1. HUKUM PERDATA BELANDA
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis (Code
Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi
(Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang
paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua
kodifikasi (pembukuan suatu lapangan hukum secara sistematis dan teratur
dalam satu buku) yang bernama code civil (hukum perdata) dan code de
commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813),
kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda. Bahkan sampai 24
tahun sesudah negeri Belanda merdeka dari Perancis tahun 1813, kedua
kodifikasi itu masih berlaku di negeri Belanda. Jadi, pada waktu
pemerintah Belanda yang telah merdeka belum mampu dalam waktu pendek
menciptakan hukum privat yang bersifat nasional (berlaku asas
konkordansi).
Kemudian Belanda menginginkan Kitab Undang–Undang Hukum Perdata
tersendiri yang lepas dari kekuasaan Perancis. Maka berdasarkan pasal
100 Undang-Undang Dasar Negeri Belanda, tahun 1814 mulai disusun Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda,
berdasarkan rencana kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M.
KEMPER disebut ONTWERP KEMPER. Sebelum selesai KEMPER meninggal dunia
[1924] & usaha pembentukan kodifikasi dilanjutkan NICOLAI, Ketua
Pengadilan Tinggi Belgia [pada waktu itu Belgia dan Belanda masih
merupakan satu negara]. Keinginan Belanda tersebut direalisasikan dengan
pembentukan dua kodifikasi yang bersifat nasional, yang diberi nama :
1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata-Belanda] – Dalam praktek kitab ini akan disingkat dengan
KUHPdt.
2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang] – Dalam perkuliahan, kitab ini akan
disingkat dengan KUHD.
Pembentukan hukum perdata [Belanda] ini selsai tanggal 6 Juli 1830
dan diberlakukan tanggal 1 Pebruari 1830. Tetapi bulan Agustus 1830
terjadi pemberontakan di bagian selatan Belanda [kerajaan Belgia]
sehingga kodifikasi ditangguhkan dan baru terlaksanan tanggal 1 Oktober
1838. Meskipun BW dan WvK Belanda adalah kodifikasi bentukan nasional
Belanda, isi dan bentuknya sebagian besar serupa dengan Code Civil dan
Code De Commerse Perancis. Menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah saduran
dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke
dalam bahasa nasional Belanda.
2. HUKUM PERDATA INDONESIA
Karena Belanda pernah menjajah Indonesia, maka KUHPdt.-Belanda ini
diusahakan supaya dapat berlaku pula di wilayah Hindia Belanda. Caranya
ialah dibentuk B.W. Hindia Belanda yang susunan dan isinya serupa dengan
BW Belanda. Untuk kodifikasi KUHPdt. di Indonesia dibentuk sebuah
panitia yang diketuai oleh Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem. Kodifikasi
yang dihasilkan diharapkan memiliki kesesuaian antara hukum dan keadaan
di Indonesia dengan hukum dan keadaan di negeri Belanda. Disamping
telah membentuk panitia, pemerintah Belanda mengangkat pula Mr. C.C.
Hagemann sebagai ketua Mahkamah Agung di Hindia Belanda
(Hooggerechtshof) yang diberi tugas istimewa untuk turut mempersiapkan
kodifikasi di Indonesia. Mr. C.C. Hagemann dalam hal tidak berhasil,
sehingga tahun 1836 ditarik kembali ke negeri Belanda. Kedudukannya
sebagai ketua Mahkamah Agung di Indonesia diganti oleh Mr.C.J. Scholten
van Oud Haarlem.
Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat
menjadi keua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer
masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum
berhasil.Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Mr.C.J. Scholten
van Oud Haarlem lagi,tetapi anggotanya diganti yaitu Mr. J.Schneither
dan Mr. A.J. van Nes. Pada akhirnya panitia inilah yang berhasil
mengkodifikasi KUHPdt Indonesia maka KUHPdt. Belanda banyak menjiwai
KUHPdt. Indonesia karena KUHPdt. Belanda dicontoh untuk kodifikasi
KUHPdt. Indonesia. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal
30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan
UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum
digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar
ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata
Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.
