internasional dan nasional yang berkaitan dengan persoalan-persoalan ruang angkasa.
Risiko-risiko generaliasi, untuk merumuskn beberapa lndsan hukum ruang angkasa.
1. Jelas bahwa kaidah Usque ad cooelum, yaitu doktrin kedaulatan Negara kolong untuk ketinggian yang tidak terbatas, tidak dapat dilksanakan dalam praktek.
2. Ruang angkasa diluar batas tertinggi ini, dimanapun adanya, dan benda-benda langit tunduk kepada hukum internasional dan charter PBB, bebas untuk eksplorasi dan oemanfaatan oleh semua Negara atas dasar kesamaan sesuai dengn hukum Internasional, eksplorasi dan pemanfaatan demikian harus dilakukan untuk keuntungan dan dalam kepentingan eluruh umat manusia sert tidak tunduk pada pemilikan nasional.
3. Kewajiban setiap Negara peluncur satelit atau objek keorbit atau diluar itu untuk memberikan pemberitahuan secara pantas tentng peluncura dan informasi mengenai hal-hal seperti orbit-orbit, muatan-muatan, dan frekuensi radio.
4. Berkaitan dengan penemuan-penemuan mengenai ifat hakikat ruang angkasa adalah kewajiban bagi setiap Negara peluncur objek-ojek kedalam orbit atau diluar orbit untuk mengambil tindakan pencegahan guna menghindarkankerugian kepada Negara-negara lain, atau suatu perubahan tetap dalam lingkungan bumi, atau kontaminasi atmosfer bagian atas dan ruang angkasa dan terhadap benda-benda langit erta bumi, atau suatu ganguan terhadap penggunaan bebas eksplorasi ilmiah pada lapisan atmosfer atas dan ruang angkasa.
5. Komunikasi melalui sarana satelit komunikasi harus disediakan secara bebas kepad semua Negara berdasarkan suatu landasan global dan non diskriminasi.
6. Setiap Negara yng meluncurkn suatu objek keruang angkasa tetap empunyai hak berdaulat terhadap objek tersebut tidak menjadi persolan dimanapun objek tersebut berada dan dimana objek tersebut kan mendarat
7. Negara-negara membawa kewajiban untuk mempermudah perjalanan objek-objek luar angkasa yng dimaksudkan untuk melakukan eksplorasi luar angkasa bagi tujuan-tujuan damai dan memberikan bantuan pada kendaraan ruang angaksa yang melakukan pendarata darurat diwilayah mereka.
8. Yang perlu disinggung adalah mengenai dampak konvensi 1986 tentang early notification of a nuclear dan Konvensi tahun 1986 tentang asistensi in case of nuclear accident, keduan konvensi tersebut dibuat sebagai akibat reactor nuklir Chernobyl. Konvensi ini dapat diberlakukan terhadap akibat-akibat yang terjadi dibumi ebagai akibat kecelakaan yang melibatkan objek-objek ruang angkasa yang membawa sumber-sumber nuklir.
2.2.2 Hak-Hak yang Lebih Kecil daripada Kedaulatan-Lingkungan Pengaruh dan Lingkungan Kepentingan
Hak-hak yang masih dalam taraf permulaan dala istilah diplomatic dikenal sebagai
“lingkungan pengaruh” (sphere of influence) atau lingkungan kepentingan (sphere of interest) dan yang umumnya banyak dikemukakan pada puncknya dalam abad kesembilan belas dahulu ketika terjadi perasaingan internasional untuk mengekploitasi negeri-negeri yang lemah atau yang terbelakang seperti yang diperlihatkan oleh sejarah.
Definisi dari Lingkungan pengaruh seperti apa yang dikemukakan oleh Hall adalah suatu pengertian yang memungkinkn suatu Negara untuk mendapatkan haknya sendiri guna mengusir keluar Negara-negara Eropa dari wilayah-wilayah yang memiliki arti penting secara politis sebagai sarana upaya ekspansi dimasa dating terhadap dominion-dominion atau protektorat-protektorat, atau secara strategi sebagai pencegah agar Negara-negara tetangga yang beradab tidak memliki posisi militer yang dominan.
Suatu Lingkungan Kepentingan hanya berbeda dari arah penekanan dari suatu Lingkungan pengaruh. Suatu Negara menyatakan suatu lingkungan kepentingan dalam suatu wilayah tertentu apabila Negara ini mengklaim untuk memperoleh konsensi ekonomi atau financial eksklusif dalam wilayah tersebut, yang tidak akan mengizinkan negara lain melakukannya.
2.3 PERBATASAN DAN SUNGAI-SUNGAI
1. PERBATASAN adalah salah satu manifestasi yang terpenting dari kedaulatan territorial. Sejauh perbatasan itu secara tegas diakui dengan trakat atau diakui secara umum npa pernyataan yang tegas, maka perbatasan merupakan bagian dari suatu hak Negara terhadap wilayah. Suat perbatasan sering kali didefinisikan sebagai garis imajiner diatas permukaan bumi, yang memisahkan wilayah suatu Negara dari Negara lain.
Dalam terminology tentang maalah perbatasan, ada suatu perbedaan yang ditetapkan secara tegas antara perbatasan “alamiah” dan “buatan”. Perbatasan alamiah terdiri dari gunung-gunung, sungai-sungai, pesisir pantai, hutan-hutan, danau-danau, dan gurun, dimana hal-hal tersebut membagi wilayah dua Negara atau lebih. Tetapi yang dipakai dalam pengertian politis, istilah “perbatasan alamiah” memiliki suatu arti yang jauh lebih penting. Perbatasan alamiah menunjukan garis yang ditentukan oleh alam, sampai garis mana suatu Negara harus dianggap diperluas atau dibatasi dari atau sebagai perlindungan terhadap Negara lain. Perbatasan-perbatasan buatan terdiri dari baik tanda-tanda yang ditunjukan untuk mengindikasi garis perbatasan imajiner atau parallel dengan garis bujur atau garis lintang.
