Sejarah kewarganegaraan sejak proklamasi kemerdekaan
Pada waktu Repbulik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Negara Republik Indonesia belum mempunyai Undang-Undang Dasar. Sehari kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945 . Mengenai soal kewarganegaraan Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 26 ayat (1) menentukan bahwa ’’Yang menjadi warga negara ialah orang-orang Bangsa Indonesia aseli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara,” sedangkan ayat (2)-nya menyebutkan bahwa ’’Syarat-syarat yang mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan Undang-Undang” (e.b. dari penyusun).
Perumusan yang demikian didasarkan pada pertimbangan bahwa memang seharusnyalah bangsa Indonesia aseli yang menjadi warga negara Indonesia, namun bagi mereka keturunan asing dapat pula menjadi warganegara dengan akan diatur dalam Undang-undang; Sebab adalah tidak lazim masalah kewarganegaraan diatur dalam Undang-Undang Dasar. Dan pada waktu penyusunan Undang-Undang Dasar telah dijelaskan bahwa hal tersebut lebih baik diatur dalam Undang-undang biasa.247 Karena itu bagi mereka yang tergolong dalam keturunan asing tetap dibuka kemungkinan untuk menjadi warga negara Indonesia, selama mereka mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepa-da Negara Republik Indonesia; demikian penjelasan pasal 26 tersebut.
Sebagai pelaksanaan dari pasal 26 tersebut, maka pada tanggal 10 April 1946 diundangkan Undang-Undang no. 3 tahun 1946. Undang-Undang ini kemudian beberapa kali mengalami perobahan dengan Undang-Undang no. 6 dan no. 8 tahun 1947. Kalau diperhatikan Undang-Undang tersebut akan ternyata, bahwa azas kewarganegaraan yang dianut adalah azas ius soli. Ini dapat dilihat dari rumusan pasal 1 huruf a, warga negara Indonesia ialah orang yang aseli dalam daerah Negara Indonesia. Istilah ’’dalam daerah Negara Indonesia” menunjukkan pemakaian azas ius soli. Begitu pula dalam huruf b dinyatakan, bahwa orang peranakan yang lahir dan bertempat tinggal di Indonesia paling sedikit untuk lima tahun terakhir dan berturut-turut serta berumur 21 tahun adalah warga negara Indonesia, kecuali kalau ia menyatakan keberatan menjadi warga negara Indonesia. Perkataan ’’lahir dan bertempat tinggal di Indonesia” ini menunjukkan, bahwa azas ius soli yang dipakai. Latar belakang dari pemakaian azas ius soli ini disebabkan kenyataan, bahwa sejak dahulu sudah banyak peranakan bangsa lain yang telah bertempat tinggal di Indonesia. Jadi selama mereka menyatakan kesetiaannya kepada Negara Indonesia dan mengakui Indonesia sebagai tanah airnya, maka mereka dapat menjadi warga negara Indonesia (hak repudiasi).
Sebagai pelaksanaan dari pasal 26 tersebut, maka pada tanggal 10 April 1946 diundangkan Undang-Undang no. 3 tahun 1946. Undang-Undang ini kemudian beberapa kali mengalami perobahan dengan Undang-Undang no. 6 dan no. 8 tahun 1947. Kalau diperhatikan Undang-Undang tersebut akan ternyata, bahwa azas kewarganegaraan yang dianut adalah azas ius soli. Ini dapat dilihat dari rumusan pasal 1 huruf a, warga negara Indonesia ialah orang yang aseli dalam daerah Negara Indonesia. Istilah ’’dalam daerah Negara Indonesia” menunjukkan pemakaian azas ius soli. Begitu pula dalam huruf b dinyatakan, bahwa orang peranakan yang lahir dan bertempat tinggal di Indonesia paling sedikit untuk lima tahun terakhir dan berturut-turut serta berumur 21 tahun adalah warga negara Indonesia, kecuali kalau ia menyatakan keberatan menjadi warga negara Indonesia. Perkataan ’’lahir dan bertempat tinggal di Indonesia” ini menunjukkan, bahwa azas ius soli yang dipakai. Latar belakang dari pemakaian azas ius soli ini disebabkan kenyataan, bahwa sejak dahulu sudah banyak peranakan bangsa lain yang telah bertempat tinggal di Indonesia. Jadi selama mereka menyatakan kesetiaannya kepada Negara Indonesia dan mengakui Indonesia sebagai tanah airnya, maka mereka dapat menjadi warga negara Indonesia (hak repudiasi).