Pasal 2 ATURAN PERALIHAN UUD 1945
Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku,
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.
Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata
yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang
berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat [Belanda] yang pada
awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya
berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa
disingkat dengan B.W. Sebagaian materi B.W. sudah dicabut berlakunya
& sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai
Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang
Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.
3. B.W./KUHPdt SEBAGAI HIMPUNAN TAK TERTULIS
B.W. di Hindia Belanda sebenarnya diperuntukkan bagi penduduk
golongan Eropa & yang dipersamakan berdasarkan pasal 131 I.S jo 163
I.S. Setelah Indonesia merdeka, keberlakuan bagi WNI keturunan Eropa
& yang dipersamakan ini terus berlangsung. Keberlakuan demikian
adalah formal berdasakan aturan peralihan UUD 1945. Bagi Negara
Indonesia, berlakunya hukum perdata semacam ini jelas berbau kolonial
yang membedakan WNI berdasarkan keturunannya [diskriminasi]. Disamping
itu materi yang diatur dalam B.W. sebagian ada yang tidak sesuai lagi
dengan Pancasila dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia serta
tidak sesuai dengan aspirasi negara dan bangsa merdeka. Berdasarkan
pertimbangan situasi, kondisi sebagai negara dan bangsa yang merdeka,
maka dalam rangka penyesuaian hukum kolonial menuju hukum Indonesia
merdeka, pada tahun 1962 [Dr. Sahardjo, SH.-Menteri Kehakiman RI pada
saat itu] mengeluarkan gagasan yang menganggap B.W ( KUHPdt ) Indonesia
sebagai himpunan hukum tak tertulis. Maka B.W. selanjutnya dipedomani
oleh semua Warga Negara Indonesia. Ketentuanyg sesuai boleh diikuti dan
yang tidak sesuai dapat ditinggalkan.
4. SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 3 TAHUN 1963
Berdasarkan gagasan Menteri Kehakiman Dr. Sahardjo, S.H. ini MA-RI
tahun 1963 mengeluarkan Surat Edaran No. 3 tahun 1963 yang ditujukan
kepada semua Ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. Isi Surat
Edaran tersebut, yaitu MA-RI menganggap tidak berlaku lagi ketentuan di
dalam KUHPdt. antara lain pasal berikut :
1. Pasal 108 & 110 BW tetang wewenang seorang isteri untuk
melakukan perbuatan hukum & untuk menghadap dimuka pengadilan tanpa
izin atau bantuan suaminya. Dengan demikian tentang hal ini tidak ada
lagi perbedaan antara semua WNI.
2. Pasal 284 [3] KUHPdt. mengenai pengakuan anak yang lahir diluar perkawinan oleh perempuan Indonesia asli. Dengan demikian pengakuan anak tidak lagi berakibat terputusnya hubungan hukum antara ibu dan anak, sehingga tentang hal ini juga tidak ada lagi perbedaan antara semua WNI.
3. Pasal 1682 KUHPdt. yang mengharuskan dilakukannya suatu penghibahan dengan akta notaris.
4. Pasal 1579 KUHPdt. yang menentukan bahwa dalam hal sewa menyewa barang, pemilik barang tidak dapat menghentikan penyewaan dengan mengatakan bahwa ia akan memakai sendiri barangnya, kecuali apabila pada watu membentuk persetujuan sewa menyewa ini dijanjikan diperbolehkan
5. Pasal 1238 KUHPdt. yang menimyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat diminta dimuka Hakim, apabila gugatan ini didahului oleh suatu penagihan tertulis. Mahkamah Agung pernah memutuskan antara dua orang Tionghoa, bahwa pengiriman turunan surat gugat kepada tergugat dapat dianggap sebagai penagihan oleh karena tergugat masih dapat menghindarkan terkabulannya gugatan dengan membayar hutangnya sebelum hari sidang pengadilan.
