Dalam Hukum Tata Negara dikenal pula apa yang disebut kebiasaan ketatanegaraan (convention). Kebiasaan ketatanegaraan ini mempunyai kekuatan yang sama dengan Undang-Undang, karena diterima dan dijalankan. Bahkan seringkali kebiasaan ketatanegaraan ini dapat menggeser peraturan-peraturan hukum yang tertulis.
Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa menurut pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945, Menteri Negara bertanggung jawab kepada Presiden, karena ia adalah pembantu Presiden. Dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia di tahun 1945 ternyata bahwa seorang Menteri Negara yang bertanggung jawab kepada Presiden, karena kebiasaan ketatanegaraan Menteri Negara itu bertanggung jawab kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat - semacam DPR - Hal ini terjadi karena keluarnya Maklumat Wakil Presiden no. X tanggal 16 Oktober 1945, yang kemudian diikuti dengan Maklumat Pemerintah tangga! 14 Nopember 1945, di mana Komite Nasional Indonesia Pusat vang semula membantu Presiden dalam menjalankan wewenang nya berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV Undang-Undang Dasar 1945, menjadi badan yang sederajat dengan Presiden, dan tempat Menteri Negara bertanggung jawab. Dan ini terjadi dalam kabinet Syahrir I, II, dan III, serta kabinet Amir Sjarifudin yang menggantikannya.
Dalam kebiasaan itu terdapat unsur yang menunjukkan bahwa suatu perbuatan yang sama berulang-ulang dilakukan, yang kemudian diterima dan ditaati. Kebiasaan ini akan menjadi hukum kebiasaan manakala ia diberi sanksi.
Kebiasaan ketatanegaraan ialah perbuatan dalam kehidupan ketatanegaraan yang dilakukan berulang kali, sehingga ia diterima dan ditaati dalam praktek ketatanegaraan, walaupun ia bukan hukum. Di sinilah letak perbedaannya dengan ketentuan hukum yang sudah tidak diragukan lagi kesahannya, tetapi sebaliknya kebiasaan ketatanegaraan walaupun bagaimana pentingnya ia tetap merupakan kebiasaan saja.
Sebagai contoh mengenai kebiasaan lainnya dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia dapat pula dikemukakan di sini, bahwa pada setiap tanggal 16 Agustus, Presiden harus mengucapkan pidato kenegaraan di dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat. Pidato kenegaraan tersebut pada hakekatnya merupakan lebih dari suatu laporan tahunan yang besifat informatoris dari Presiden, karena dalam laporan itu juga dimuat suatu rencana mengenai ke-bijaksanaan-kebijaksanaan yang akan ditempuh pada tahun yang akan datang. Pada masa Presiden Soekarno almarhum, pidato semacam itu diucapkan langsung di hadapan rakyat di depan istana yang disebut ’’amanat 17 Agustus”, pada tiap tanggal 17 Agustus dalam pertanggungan jawabnya sebagai Pemimpin Besar Revolusi bukan sebagai Presiden.
Juga pidato Presiden lainnya yang merupakan convention adalah pidato yang diucapkan sebagai keterangan Pemerintah tentang Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada minggu pertama bulan Januari setiap tahunnya. Isinya berupa hasil-hasil kegiatan nasional serta hasil penilaian tahun yang lalu dan rencana anggaran pendapatan dan belanja negara untuk tahun yang akan datang.
Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa menurut pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945, Menteri Negara bertanggung jawab kepada Presiden, karena ia adalah pembantu Presiden. Dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia di tahun 1945 ternyata bahwa seorang Menteri Negara yang bertanggung jawab kepada Presiden, karena kebiasaan ketatanegaraan Menteri Negara itu bertanggung jawab kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat - semacam DPR - Hal ini terjadi karena keluarnya Maklumat Wakil Presiden no. X tanggal 16 Oktober 1945, yang kemudian diikuti dengan Maklumat Pemerintah tangga! 14 Nopember 1945, di mana Komite Nasional Indonesia Pusat vang semula membantu Presiden dalam menjalankan wewenang nya berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV Undang-Undang Dasar 1945, menjadi badan yang sederajat dengan Presiden, dan tempat Menteri Negara bertanggung jawab. Dan ini terjadi dalam kabinet Syahrir I, II, dan III, serta kabinet Amir Sjarifudin yang menggantikannya.