Dalam hal ini golongan peranakan secara keseluruhan dinyatakan terlebih dahulu warga negara tentu saja yang memenuhi syarat-syarat Indonesia, namun kepada mereka diberikan hak untuk menolak. Di sini pemilihan kewarganegaraan itu dilakukan secara pasif, karena kewarganegaraan Indonesia itu dengan sendirinya diperr oleh apabila tidak mengajukan pernyataan untuk menolak.
Pernyataan yang dimaksud di atas harus sudah disampaikan kepada Menteri Kehakiman paling lambat dalam waktu satu tahun sejak berlakunya Undang-Undang no. 3 tahun 1946 tersebut. Karena terlalu sedikit orang yang mengajukan pernyataan tersebut, maka oleh Undang-Undang no. 8 tahun 1947 diberikan perpanjangan waktu sampai tanggal 10 April 1948. Hal ini sebenarnya dapat dimengerti karena Republik Indonesia pada waktu itu masih dalam peperangan dengan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Keadaan ini berjalan terus sampai terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat.
Setelah terbentuknya Republik Indonesia Serikat, maka pembuat Undang-Undang Dasar 1949 juga menyadari, bahwa adalah tidak mungkin untuk mengatur masalah kewarganegaraan dalam Undang-Undang Dasar. Karena itu pasal 5 dari Undang-Undang Dasar 1949 menentukan, bahwa kewarganegaraan Republik Indonesia Serikat diatur dengan Undang-Undang. Menyadari pula, bahwa adalah tidak mungkin membuat Undang-Undang dalam waktu yang singkat, maka pasal 194 Undang-Undang Dasar 1949 menentukan, bahwa sambil menunggu Undang-Undang sebagai yang dimaksud oleh pasal 5 tersebut, maka yang sudah menjadi warga negara Republik Indonesia Serikat adalah orang-orang yang menurut persetujuan Prihal Pembagian Warga Negara antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda, mempunyai kewarganegaraan Indonesia.
Persetujuan Prihal Pembagian Warga Negara tersebut adalah sebagian dari hasil Konperensi Meja Bundar antara Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia Serikat. Ada tiga hal yang penting dalam persetujuan tersebut.
1. Orang Belanda yang tetap memegang teguh kewarganegaraan Belanda. Tetapi terhadap turunannya yang lahir atau bertempat tinggal di Indonesia sekurang-kurangnya enam bulan sebelum tanggal 27 Desember 1949, dalam waktu dua tahun setelah penyerahan kedaulatan dapat menyatakan memilih kewarganegaraan Indonesia. Di sini keturunan Belanda itu diberi kesempatan untuk memilih kewarganegaraan Indonesia, dan ini dinamakan hak opsi (hak untuk memilih kewarganegaraan). Dan pemilihan kewarganegaraan di sini disebut tindakan aktif, sebagai lawan dari tindakan pasif dalam hak repudiasi.
2. Orang-orang yang tergolong sebagai kawuianegara Belanda dari golongan Indonesia aseli, yang berada di Indonesia memperoleh kewarganegaraan Indonesia, kecuali mereka yang bertempat tinggal di Suriname atau Antillen Belanda dan dilahirkan di wilayah Kerajaan Belanda, yang kemudian juga dapat memilih kewarganegaraan Indonesia.
3. Orang-orang — yang menganut sistim hukum Hindia Belanda dulu termasuk golongan Timur Asing — Kawulanegara Belanda keturunan asing yang bukan berstatus orang Belanda, yaitu dikenal dengan golongan Arab dan Cina, maka terhadap mereka terdapat dua kemungkinan yaitu jika bertempat tinggal di Belanda, mereka tetap berkewarganega-raan Belanda. Mereka yang dinyatakan sebagai warga negara Indonesia, dapat menyatakan penolakannya dalam waktu dua tahun.