6. Pasal 1460 KUHPdt. tetang resiko seorang pembeli barang, yang menentukan bahwa suatu barang tertentu yang sudah dijanjikan dijual. Sejak saat itu adalah atas tanggungan pembeli, meskipun penyerahan barang itu belum dilakukan . Dengan tidak lagi berlakunya pasal ini, maka harus ditinjau dari setiap keadaan, apakah tidak sepantasnya pertangungjawaban atau resiko atas musnahnya barang yang sudah dijanjikan dijual tetapi belum diserahkan harus dibagi antara kedua belah pihak ; dan kalau YA sampai dimana pertanggung-jawaban dimaksud.
7. Pasal 1603 x ayat 1 dan 2 KUHPdt. yang mengadakan diskriminasi antara orang Eropa disatu pihak dan orang bukan Eropa dilain pihak mengenai perjanjian perburuhan
2. Pasal 284 [3] KUHPdt. mengenai pengakuan anak yang lahir diluar perkawinan oleh perempuan Indonesia asli. Dengan demikian pengakuan anak tidak lagi berakibat terputusnya hubungan hukum antara ibu dan anak, sehingga tentang hal ini juga tidak ada lagi perbedaan antara semua WNI.
3. Pasal 1682 KUHPdt. yang mengharuskan dilakukannya suatu penghibahan dengan akta notaris.
4. Pasal 1579 KUHPdt. yang menentukan bahwa dalam hal sewa menyewa barang, pemilik barang tidak dapat menghentikan penyewaan dengan mengatakan bahwa ia akan memakai sendiri barangnya, kecuali apabila pada watu membentuk persetujuan sewa menyewa ini dijanjikan diperbolehkan
5. Pasal 1238 KUHPdt. yang menimyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat diminta dimuka Hakim, apabila gugatan ini didahului oleh suatu penagihan tertulis. Mahkamah Agung pernah memutuskan antara dua orang Tionghoa, bahwa pengiriman turunan surat gugat kepada tergugat dapat dianggap sebagai penagihan oleh karena tergugat masih dapat menghindarkan terkabulannya gugatan dengan membayar hutangnya sebelum hari sidang pengadilan.
6. Pasal 1460 KUHPdt. tetang resiko seorang pembeli barang, yang menentukan bahwa suatu barang tertentu yang sudah dijanjikan dijual. Sejak saat itu adalah atas tanggungan pembeli, meskipun penyerahan barang itu belum dilakukan . Dengan tidak lagi berlakunya pasal ini, maka harus ditinjau dari setiap keadaan, apakah tidak sepantasnya pertangungjawaban atau resiko atas musnahnya barang yang sudah dijanjikan dijual tetapi belum diserahkan harus dibagi antara kedua belah pihak ; dan kalau YA sampai dimana pertanggung-jawaban dimaksud.
7. Pasal 1603 x ayat 1 dan 2 KUHPdt. yang mengadakan diskriminasi antara orang Eropa disatu pihak dan orang bukan Eropa dilain pihak mengenai perjanjian perburuhan
5. HUKUM PERDATA NASIONAL
Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku dan
diberlakukan di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia
meliputi juga hukum perdata barat dan hukum perdata nasional. Hukum
perdata barat adalah hukum bekas peninggalan kolonia Belanda yang
berlaku di Indonesia berdasarkan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, mis.
