1 Obyek Gugatan.
Obyek gugatan atau pangkal sengketa TUN adalah KTUN yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang mengandung perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa, sedangkan hukum acara perdata adalah perbuatan melawan hukum.
2. Kedudukan Para Pihak.
Dalam TUN menempatkan seseorang atau badan hukum perdata sebagai pihak penggugat dan badan atau pejabat TUN sebagai pihak tergugat. Di dalam hukum acara perdata adalah para pihak sesame individu, sesama badan hukum perdata, atau antara individu dengan suatu badan hukum perdata.
3. Gugat Rekonvensi.
Dalam hukum acara perdata dikenal dengan istilah gugat rekonvensi (gugat balik) yaitu gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan antara mereka. Di dalam hukum acara PTUN tidak mungkin dikenal adanya gugat rekonvensi, karena dalam gugat rekonvensi berarti kedudukan para pihak semula menjadi balik. Kedudukan para pihak dalam hukum acara PTUN tidak berubah-ubah. Penggugat tetap merupakan individu atau badan hukum perdata, sedangkan tergugat tetap merupakan badan atau pejabat TUN. Dan yang menjadi obyek gugatan dalam hukum acara PTUN juga tidak berubah,tetap KTUN, tidak boleh yang lain.
4. Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan.
Dalam hukum acara TUN pengajuan gugatan dapat di lakukan hanya dalam tenggang waktu 90 (Sembilan puluh) hari, yang dihitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan TUN. Apabila gugatan tersebut diajukan setelah lewat 90 hari, maka pengadilan tidak akan menerima gugatan.
Dalam hukum acara perdata, tenggang waktu mengajukan gugatan, yang mengakibatkan gugatan daluwarsa tidak begitu tegas dibanding dengan hukum acara PTUN. Dalam hukum acara perdata, memang dapat saja terjadi gugatan dianggap daluwarsa, tetapi daluwarsa gugatan itu dikarenakan kelalaian penggugat. Dalam acara perdata relative lebih lama dan setiap masalah berbeda tenggang waktunya.
5. Tuntutan Dalam Gugatan.
Dalam hukum acara perdata tuntutan pokok selalu disertai tuntutan pengganti. Fungsi tuntutan pengganti untuk menggantikan tuntutan pokok,apabila tuntutan pokok di tolak oleh pengadilan.
Dalam hukum acara PTUN, hanya dikenal satu macam tuntutan pokok yang berupa tuntutan agar KTUN yang di gugat itu dinyatakan batal atau tidak sah atau tuntutan KTUN yang dimohonkan oleh penggugat dikeluarkan oleh tergugat. Sedangkan tuntutan tambahan yang diperbolehkan hanya berupa ganti kerugian (untuk bukan sengketa kepegawaian) atau rehabilitasi dengan atau tanpa kompensasi (untuk sengketa kepegawaian).
6. Rapat Permusyawaratan
Adalah merupakan suatu prosedur penyelesaian perkara yang disederhanakan, dan prosedur ini tidak dikenal dalam hukum acara perdata. Prosedur ini pada dasarnya memberikan wewenang kepada kepala ketua pengadilan sebelum pokok sengketanya diperiksa memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan oleh penggugat tidak diterima atau tidak berdasar.
7. Pemeriksaan Persiapan
Hukum PTUN mengenal pemeriksaan persiapan, yang juga tidak dikenal dalam hukum acara perdata. Pemeriksaan persiapan juga dilakukan oleh hakim sebelum pemerisaan pokok sengketa dimulai. Dalam pemeriksaan itu hakim :
a. Wajib memberikan nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu 30 hati.
b. Dapat meminta penjelasan kepada badan atau pejabat TUN yang bersangkutan.
8. Putusan Verstek.
Adalah pernyataan bahwa tergugat tidak datang pada hari sidang pertama. Putusan verstek di kenal dalm hukum acara perdata dan boleh dijatuhkan pada hari sidang pertama, apabila tergugat tidak datang setelah dipanggil dengan patut. Dan di dalam hukum acara PTUN tidak dikenal dengan putusan verstek, karena badan atau pejabat TUN yang digugat itu tidak mungkin tidak diketahui kedudukannya.
9. Pemeriksaa Acara Cepat.
Dalam hukum acara PTUN dikenal dengan pemeriksaan acara cepat, dan pemeriksaan ini tidak dikenal dalam hukum acara perdata.
Pemeriksaan dangan acara cepat dapat dilakukan, apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak. Penggugat dalam gugatanya dapat memohon kepada pengadilan supaya pemeriksaan sengketa di percepat.
Ketua pengadilan dalam jangka waktu 14 hari setelah menerima permohonan itu, maka harus mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkanya putusan itu. Terhadap tidak dikabulkannya permohonan tersebut tidak dapat digunakan upaya hukum.