Dari uraian di muka jelaslah, bahwa untuk menentukan siapa yang menjadi warga negara Indonesia, Persetujuan Prihal Pembagian Warga Negara tersebut menganut azas ius soli, karena baik bagi orang Indonesia aseli, Arab, Cina dan keturunan Belanda yang menjadi Warganegara Indonesia ditentukan pertama, bahwa mereka tersebut lahir atau telah bertempat tinggal untuk waktu tertentu di Indonesia.
Apabila diperhatikan isi Undang-Undang no. 3 tahun 1946 dan Persetujuan Prihal Pembagian Warga Negara akan ternyata, bahwa terdapat ketidak tegasan dari dalam peranakan Belanda. Arab dan Cina, berdasarkan Undang-Undang no. 3 tahun 1946 telah menjadi warga negara Indonesia dengan tidak mengajukan penolakan seperti diharuskan, sekarang oleh Persetujuan Prihal Pembagian Warga Negara, mereka belum dianggap sebagai warga negara Indonesia sampai mereka mengadakan pilihan.
Untunglah ketidak tegasan ini hanya berjalan selama kurang lebih enam bulan dengan berlakunya Undang-Undang Dasar 1950 sama dengan dua Undang-Undang Dasar sebelumnya menyadari akan lebih baik masalah kewarganegaraan ini diatur dengan Undang-Undang saja. Karena itu dalam pasal 5 ayat (l)ditentukan bahwa kewarganegaraan Repbulik Indonesia diatur dengan Undang-undang. Dan sementara badan legislatif menyusun Undang-Undang dimaksud, maka oleh ketentuan peralihan pasal 144 ditentukan, bthwa yang dimaKsua aku y a*, g menjadi wa^2
negara Republik Indonesia ialah mereka yang berdasarkan Undang-Undang no. 3 tahun 1946 dan Persetujuan Prihal Pembagian Warga Negara, sudah menjadi warga negara Indonesia.
Walaupun oleh Persetujuan Prihal Pembagian Warga Negara telah diberikan kesempatan kepada khususnya golongan Cina untuk memilih warga negara Indonesia, tidaklah berarti, bahwa mereka telah sepenuhnya berkewarganegaraan Indonesia, karena Undang-Undang kewarganegaraan Republik Rakyat Cina pada waktu itu menganut azas ius sanguinis. Dan seperti telah dijelaskan di atas, baik Undang-Undang no. 3 tahun 1946 maupun Persetujuan Prihal Pembagian Warga Negara menganut azas ius soli. Menujrut Penjelasan di muka bahwa apabila terjadi dua azas yang bertentangan ini akan menimbulkan bipatride (dwi kewarganegaraan). Dan memang pada waktu itu banyak terjadi dwi kewarganegaraan atas golongan Cina.
Seperti telah dijelaskan di muka, bahwa satu-satunya usaha untuk memperoleh pemecahan adalah mengadakan perjanjian antara negara yang bersangkutan. Dan untuk itu telah ditandai-tangani perjanjian Sonario-Chou pada tanggal 22 April 1955. Dalam perjanjian itu ditentukan bahwa kepada semua orang Cina diwajibkan untuk melakukan pilihan dengan tegas dan secara tertulis, apakah akan tetap menjadi warga negara Republik Indonesia. Kesempatan untuk memilih itu dalam waktu dua tahun setelah perjanjian itu berlaku. Perjanjian ini kemudian menjadi Undang-Undang no. 2 tahun 1958. Oleh Pemerintah Orde Baru perjanjian ini kemudian dicabut dengan Undang-Undang no. 4 tahun 1969 tanggal 10 April 1969. Dalam pasal-pasal 2, 3 dan 4 Undang-Undang tersebut ditentukan bahwa bagi mereka yang menurut perjanjian dwi kewarganegaraan tersebut telah menjadi warga negara Indonesia, tetap menjadi warga negara Indonesia, dan demikian pula dengan anak-anaknya yang telah dewasa, dan selanjutnya mereka tunduk kepada Undang-Undang no. 62 tahun 1958.
Undang-Undang no. 62 tahun 1958 tentang ’’Kewarganegaraan Republik Indonesia” yang diundangkan pada tanggal 1 Agustus 1958, sebagai pelaksanaan dari pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1950 berlaku, legislatif mampu untuk menyusun suatu Undang-Undang tentang kewarganegaraan.