BW/KUHPdt. Hukum perdata nasional adalah hukum perdata yang diciptakan
Pemerintah Indonesia yang sah dan berdaulat. Kriteria bahwa hukum
perdata dikatakan nasional, yaitu :
a. Berasal dari hukum perdata Indonesia. Hukum perdata barat sebagian
sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila. Hukum perdata barat yang
sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila dapat dan bahkan telah
diresepsi oleh bangsa Indonesia.Oleh
karena itu ia dapat diambil alih dan dijadikan bahan hukum perdata
nasional. Disamping Hukum perdata barat, juga hukum perdata tak tertulis
yang sudah berkembang sedemikian rupa sehingga mempunyai nilai yang
dapat diikuti dan dipedomani oleh seluruh rakyat Indonesia. Dapat
diambil dan dijadikan bahan hukum perdata nasional. Untuk mengetahui hal
ini tentunya dilakuan penelitian lebih dahulu terutama melalui
Yurisprudensi. Dalam Ketetapan MPR No.IV/MPR/1978 Jo. Ketetapan MPR No.II/MPR/1988
tentang GBHN, terutama pembangunan di bidang hukum antara lain
dinyatakan bahwa pembinaan hukum nasional didasarkan pada hukum yang
hidup didalam masyarakat . Hukum yang hidup dalam masyarakat dapat
diartikan antara lain hukum perdata barat yang sesuai dengan sistem
nilai budaya Pancasila, hukum perdata tertulis buatan Hakim atau
yurisprudensi dan hukum adat.
b. Berdasarkan Sistem Nilai Budaya Pancasila. Hukum perdata nasional
harus didasarkan pada sistem nilai budaya Pancasila, maksudnya adalah
konsepsi tentang nilai yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar
anggota masyarakat. Apabila nilai yang dimaksud adalah nilai Pancasila
maka sistem nilai budaya disebut sitem nilai budaya Pancasila. Sistem
nilai budaya demkian kuat meresap dalam jiwa anggota masyarakat sehingga
sukar diganti dengan nilai budaya lain dalam waktu singkat. Sistem
nilai budaya Pancasila berfungsi sebagai sumber dan pedoman tertinggi
bagi peraturan hukum & perilaku anggota masyarakat bangsa Indonesia.
Dengan demikian dapat diuji benarkah peraturan hukum perdata barat.
Hukum perdata tidak tertulis, buatan hakim/yurisprudensi & peraturan
hukum adat yang akan diambil sebagai bahan hukum perdata nasional
bersumber, berpedoman, apakah sudah sesuai dengan sistem nilai budaya
Pancasila? Jika jawabnya YA benarkah peraturan hukum perdata yang
diuraikan tadi dijadikan hukum perdata nasional.
c. Produk Hukum Pembentukan Undang – Undang Indonesia. Hukum perdata
nasional harus produk hukum pembuat Undang-Undang Indonesia. Menurut UUD
1945 pembuat Undang-Undang adalah Presiden bersama dengan DPR [pasal 5
ayat 1 UUD 1945]. Dalam GBHN-pun digariskan bahwa pembinaan &
pembentukan hukum nasional diarahkan pada bentuk tertulis. Ini dapat
diartikan bahwa pembentukan hukum perdata nasional perlu dituangkan
dalam bentuk Undang-Undang bahkan diusahakan dalam bentuk kondifikasi.
Jika dalam bentuk Undang-Undang maka hukum perdata nasional harus produk
hukum pembentukan Undang-Undang Indonesia. Contoh Undang-Undang
Perkawinan No.1/1974, Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960.
d. Berlaku Untuk Semua Warga Negara Indonesia. Hukum perdata nasional
harus berlaku untuk semua Warga Negara Indonesia, tanpa terkecuali dan
tanpa memandang SARA. Warga Negara Indonesia adalah pendukung hak dan
kewajiban yang secara keseluruhan membentuk satu bangsa merdeka yaitu
Indonesia. Keberlakuan hukum perdata nasional untuk semua WNI berarti
menciptakan unifikasi hukum sesuai dengan GBHN. Dan melenyapkan sifat
diskriminatif sisa politik hukum kolonia Belanda. Unifikasi hukum
tertulis yang ada sekarang sudah dikenal, diikuti dan berlaku umum dalam
masyarakat.
e. Berlaku Untuk Seluruh Wilayah Indonesia. Hukum perdata nasional
harus berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia. Wilayah Indonesia adalah
wilayah negara RI termasuk perwakilan Indonesia di luar negeri.