10. Sistem Hukum Pembuktian.
Dalam hukum acara perdata dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran formal, sedangkan dalam hukum acara PTUN dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran materiil.
11. Juru Sitra.
Pemanggilan para pihak atau wakilnya untuk hadir pada sidang yang telah ditentukan dalam hukum acara perdata oleh panitera atau jurusita, sedangkan dalam hukum acara PTUN berdasarkan pasal 65 UU PTUN dilakukan melalui surat tercatat.
12. Sifat Erga Omnesnya Putusan Pengadilan.
Dalam hukum acara PTUN, putusan pengadilan yang telah berkukuatan hukum tetap mengandung sifat erga omne, artinya berlaku untuk siapa saja dan tidak hanya terbatas berlakunya bagi pihak-pihak yang berperkara, seperti halnya dalam hukum acara perdata. Dengan kata lain putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap pada dasarnya menupakan keputusan hukum yang bersifat hukum public. Siapapun harus terikat denga putusan PTUN tersebut, baik pihak yang berperkara maupun di luar itu.
13. Pelaksanaan Serta Merta.
Berdasarkan ketentuan pasal 115 UU PTUN disebutkan bahwa hanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan. Dengan demikian dalam hukum acara PTUN tidak dikenal pelaksanaan serta merta sebagaimana yang dikenal dalam hukum acara perdata. Dalam hukum acara PTUN, hanya putusan akhir yang telah berkekuatan hukum tetap saja yang dapat dilaksanakan.
14. Upaya Pemaksa Agar Putusan Dilaksanakan.
Dalam hukum acara perdata, apabila pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela, maka dikenal adanya upaya-upaya pemaksa agar putusan tersebut dilaksanakan. Tujuan dari upaya pelaksanaan ini adalah untuk memenuhi putusan guna kepentingan pihak yang di menangkan.
Sedangkan dalam hukum acara PTUN tidak dikenal adanya upaya Pemaksa. Karena, hakikat dari putusan dalam hukum acara PTUN adalah bukan menghukum sebagaimana dalam hukum acara perdata. Hakikat keputusan dalam hukum acara PTUN adalah untuk membatalkan KTUN yang telah dikeluarkan atau memerintahkan agar tergugat mengeluarkan KTUN yang di mohonkan oleh penggugat.
15. Kedudukan Pengadilan Tinggi.
Dalam hukum acara perdata, kedudukan pengadilan tinggi selalu sebagai pengadilan tingkat banding, sehingga setiap perkara tidak dapat langsung diperiksa oleh pengadilan tinggi, tetapi harus terlebih dahulu melalui pengadilan tingkat pertama (pengadilan negri).
Sedangkan di dalam hukum acara PTUN kedudukan pengadilan tinggi dapat sebagai pengadilan tingkat pertama, dalam hal sebagai berikut :
a. Berkedudukan sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam sengketa mengadili kewenagan mengadili antara PTUN di dalam daerah hukumnya.
b. Berkedudukan sebagai pengadilan tingkat pertama dalam hal sengketa telah diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administrasi yang tersedia.
16. Hakim Ad Hoc
Hakim Ad Hoc tidak dikenal dalam hukum acara perdata, apabila diperlukan keterangan ahli dalam bidang tertentu, hakim cukup mendengarkan keterangan dari saksi ahli.
Dalam hukum acara PTUN, Hakim Ad Hoc diatur dalam pasal 135 UU PTUN. Apabila memerlukan keahlian khusus, maka ketua pengadilan dapat menunjuk seseorang hakim ad Hoc sebagai anggota majelis.
A. Pangkal Sengketa Tata Usaha Negara
Pangkal sengketa tata usaha Negara dapat diketahui dengan menentukan apa yang menjadi tolak ukur sengketa tata usaha Negara. Tolak ukur sengketa tata usaha Negara (administrasi) adalah tolak ukur subyek dan pangkal sengketa. Tolak ukur subyek adalah (para) pihak yang bersengketa di bidang hukum administrasi Negara (tata usaha negara). Sedangkan tolak ukur pangkal sengketa, yaitu sengketa administrasi yang diakibatkan oleh ketetapan sebagai hasil perbuatan administrasi Negara.
Sengketa administrasi dapat dibedakan atas sengketa intern dan sengketa ekstern. Sengketa intern atau sengketa antara administrasi negara terjadi di dalam lingkungan administrasi (TUN) itu sendiri, baik yang terjadi dalam satu departemen (instansi) maupun sengketa yang terjadi antar departemen (instansi). Oleh karena itu, sengketa intern adalah menyangkut persoalan kewenangan pejabat TUN yang disengketakan dalam satu departemen (instansi) atau kewenangan suatu departemen terhadap departemen lainnya, yang disebabkan tumpang tindihnya kewenangan, sehingga menimbulkan kekaburan kewenangan. Sengketa ini dapat juga disebut sebagai hukum antar wewenang.