Kadang-kadang suatu garis perbatasan terletak sepajang tepi sungai, sedangkan seluruh dasar sungai itu berada dibawah kedaulatan Negara lain yang berbatasan. Hal ini adalah suatu kasus kekecualian yang timbul berdasarkan traktat atau oleh okupasi yang dilakukan secara damai yang berlangsung lama.
Dalam hal danau-danau dan laut-laut yang terkurung daratan, pilihan bagi gais perbatasan yang sesuai bergantng pada kedalaman, konfigurasi dan penggunaan danau atau laut yang terkait.
Berkenaan dengan teluk-teluk atau selat-selat, tidak ada kaidah umum untuk menetapkan gais perbatasan, karena pertimbangan historis dan geografis turut memainkan peranannya namun dalam banyak peristiwa “median line” telah diakui sebagai kaidah untuk menentukan batas.
2. SUNGAI-SUNGAI
Apabila sebuah sungai terletak dalam wilayah suatu Negara maka sungai tersebut sepenuhnya milik Negara tersebut dan pada umumnya tidak ada Negara lain yang berhak untuk memperoleh hak-hak pelayaran disungai tersebut. Juga apabila sebuah sungai mengalir melalui beberapa negra maka setiap Negara memiliki bagian dari sungai yang mengalir elalui wilayahnya, tetapi kontrofersi terjadi sekitar masalah hak-hak Negara tepian sungai (riparian state) dan negara-negara lain untuk brlayar sepanjang keseluruhan sungai tersebut.
Bahkan penulis-penulis yang berpendapat bahwa terdapat kebebasan pelayaran juga berbeda pendapat dalam tafsiran mereka mengenai tingkatan hak ini :
1. Sebagian penulis menyatakan bahwa hak lintas demikian hanya terbatas pada masa damai,
2. Penulis lain menyatakan bahwa hanya Negara-negara yang dilalui oleh suatu sungai internasional yang memilii hak lintas ini
3. Kelompok ke-3 berpendapat bahwa kebebasan lintas adalah tanpa pembatasan apapun, yang hanya tunduk kepada hak setiap Negara untuk membuat perturan-peraturan yang diperlukan dan wajar berkenaan dengan pengguna sungai yang berada dalam garis perbataannya.
Namun, ukuran kebebasan pelayaran tersebut yang telah ditetapkan seperti dalam terusan-terusan internasional sepenuhnya ciptaan traktat.
Apabila kebebasan umum pelayaran sungai tampaknya merupakan cita-cita yang amat muluk (utopian) untuk dicapai hukum Internasional, maka paling sedikit ada tempat bagi kaidah-kaidah yang lingkupnya lebih terbatas, yang merupakan penghalusan praktek-praktek restriktif yang dilakukan oleh Negara-negara tepian, Jadi secara umum mungkin diakui bahwa Negara-negara tersebut tidak boleh membebankan iuran yang sewenang-wenang atau terlalu tinggi dan tidak boleh memperlakukan Negara-negara non-tepian dengan cara diskriminatif atau tidak adil.
Demikian pula, setidak-tidaknya ada suatu kewajiban pada pihak Negara tepian sungai untuk mempertimbangkan akibat dari aktifitas-aktifitas terhadap Negara-negara lain yang sama-sama berada ditepian sungai atau didaerah aliran sunngai. Yang terakhir, terdapat masalah pencemaran lintas batas dari sungai-sungai dan danau-danau yang menambah komplexitas keseluruhan persoalan tersebut.
2.4 SERVITUT DAN FASILITAS-FASILITAS TERITORIAL
Berdasarkan praktek sekarang, suatu servitut (servitude) Internaional dapat didefinisikan sebagai suatu pembatasan eksepsional yang dibebankan oleh traktat terhadap kedaulatan territorial Negara tertentu dimana wilayah Negara tersebut dibebani kewajiban-kewajiban restriksi-restriksi yang melayani kepentingan-kepentingan dari Negara lain, atu kesatuan non-negara. Suatu contoh terkenal adalah syarat bahwa kota perbatasan huningen di Alsace tidak boleh dibentangi demi kepentingan canton of basle (swos).
Servitut-servitut harus merupakan hak-hak kebendaan (in rem), yaitu diberikan kepada wilayah territorial yang dikenakan restiksi, dan yang meliputi sesuatu yang harus dikerjakan atau sesuatu yang tidak boleh dikerjakan oleh Negara yang dikenai servitut diwilayah territorial tersebut. Misalnya hak-hak peikanan dijalur maritime, hak ntuk membangun jalan kereta api melalui suatu wilayah.
Pada awalnya, dotrin servitut internasional diambil dari hukum perdata, dan banyak pengarang berpendapat bahwa translasinya pada bidang hukum internasional belum berhasil. Terdapat alasan kuat bahwa doktrin tersebut sesungguhnya kurang begitu perlu, dan bahwa hukum internasional dapat menghapus penerapan doktrin ini. Pendapat ini paling sedikit didukung oleh penolakan dalam dua kasus yang mengenai klaim servitut.
No comments:
Post a Comment
Aturan Berkomentar :
1. Menggunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang Berkomentar spam, flood, junk, iklan, sara, sex dsb.(Komentar Akan Saya Hapus)
3. Silahkan gunakan OpenID untuk mempermudah blogwalking