Dalam kebiasaan itu terdapat unsur yang menunjukkan bahwa suatu perbuatan yang sama berulang-ulang dilakukan, yang kemudian diterima dan ditaati. Kebiasaan ini akan menjadi hukum kebiasaan manakala ia diberi sanksi.
Kebiasaan ketatanegaraan ialah perbuatan dalam kehidupan ketatanegaraan yang dilakukan berulang kali, sehingga ia diterima dan ditaati dalam praktek ketatanegaraan, walaupun ia bukan hukum. Di sinilah letak perbedaannya dengan ketentuan hukum yang sudah tidak diragukan lagi kesahannya, tetapi sebaliknya kebiasaan ketatanegaraan walaupun bagaimana pentingnya ia tetap merupakan kebiasaan saja.
Sebagai contoh mengenai kebiasaan lainnya dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia dapat pula dikemukakan di sini, bahwa pada setiap tanggal 16 Agustus, Presiden harus mengucapkan pidato kenegaraan di dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat. Pidato kenegaraan tersebut pada hakekatnya merupakan lebih dari suatu laporan tahunan yang besifat informatoris dari Presiden, karena dalam laporan itu juga dimuat suatu rencana mengenai ke-bijaksanaan-kebijaksanaan yang akan ditempuh pada tahun yang akan datang. Pada masa Presiden Soekarno almarhum, pidato semacam itu diucapkan langsung di hadapan rakyat di depan istana yang disebut ’’amanat 17 Agustus”, pada tiap tanggal 17 Agustus dalam pertanggungan jawabnya sebagai Pemimpin Besar Revolusi bukan sebagai Presiden.
Juga pidato Presiden lainnya yang merupakan convention adalah pidato yang diucapkan sebagai keterangan Pemerintah tentang Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada minggu pertama bulan Januari setiap tahunnya. Isinya berupa hasil-hasil kegiatan nasional serta hasil penilaian tahun yang lalu dan rencana anggaran pendapatan dan belanja negara untuk tahun yang akan datang.
Beberapa contoh mengenai kebiasaan ketatanegaraan yang terdapat di Inggeris antara lain ialah, bahwa seorang Menteri haruslah seorang anggauta dari parlemen. Hal ini terjadi ketika Mr. Patrick Gordon Walker yang telah diangkat oleh Partai Buruh Inggeris sebagai Menteri setelah pemilihan umum pada bulan Oktober 1964, harus memperoleh keanggautaan House of Commons. Untuk itu ia ikut dalam pemilihan umum tambahan/susulan yang diadakan setelah pemilihan umum tersebut di atas, dan sayang sekali bahwa ia tidak terpilih, sehingga akibatnya ia harus meletakkan jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri.
Contoh lain ialah bahwa Raja atau Ratu akan mengangkat Ketua Partai yang menang dalam pemilihan umum sebagai Perdana Menteri. 40)
Konvensi-konvensi di Inggeris adalah banyak sekali dan ia dibedakan dari hukum konstitusi (Law of Constitution), karena konvensi tidak dapat dipaksakan atau diakui oleh badan-badan peradilan. 41) Konvensi-konvensi itu antara lain adalah kebiasaan (customs), praktek-praktek (practices), azas-azas (maxims) atau peraturan-peraturan lainnya seperti di bawah ini; suatu kabinet yang sudah tidak mendapat dukungan kepercayaan dari Majelis Rendah (House of Commons) akan meletakkan jabatannya, Raja harus mengesahkan setiap rancangan Undang-Undang (bill), Majelis Tinggi (House of Lords) tidak akan mengajukan suatu rancangan Undang-Undang keuangan (money bill).
Betapapun pentingnya konvensi-konvensi itu berlaku dalam kehidupan ketatanegaraan, namun oleh karena ia bukan hukum, maka pelanggaran yang terjadi terhadap konvensi-konvensi itu tidak dihiraukan oleh suatu pengadilanpun.