Sengketa ekstern atau sengketa antara administrasi Negara dengan rakyat adalah perkara administrasi yang menimbulkan sengketa antara administrasi Negara dengan rakyat sebagai subyek-subyek yang berperkara ditimbulkan oleh unsur dari unsure peradilan administrasi murni yang mensyaratkan adanya minimal dua pihak dan sekurang-kurangnya salah satu pihak harus administrasi negara, yang mencakup administrasi negara di tingkat pusat, administrasi negara di tingkat daerah, maupun administrasi negara yang ada di daerah.
Perbuatan administrasi Negara (TUN) dalam dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) macam perbuatan, yakni; mengeluarkan keputusan, mengeluarkan peraturan perundang-undangan, dan melakukan perbuatan materiil.
Dalam melakukan perbuatan tersebut tidak jarang terjadi tindakan-tindakan yang menyimpang dan melawan hukum, sehingga dapat menimbulkan berbagai kerugian bagi yang terkena tindakan tersebut.
Pertanyaan tentang apakah UU PTUN menganut sengketa ekstern atau intern? Maka, jawabannya bisa dilihat pada pasal 1 angka 4 UU PTUN sebagai berikut:
“sengketa tata usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa tolak ukur subyek sengketa tata usaha Negara adalah orang (individu) atau badan hukum perdata di satu pihak dan badan atau pejabat tata usaha Negara di pihak lainnya.
Adapun pangkal sengketa TUN adalah akibat dikeluarkannya KTUN. Berdasarkan pasal 1 angka 3 UU PTUN yang dimaksud dengan KTUN adalah “ suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Dari pengertian di atas dapat ditarik unsur-unsur KTUN adalah sebagai berikut:
- Suatu penetapan tertulis
- Dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha Negara
- Bersifat konkrit
- Individual, dan
- Final
- Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata
B. Kedudukan Para Pihak dalam Sengketa Tata Usaha Negara
Dari ketentuan pasal 1 angka 4 UU PTUN dapat diketahui bahwa kedudukan para pihak dalam sengketa tata usaha Negara adalah orang (individu) atau badan hukum perdata sebagai pihak penggugat dan badan atau pejabat tata usaha Negara sebagai pihak tergugat.
Tergugat adalah selalu badan atau jabatan TUN yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya. Wewenang tersebut dapat diperoleh secara atributif, delegasi, atau mandat.
Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang dirugikan akibat dikeluarkannya KTUN. Penggugat pada dasarnya dapat digolongkan dalam tiga kelompok:
- Orang-orang atau badan hukum perdata sebagai alamat yang dituju oleh suatu KTUN
- Orang-orang atau badan hukum perdata yang dapat disebut sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, seperti: individu-individu yang merupakan pihak ketiga yang berkepentingan, dan organisasi-organisasi kemasyarakatan (pecinta lingkungan).
- Badan atau jabatan TUN yang lain, namun untuk hal ini UU PTUN tidak memberi hak kepada mereka untuk menggugat.
C. Jalur Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
Ada dua upaya jalur penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara, upaya administrative dan upaya dari PTTUN. Sebagaimana ketentuan dari pasal 51 ayat 3 yang menyebutkan bahwa PTTUN bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa TUN sebagaimana dimaksud dalam pasal 48, apabila sengketa itu telah diputus dalam tingkat banding administrative, sedangkan apabila upaya administrative yang tersedia hanya berupa keberatan, maka gugatan KTUN yang diputus dalam tingkat upaya keberatan tersebut tidak dapat diajukan langsung kepada PTTUN, tetapi kepada PTUN.
Perbedaan penting antara upaya administrative dan PTUN adalah bahwa PTUN hanyalah memeriksa dan menilai dari segi hukumnya saja. Sedangkan penilaian dari segi kebijaksanaan bukan menjadi wewenang PTUN.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang memuat upaya administrative adalah UU 6/1983 untuk penyelesaian yang menyangkut wajib pajak, PP 30/1980 untuk penyelesaian sengketa kepegawaian, Hinder Ordonansi (Ordonansi Gangguan) untuk penyelesaian sengketa izin HO, P4D (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah ) dan P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat) untuk penyelesaian perselisihan perburuhan.
No comments:
Post a Comment
Aturan Berkomentar :
1. Menggunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang Berkomentar spam, flood, junk, iklan, sara, sex dsb.(Komentar Akan Saya Hapus)
3. Silahkan gunakan OpenID untuk mempermudah blogwalking