Perihal pembatalan perkawinan dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 diatur pada Pasal 22 s.d 28, yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pada Pasal 37 dan 38.
Pasal 22 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan:
"Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan’'.
Dalam penjelasannya disebutkan:
"Pengertian ‘dapat’ pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain”.
Dengan demikian, alasan untuk mencegah perkawinan dan alasan untuk membatalkan perkawinan mengandung persamaan, yakni apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Akan tetapi, bilamana diteliti bunyi Pasal 26 ayat (1) yang menyatakan:
"Perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah sang tidak sah atau dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isten, jaksa dan suami atau isten ’ maka ternyata perkawinan yang dapat dibatalkan tidak hanya perkawinan yang dilangsungkan oleh para pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan yang telah ditentukan, tetapi mga perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah dan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi.
Permohonan pembatalan perkawinan harus disampaikan kapailii pengadilan daerah hukum dimana perkawinan yang
bonkan pembatalannya itu dilangsungkan atau di tempat Permohonan pembatalan perkawinan hanya boleh diajukan oleh pihak yang berhak yang disebut dalam Pasal 23, 24, 26 dan 27 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yaitu:
1 Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
2. Suami atau isteri;
3. Pejabat yang berwenang;
4. Pejabat yang ditunjuk;
5. Jaksa;
6. Suami atau isteri dari yang melangsungkan perkawinan;
7. Orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Khusus dalam hubungan suami isteri, seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, dalam hal perkawinan itu dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum atau apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. Yang dimaksud salah sangka di sini bukannya salah sangka mengenai identitas seseorang, pangkat, kedudukan, kekayaan dan sebagainya melainkan salah sangka mengenai diri suami isteri" 38) Bilamana dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah tidak adanya ancaman lagi atau yang salah sangka itu menyadari dirinya, masih tetap hidup sebagai suami isteri dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan pembatalan, maka haknya itu gugur.
Tatacara mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tatacara mengajukan gugatan perceraian (Pasal 38 ayat (2) PP No. 9/1975;. Hal-hal yang berhubungan dengan pemanggilan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam Pasal 20 s.d. 36 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
Pasal 22 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan:
"Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan’'.
Dalam penjelasannya disebutkan:
"Pengertian ‘dapat’ pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain”.
Dengan demikian, alasan untuk mencegah perkawinan dan alasan untuk membatalkan perkawinan mengandung persamaan, yakni apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Akan tetapi, bilamana diteliti bunyi Pasal 26 ayat (1) yang menyatakan:
"Perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah sang tidak sah atau dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isten, jaksa dan suami atau isten ’ maka ternyata perkawinan yang dapat dibatalkan tidak hanya perkawinan yang dilangsungkan oleh para pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan yang telah ditentukan, tetapi mga perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah dan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi.
Permohonan pembatalan perkawinan harus disampaikan kapailii pengadilan daerah hukum dimana perkawinan yang
bonkan pembatalannya itu dilangsungkan atau di tempat Permohonan pembatalan perkawinan hanya boleh diajukan oleh pihak yang berhak yang disebut dalam Pasal 23, 24, 26 dan 27 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yaitu:
1 Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
2. Suami atau isteri;
3. Pejabat yang berwenang;
4. Pejabat yang ditunjuk;
5. Jaksa;
6. Suami atau isteri dari yang melangsungkan perkawinan;
7. Orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Khusus dalam hubungan suami isteri, seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, dalam hal perkawinan itu dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum atau apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. Yang dimaksud salah sangka di sini bukannya salah sangka mengenai identitas seseorang, pangkat, kedudukan, kekayaan dan sebagainya melainkan salah sangka mengenai diri suami isteri" 38) Bilamana dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah tidak adanya ancaman lagi atau yang salah sangka itu menyadari dirinya, masih tetap hidup sebagai suami isteri dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan pembatalan, maka haknya itu gugur.
Tatacara mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tatacara mengajukan gugatan perceraian (Pasal 38 ayat (2) PP No. 9/1975;. Hal-hal yang berhubungan dengan pemanggilan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam Pasal 20 s.d. 36 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Akan tetapi, keputusan tidak berlaku surut terhadap:
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut artinya anak-anak tersebut adalah anak yang sah dari suami isteri yang bersangkutan;
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawnan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
c. Orang-orang ketiga lainnya sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap, misalnya orang-orang ketiga itu menerima hadiah dari suami isteri yang bersangkutan, maka apa yang dihadiahkan itu merupakan haknya yang sah.
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut artinya anak-anak tersebut adalah anak yang sah dari suami isteri yang bersangkutan;
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawnan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
c. Orang-orang ketiga lainnya sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap, misalnya orang-orang ketiga itu menerima hadiah dari suami isteri yang bersangkutan, maka apa yang dihadiahkan itu merupakan haknya yang sah.
No comments:
Post a Comment
Aturan Berkomentar :
1. Menggunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang Berkomentar spam, flood, junk, iklan, sara, sex dsb.(Komentar Akan Saya Hapus)
3. Silahkan gunakan OpenID untuk mempermudah blogwalking