Di Amerika Serikat, contoh kebiasaan ketatanegaraan antara lain ialah, bahwa seorang calon Presiden Amerika Serikat dan Wakilnya dipilih oleh konvensi partai politik yang bersangkutan, untuk kemudian dipilih oleh rakyat. 42)
Contoh lain adalah mengenai terjadinya sistim parlementer di negeri Belanda yang timbul sebagai akibat dari perselisihan antara Pemerintah dan Parlemen pada tahun 1866 1868 karena
masalah jajahannya (koloni). Dalam perselisihan itu Parlemen mempergunakan hak budgetnya untuk menolak rancangan anggar an pendapatan dan belanja negara yang diajukan oleh Menteri Keuangan pada waktu itu. Sebenarnya penolakan itu ada hubungannya dengan perselisihan yang sedang mereka hadapi, tapi karena penolakan itu maka jatuhlah kabinet (verwerping van de beg-rooting om redenen daar buiten gelegen). Sejak itu terjadi per-obahan dalam sistim Pemerintahan di negeri Belanda yang semula menganut sistim pertanggungan jawab Menteri dengan fihak Pemerintah yang menang, jika terjadi perselisihan (overwicht van het kabinet), maka setelah jatuhnya Pemerintah karena penolakan anggaran pendapatan dan belanja negara itu, setiap kali ada perselisihan yang timbul antara Pemerintah dan Parlemen, maka Parlemenlah yang menang, dan kabinet harus berhenti. Sistim ini tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar negeri Belanda, tapi timbul dan hidup sebagai konvensi yang menggeser ketentuan dalam Undang-Undang Dasar-n ya. 43)
Konvensi-konvensi ini adalah sama dengan konvensi-konvensi yang berasal dari pernyataan persetujuan yang pada masa yang lalu telah didapat pada konperensi-konperensi Kerajaan Inggeris (Imperial Conferences) yang mengatur hubungan antara Kerajaan Inggeris dan Dominion-dominion, yang menetapkan cara-cara kerja sama dan hubungan anggauta-anggauta commonwealth Inggeris, dan yang menetapkan perundingan-perundingan antara mereka dengan negara-negara asing. Jennings dalam menjawab pertanyaannya sendiri, yang berbunyi kapankah suatu konvensi itu telah timbul, menulis ’’some of them, such as thouse expressed in resolutions of the imperial Conferences, are definite and clearly established*’. Dengan perkataan lain tidak perlu ’’the gradual crystalisation of practice”. 44)
Konvensi tidak selalu merupakan ketentuan yang tidak tertulis, yang timbul dari persetujuan (agreement), tapi bisa saja berbentuk tertulis. Ia mungkin saja merupakan persetujuan yang ditanda tangani pemimpin-pemimpin negara seperti antara Wakil Presiden Republik Indonesia dan Badan Pekerja pada tanggal 16 Oktober 1945 atau suatu memorandum yang dikeluarkan setelah pembicaraan antara Menteri-menteri seperti Maklumat Pemerintah pada tanggal 14 Nopember 1945. Contoh seperti ini dalam konstitusi Inggeris adalah persetujuan yang dinyatakan, bahwa suatu perobahan aaiam hukum yang mengenai penggantian Mahkota (succession) atau gelar Raja memerlukan pengesahan Parlemen dari semua Dominion, begHu pula dari Parlemen Kerajaan Inggeris sendiri. Bahkan konvensi-konvensi ini telah mencapai bentuk yang lebih formil dalam ungkapan otoriter, karena ia tercantum dalam bagian kedua dari pendahuluan (preamble) statute of Westminster. Oleh karena preamble menurut hukum tata negara Inggeris, tidak mempunyai akibat hukum, maka keadaan itu hanyalah memperkuat konvensi.
Contoh lain ialah bahwa Raja atau Ratu akan mengangkat Ketua Partai yang menang dalam pemilihan umum sebagai Perdana Menteri. 40)
Konvensi-konvensi di Inggeris adalah banyak sekali dan ia dibedakan dari hukum konstitusi (Law of Constitution), karena konvensi tidak dapat dipaksakan atau diakui oleh badan-badan peradilan. 41) Konvensi-konvensi itu antara lain adalah kebiasaan (customs), praktek-praktek (practices), azas-azas (maxims) atau peraturan-peraturan lainnya seperti di bawah ini; suatu kabinet yang sudah tidak mendapat dukungan kepercayaan dari Majelis Rendah (House of Commons) akan meletakkan jabatannya, Raja harus mengesahkan setiap rancangan Undang-Undang (bill), Majelis Tinggi (House of Lords) tidak akan mengajukan suatu rancangan Undang-Undang keuangan (money bill).