Keberlakuan hukum perdata nasional untuk semua WNI di seluruh wilayah
Indonesia merupakan unifikasi hukum perdata sebagai pencerminan sistem
nilai budaya Pancasila terutama nilai dalam sila ke tiga “ Persatuan
Indonesia” Hal ini sesuai dengan GBHN mengenai pembinaan hukum nasional.
SUMBER-SUMBER HUKUM PERDATA
1. Arti Sumber Hukum. Yang dimaksud dengan sumber hukum perdata
adalah asal mula hukum perdata, atau tempat dimana hukum perdata
ditemukan . Asal mula menunjukank kepada sejarah asal dan pembentukanya.
Sedangan tempat menunjukan kepada rumusan dimuat dan dapat dibaca .
2. Sumber dalam arti formal. Sumber dalam arti sejarah asal nya hukum
perdata adalah hukum perdata buatan pemerintah kolonia Belanda yang
terhimpun dalam B.W ( KUHPdt ) . Berdasarkan aturan peralihan UUD 1945
B. W ( KUHPdt ) dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dengan
undang – undang baru berdasarkan UUD 1945. Sumber dalam arti
pembentukannya adalah pembentukan undang – undang berdasarkan UUD 1945.
UUD 1945 ditetapkan oleh rakyat Indonesia yang didalamnya termasuk juga
aturan peralihan.Atas dasar
aturan peralihan B.W ( KUHPdt ) dinyatakan tetap berlaku. Ini berarti
pembentukan UUD Indonesia ikut dinyatakan berlakunya B. W ( KUHPdt ).
Sumber dalam arti asal mula disebut sumber hukum dalam arti formal.
3. Sumber dalam Arti Material. Sumber dalam arti “tempat” adalah
Lembaran Negara atau dahulu dikenal dengan istilah Staatsblad, dimana
dirumuskan ketentuan Undang-Undang hukum perdata dapat dibaca oleh umum.
Misalnya Stb.1847-23 memuat
B.W/KUHPdt. Selain itu juga termasuk sumber dalam arti tempat dimana
hukum perdata pembentukan Hakim . Misalnya yurisprudensi MA mengenai
warisan, badan hukum, hak atas tanah. Sumber dalam arti tempat disebut
sumber dalam arti material. Sumber Hukum perdata dalam arti material
umumnya masih bekas peninggalan zaman kolonia, terutama yang terdapat di
dalam Staatsblad. Sedang yang lain sebagian besar berupa yurisprudensi
MA-RI & sebagian kecil saja dalam Lembaran Negara RI.
KODIFIKASI DAN SISTEMATIKA
1. Himpunan Undang-Undang & Kodifikasi. Bidang hukum tertentu
dapat dibuat & dihimpun dalam bentuk Undang-Undang biasa dan dapat
pula dalam bentuk kodifikasi. Bidang hukum tertentu bidang misalkan,
hukum perdata, pidana, dagang, acara perdata, acara pidana, tata negara.
Apabila dibuat dan dihimpun dalam bentuk Undang-Undang biasa, maka
Undang-Undang yang telah diundangkan dalam lembaran negara masih
memerlukan peraturan pelaksanaan yang terpisah dalam bentuk tertentu,
mis. PP, PerPres. Dengan demikian Undang-Undang yang dibuat belum dapat
dilaksanakan tanpa dibuat peraturan pelaksananya. Undang-Undang &
peraturan pelaksanaannya dapat dihimpun dalam satu bundle peraturan
perundang-undangan. Himpunan ini disebut “himpunan
peraturan-perundangan” mis. himpunan peraturan agraria, himpunan
peraturan perkawinan, himpunan peraturan. Apabila Undang-Undang dibuat
dalam bentuk kodifikasi, maka unsur-unsur yang perlu dipenuhi adalah :
q meliputi bidang hukum tertentu
q tersusun secara sistematis
q memuat materi yang lengkap
q penerapannya memberikan penyelesaian tuntas
Bidang hukum tertentu yang bisa dikodifikasikan & sudah pernah
terbentuk misalnya bidang hukum perdata dagang, hukum pidana, hukum
acara perdata dan acara pidana . Materi bidang hukum yang
dikodifikasikan tersusun secara sistematis artinya disusun secara
berurutan, tidak tumpang tindih dari bentuk dan pengertian umum kepada
bentuk & pengertian khusus. Tidak ada pertentangan materi antara
pasal sebelumnya dan pasal berikutnya. Memuat materi yang lengkap ,
artinya bidang hukum termuat semuanya. Memberikan penyelesaian tuntas ,
artinya tidak lagi memerlukan peratuaran pelaksana semua ketentuan
langsung dapat diterapakan dan diikuti. Kodifikasi berasal dari kata
COPE [Perancis] artinya kitab Undang-Undang. Kodifikasi artinya
penghimpunan ketentuan bidang hukum tertentu dalam kitab Undang-Undang
yang tersusun secara sistematis, lengkap dan tuntas. Contoh kodifikasi
ialah Burgelijk Wetboek, Wetboek van Koophandel,Failissement
Verordening, Wetboek van Strafecht.