Berlainan dengan Undang-Undang no. 3 tahun 1946 dan Persetujuan Prihal Pembagian Warga Negara yang menganut azas ius soli dalam menentukan kewarganegaraan, maka Undang-Undang no. 62 tahun 1958 menitik beratkan pada azas ius sanguinis, walaupun dalam hal-hal tertentu masih memakai azas ius soli. Dasar pertimbangan bahwa azas ius sanguinis yang dipakai dapat dibaca dari Penjelasan Umum Undang-Undang tersebut yang menyebutkan bahwa ’’keturunan dipakai sebagai suatu dasar adalah lazim. Sudah sewajarnya suatu negara menganggap seorang anak sebagai warga negaranya di mana pun ia dilahirkan, apabila orang tua anak itu warga negara dari negara itu.” Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 1 huruf b, c, d dan e, yang kesemuanya menentukan, bahwa seseorang anak adalah warga negara Indonesia karena kedua orang tuanya atau salah seorang dari orang tuanya berkewarganegaraan Indonesia.
Di atas telah dijelaskan bahwa azas ius soli dipakai sebagai dasar untuk menentukan kewarganegaraan oleh Undang-Undang tersebut adalah sebagai kekecualian, karena azas ini hanya khusus untuk mereka atau anak-anak yang lahir di wilayah Indonesia yang baik kedua orang tuanya tidak diketahui, atau orang tuanya tidak mempunyai kewarganegaraan atau mungkin belum mendapat kewarganegaraan dari negara orang tuanya, hal ini diatur dalam pasal 1 huruf f, g, h dan i.
Di muka telah dijelaskan bahwa untuk mencegah timbulnya bipatride maka dalam Undang-Undang tentang kewarganegaraan harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan timbulnya bipatride. Dan kalau diperhatikan Undang-Undang no. 62 tahun 1958 maka jelas, bahwa Undang-Undang ini juga ber-usaa untuk mencegah timbulnya bipatride, umpamanya bagi orang asing yang ingin menjadi warganegara dengan jalan naturalisasi, disyaratkan bahwa dengan memperoleh kewarganegaraan Indonesia, orang tersebut tidak akan menjadi bipatride, artinya dia benar-benar harus melepaskan kewargenegaraan asalnya, atau bagi seorang anak yang lahir dari perkawinan seorang ibu yang berkewarganegaraan Indonesia dengan orang asing, yang kemudian bercerai, atau dilahirkan di luar perkawinan di mana ibunya warga negara Indonesia, mengikuti kewarganegaraan ayahnya, setelah berusia delapanbelas tahun dapat mengajukan permohonan untuk menjadi warga negara Indonesia dengan syarat bahwa setelah menjadi warga negara Indonesia, yang bersangkutan tidak mempunyai kewarganegaraan negara lain, dan sebagainya.
Demikian pula Undang-Undang tersebut juga berusaha untuk mencegah timbulnya apatride. Hal ini dapat ditunjukkan dengan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang tersebut. Bahwa pada umumnya seorang anak mengikuti kewarganegaraan bapaknya. Dalam hal antara anak dan bapaknya tidak ada hubungan, maka si anak mengikuti kewarganegaraan ibunya. Agar jangan sampai terjadi tanpa kewarganegaraan bagi anak-anak yang lahir di Indonesia sedangkan orang tuanya tidak diketahui atau orang tuanya tidak mempunyai kewarganegaraan, maka oleh Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa mereka adalah warga negara Indonesia. Dan salah satu kegunaan dipakai azas ius soli adalah untuk mencegah apatride. Begitu pula bagi perempuan warganega-ra Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing, baru dapat meninggalkan kewarganegaraan Indonesianya apabila jelas bahwa negara asal suaminya memungkinkan bagi dia untuk mendapatkan kewarganegaraan. Kalau tidak demikian, maka kemungkinan perempuan Indonesia tadi akan menjadi apatride, sebab dia telah terlanjur meninggalkan kewarganegaraan Indonesia, sementara itu negara asal suaminya tidak memungkinkan bagi dia memperoleh kewarganegaraan.