Betapapun pentingnya konvensi-konvensi itu berlaku dalam kehidupan ketatanegaraan, namun oleh karena ia bukan hukum, maka pelanggaran yang terjadi terhadap konvensi-konvensi itu tidak dihiraukan oleh suatu pengadilanpun.
Di Amerika Serikat, contoh kebiasaan ketatanegaraan antara lain ialah, bahwa seorang calon Presiden Amerika Serikat dan Wakilnya dipilih oleh konvensi partai politik yang bersangkutan, untuk kemudian dipilih oleh rakyat. 42)
Contoh lain adalah mengenai terjadinya sistim parlementer di negeri Belanda yang timbul sebagai akibat dari perselisihan antara Pemerintah dan Parlemen pada tahun 1866 1868 karena
masalah jajahannya (koloni). Dalam perselisihan itu Parlemen mempergunakan hak budgetnya untuk menolak rancangan anggar an pendapatan dan belanja negara yang diajukan oleh Menteri Keuangan pada waktu itu. Sebenarnya penolakan itu ada hubungannya dengan perselisihan yang sedang mereka hadapi, tapi karena penolakan itu maka jatuhlah kabinet (verwerping van de beg-rooting om redenen daar buiten gelegen). Sejak itu terjadi per-obahan dalam sistim Pemerintahan di negeri Belanda yang semula menganut sistim pertanggungan jawab Menteri dengan fihak Pemerintah yang menang, jika terjadi perselisihan (overwicht van het kabinet), maka setelah jatuhnya Pemerintah karena penolakan anggaran pendapatan dan belanja negara itu, setiap kali ada perselisihan yang timbul antara Pemerintah dan Parlemen, maka Parlemenlah yang menang, dan kabinet harus berhenti. Sistim ini tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar negeri Belanda, tapi timbul dan hidup sebagai konvensi yang menggeser ketentuan dalam Undang-Undang Dasar-n ya. 43)
Konvensi-konvensi ini adalah sama dengan konvensi-konvensi yang berasal dari pernyataan persetujuan yang pada masa yang lalu telah didapat pada konperensi-konperensi Kerajaan Inggeris (Imperial Conferences) yang mengatur hubungan antara Kerajaan Inggeris dan Dominion-dominion, yang menetapkan cara-cara kerja sama dan hubungan anggauta-anggauta commonwealth Inggeris, dan yang menetapkan perundingan-perundingan antara mereka dengan negara-negara asing. Jennings dalam menjawab pertanyaannya sendiri, yang berbunyi kapankah suatu konvensi itu telah timbul, menulis ’’some of them, such as thouse expressed in resolutions of the imperial Conferences, are definite and clearly established*’. Dengan perkataan lain tidak perlu ’’the gradual crystalisation of practice”. 44)
Konvensi tidak selalu merupakan ketentuan yang tidak tertulis, yang timbul dari persetujuan (agreement), tapi bisa saja berbentuk tertulis. Ia mungkin saja merupakan persetujuan yang ditanda tangani pemimpin-pemimpin negara seperti antara Wakil Presiden Republik Indonesia dan Badan Pekerja pada tanggal 16 Oktober 1945 atau suatu memorandum yang dikeluarkan setelah pembicaraan antara Menteri-menteri seperti Maklumat Pemerintah pada tanggal 14 Nopember 1945. Contoh seperti ini dalam konstitusi Inggeris adalah persetujuan yang dinyatakan, bahwa suatu perobahan aaiam hukum yang mengenai penggantian Mahkota (succession) atau gelar Raja memerlukan pengesahan Parlemen dari semua Dominion, begHu pula dari Parlemen Kerajaan Inggeris sendiri. Bahkan konvensi-konvensi ini telah mencapai bentuk yang lebih formil dalam ungkapan otoriter, karena ia tercantum dalam bagian kedua dari pendahuluan (preamble) statute of Westminster. Oleh karena preamble menurut hukum tata negara Inggeris, tidak mempunyai akibat hukum, maka keadaan itu hanyalah memperkuat konvensi.
No comments:
Post a Comment
Aturan Berkomentar :
1. Menggunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang Berkomentar spam, flood, junk, iklan, sara, sex dsb.(Komentar Akan Saya Hapus)
3. Silahkan gunakan OpenID untuk mempermudah blogwalking