2. Sistematika Kodifikasi. Sistematika artinya susunan yang teratur
secara sistematis. Sistematika kodifikasi artinya susunan yang diatur
dari suatu kodifikasi. Sistematika meliputi bentuk dan isi kodifikasi.
Sistematika kodifikasi hukum perdata meliputi bentuk dan isi.
Sistematika bentuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata meliputi urutan
bentuk bagian terbesar sampai pada bentuk bagian terkecil yaitu :
q kitab undang – undang tersusun atas buku – buku
q tiap buku tersusun atas bab – bab
q tiap bab tersusun atas bagian – bagian
q tiap bagian tersusun atas pasal – pasal
q tiap pasal tersusun atas ayat – ayat
Sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata meliputi kelompok
materi berdasarkan sitematika fungsi. Sistematika fungsional ada 2 macam
yaitu menurut pembentuk Undang-Undang & menurut ilmu pengetahuan
hukum. Sistematika isi menurut pembentukan B.W miliputi 4 kelompok
materi sebagai berikut :
I. kelompok materi mengenai orang
II. kelompok materi mengenai benda
III. kelompok nateri mengenai perikatan
IV. kelompok materi mengenai pembuktian
Sedangkan sistematika menurut ilmu pengetahuan hukum ada 4 yaitu :
I. kelompok materi mengenai orang
II. kelompok materi mengenai keluarga
III. kelompok materi mengenai harta kekayaan
IV. kelompok materi mengenai pewarisan
Apabila sistematika bentuk dan isi digabung maka ditemukan bahwa KUHPdt. Terdiri dari :
I. Buku I mengenai Orang
II. Buku II mengenai Benda
III. Buku II mengenai Perikatan
IV. Buku IV mengenai Pembuktian
SISTEMATIKA KUHPdt.
Mengenai sistematika isi ada perbedaan antara sistematika KUHPdt.
Berdasarkan pembentuk Undang-Undang dan sistematika KUHPdt. Berdasarkan
ilmu pengetahuan hukum. Perbedaan terjadi, karena latar belakang
penyusunannya. Penyusunan KUHPdt. didasarkan pada sistem individualisme
sebagai pengaruh revolusi Perancis. Hak milik adalah hak sentral, dan
tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Hak dan kebebasan setiap
individu harus dijamin. Sedangkan sisitematika berdasarkan ilmu
pengetahuan hukum didasarkan pada perkembangan siklus kehidupan manusia
yang selalu melalui proses lahir-dewasa-kawin–cari harta/nafkah
hidup–mati (terjadi pewarisan ). Dengan demikian perbedaan sistematika
tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
I. Buku I KUHPdt. memuat ketentuan mengenai manusia pribadi dan
keluarga (perkawinan) sedangkan ilmu pengetahuan hukum memuat ketetuan
mengenai pribadi dan badan hukum, keduanya sebagai pendukung hak dan
kewajiban.
II. Buku II KUHPdt. memuat ketentuan mengenai benda dan waris.
Sedangkan ilmu pengetahuan hukum mengenai keluarga (perkawinan dan
segala akibatnya).
III. Buku III KUHPdt. memuat ketentuan mengenai perikatan. Sedangkan
ilmu pengetahuan hukum memuat ketentuan mengenai harta kekayaan yang
meliputi benda dan perikatan.
IV. Buku IV KUHPdt. memuat ketentuan mengenai bukti dan daluwarsa.
Sedangkan ilmu pengetahuan hukum memuat ketentuan mengenai pewarisan,
sedangkan bukti dan daluarsa termasuk materi hukum perdata formal (hukum
acara perdata).
BERLAKUNYA HUKUM PERDATA
BERLAKUNYA HUKUM PERDATA
Berlaku artinya diterima untuk dilaksanakan. Berlakunya hukum perdata
artinya diterimanya hukum perdata untuk dilaksanakan . Adapun dasar
berlakunya hukum perdata adalah ketentuan undang – undang , perjanjian
yang dibuat oleh pihak, dan keputusan hakim. Realisasi keberlakuan
adalah pelaksanaan kewajiban hukum yaitu melaksanakan perintah dan
menjauhi larangan yang ditetapkan oleh hukum. Kewajiban selalu diimbangi
dengan hak.
1. Ketentuan Undang-Undang. Berlakunya hukum perdata karena ketentuan
Undang-Undang artinya Undang-Undang menetapkan kewajiban agar hukum
dilaksanakan. Undang-Undang mengikat semua orang atau setiap orang wajib
mematuhi Undang-Undang, yang jika tidak patuhi akan disebut sebagai
pelanggaran. Berlakunya hukum perdata ada bersifat memaksa dan bersifat
sukarela. Bersifat memaksa artinya kewajiban hukum harus dilaksanakan
baik dengan berbuat atau tidak berbuat. Pelaksanan kewajiban hukum
dengan berbuat misalnya :
a. Dalam perkawinan, kewajiban untuk memenuhi syarat & prosedur kawin supaya memperoleh hak kehidupan suami isteri;
b. Dalam mendirikan yayasan kewajiabn memenuhi syarat akta Notaris, supaya memperoleh hak status hukum;
c. Dalam perbuatan melanggar hukum kewajiban membayar kerugian kepada yang dirugikan.
d. Dalam jual beli kewajiban pembeli membayar harga barang supaya memperoleh hak atas barang yang dibeli
Pelaksanaan kewajiban hukum untuk tidak berbuat misalnya :
a. Dalam perkawinan, kewajiban tidak mengawini lebih dari seorang
wanita dalam waktu yang sama supaya memperoleh predikat monogami.
b. Dalam ikatan perkawinan, kewajiban tidak bersetubuh dengan
wanita/pria yang bukan istri/suami sendiri, supaya memperoleh hak atas
status suami atau isteri yang baik, jujur, tidak menyeleweng
c. Dalam karya cipta, kewajiban untuk tidak membajak hak cipta milik orang lain , sehingga berhak untuk bebas dari penututan.
Sukarela berarti terserah pada kehendak yang bersangkutan apakah
bersedia melaksanakan kewajiban tersebut atau tidak [tidak ada paksaan],
kewajiaban tersebut menyangkut kepentingan sendiri. Dalam pelaksanaan
kewajiban sukarela saksi hukum tidak berperan. Adapun kewajiban hukum
karena adanya hubungan hukum. Hubungan hukum tersebut ditetapakan oleh
undang – undang . Jadi Undang-Undang menciptakan hubungan hukum antara
para pihak. Hubungan mengandung kewajiban dan hak yang bertimbal balik
antara pihak pihak. Hubungan hukum dapat tercipta karena adanya
peristiwa hukum karena :
a. kejadian misalnya kelahiran, kematian;
b. perbuatan misalnya jual beli, sewa menyewa
c. keadaan misalnya letak rumah, batas antara dua pihak
Dalam Undang-Undang ditentukan bila terjadi kelahiran, maka timbul
hubungan hukum antara orang tua dan anak yaitu hubungan timbal balik
adanya hak dan kewajiban
2. Perjanjian antar para pihak. Hukum perdata juga berlaku karena
ditentukan oleh perjanjian. Artinya perjanjian yang dibuat oleh para
pihak menetapkan diterimanya kewajiban hukum untuk dilaksanakan oleh
para pihak. Perjanjian mengikat pihak yang membuatnya. Perjanjian harus
sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya. Perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikat baik (pasal 1338 KUHPdt). Perjanjian
menciptakan hubungan hukum antara pihak–pihak yang membuatnya. Hubungan
hukum mengandung kewajiban dan hak yang bertimbal balik antara para
pihak. Hubungan hukum terjadi karena peristiwa hukum yang berupa
perbuatan perjanjian misalnya, Jual beli, sewa menyewa, hutang piutang.
Ada 2 macam perjanjian yaitu :
1. Perjajian harta kekayaan yaitu perjanjian yang menimbulkan
kewajiban dan hak yang bertimbal balik mengenai harta kekayaan. Ada 2
jenis :
q perjanjian yang bersifat obligator artinya baru dalam taraf melahirkan kewajiban dan hak;
q perjanjian yang bersifat zakelijk ( kebendaan ) artinya dalam taraf memindahkan hak sebagai realisasi perjajian obligator.
2. Perjanjian perkawinan yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban
dan hak suami isteri secara bertimbal balik dalam hubungan perkawinan.
Perjanjian terletak dalam bidang moral dan kesusilaan.
Supaya penerimaan kewajiban dan hak yang bertimbal balik lebih mantap
maka pada perjanjian tertentu pembuatannya dilakukan secara tertulis di
depan Notaris.
3. Keputusan Hakim. Hukum perdata berlaku karena ditetapkan oleh
hakim melalui putusan. Hal ini dapat terjadi karena ada perbedaan dalam
hukum perdata. Untuk menyelesaikannya dan menetapkan siapa sebenarnya
berkewajiban dan berhak menuntut hukum perdata, maka hakim karena
jabatanya memutuskan sengketa tersebut. Putusan hakim bersifat memaksa
artinya jika ada pihak yang tidak mematuhinya, hakim dapat memerintahkan
pihak yang bersangkutan supaya mematuhi dengan kesadaran sendiri. Jika
masih tidak mematuhinya hakim dapat melaksanakan putusannya dengan
paksa, bila perlu dengan bantuan alat negara.
4. Akibat Berlakunya Hukum Perdata. Sebagai akibat berlakunya hukum
perdata, yaitu adanya pelaksanaan pemenuhan [prestasi] dan realisasi
kewajiban hukum perdata. Ada 3 kemungkinan hasilnya yaitu [1]
tercapainya tujuan apabila kedua belah pihak memenuhi kewajiban dan hak
timbal balik secara penuh [2] tidak tercapai tujuan, apabila salah satu
pihak tidak memenuhi kewajiban [3] terjadi keadaan yang bukan tujuan
yaitu kerugian akibat perbuatan melanggar hukum. Apabila kedua belah
pihak tidak memenuhi kewajiban hukum yang telah ditetapkan dalam
perjanjian tidak akan menimbulkan kewajiban. Sebab kewajiban hukum pada
hakekatnya baru dalam taraf diterima untuk dilaksanakan. Jadi belum
dilaksanakan kedua belah pihak . Tetapi apabila salah satu pihak telah
melaksanakan kewajiban hukum sedang pihak lainnya belum/tidak
melaksanakan kewajiban hukum barulah ada masalah wanprestasi yang
mengakibatkan tujuan tidak tercapai, sehingga menimbulkan sanksi hukum.
No comments:
Post a Comment
Aturan Berkomentar :
1. Menggunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang Berkomentar spam, flood, junk, iklan, sara, sex dsb.(Komentar Akan Saya Hapus)
3. Silahkan gunakan OpenID untuk mempermudah blogwalking