Dengan kembali berlaku Undang-Undang Dasar 1945, pada tanggal 5 Juli 1959 oleh Dekrit Presiden, maka Undang-Undang no. 62 tahun 1958 ini tetap berlaku berdasarkan Aturan Peralihan pasal II Undang-Undang Dasar 1945. Karena Undang-Undang tersebut adalah dalam rangka melaksanakan Undang-Undang Dasar 1950 yang sistim pemerintahannya parlementer, maka untuk berlaku di bawah Undang-Undang Dasar 1945 hal-hal yang menjadi ciri dari keparlementeran tersebut harus disesuaikan dengan sistim pemerintahan presidensiil yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945. Antara lain, bahwa Menteri Kehakiman yang berwenang untuk memutuskan suatu permohonan naturalisasi setelah mendapat persetujuan dari Dewan Menteri. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 eksekutif hanyalah Presiden dan Menteri-menteri adalah Pembantu Presiden, dan tidak dikenal adalah istilah Dewan Menteri. Karena itu pasal yang menyebutkan demikian harus dibaca bahwa naturalisasi diputuskan oleh Presiden. Dan kalau Menteri Kehakiman yang menandatangani Surat Keputusannya harus diartikan bahwa Menteri Kehakiman bertindak atas nama Presiden.
Naturalisasi (pewarganegaraan) adalah suatu cara untuk mem-pero leh kewarganegaraan Indonesia. Adalah sudah sewajarnya dibuka kemungkinan bagi orang asing yang sungguh-sungguh ingin menjadi warga negara Indonesia, namun tentu saja kepentingan Negara dan Bangsa Indonesia juga harus diperhatikan, dan karenanya dalam setiap Undang-Undang dapat dilihat bahwa pewar-genegaraan ini adalah kebijaksanaan eksekutif, demikian pendapat Undang-Undang no. 62 tahun 1958. Tetapi tidak demikian halnya dengan pendapat pembuat Undang-Undang no.3 tahun 1946 yang beranggapan bahwa pewarganegaraan tidak hanya merupakan tindakan eksekutif saja tetapi harus a ada persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Apakah pewarganegaraan itu hanya merupakan tindakan eksekutif saja, ataukah harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, kedua-duanya bertujuan agar pewarganegaraan ini benar-benar mend?*# i pertimbangan yang cermat dan teliti, sehingga kelak kepentingan Negara dan Ban^a Indonesia tidak dirugikan.
Naturalisasi dalam praktek dapat dibagi dua, yaitu pertama karena yang bersangkutan mengajukan permohonan, dan yang kedua dap&t diberikan dengan alasan kepentingan Negara atau telah berjasa untuk Negara. Pada naturalisasi cara pertama, seperti telah dijelaskan di muka, bahwa menurut Undang-Undang no. 3 tahun 1946 naturalisasi itu diperoleh dengan berlakunya Undang-Undang yang memberikan naturalisasi itu (pasal 5 ayat (1)). Ini berarti bahwa setiap kali ada naturalisasi harus dibicarakan terlebih dahulu dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak keberatan dengan permohonan itu, maka harus dinyatakan dalam Undang-Undang. Tidak jelas apa yangmenyebabkan pembuat Undang-Undang tersebut berpendapat demikian. Sebaliknya Undang-Undang no. 62 tahun 1958 menyatakan bahwa naturalisasi ini semata-mata tindakan dari eksekutif. Dan karena merupakan kebijaksanaan pemerintah, maka tidak perlu diminta persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat, namun Menteri Kehakiman tidak dapat memutuskan tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Menteri. Sedangkan naturalisasi macam yang kedua, baik Undang-Undang no. 3 tahun 1946 maupun Undang-Undang no. 62 tahun 1958. sama-sama mengatur bahwa pewarganegaraan yang diberikan dengan alasan kepentingan atau berjasa untuk negara harus diminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat terlebih dahulu. Dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat pada akhirnya harus dalam bentuk Undang-Undang. Bahwa hai itu harus demikian dapat dimengerti, karena seharusnyalah wakil-wakil rakyat mengetahui sejauh manakah kepentingan Negara tersangkut, sehingga seorang asing dapat diberikan kewarganegaraan Indonesia, atau sejauh manakah jasa dan orang yang bersangkutan untuk negara Indonesia.
Di samping suatu Undang-Undang tentang kewarganegaraan mengatur siapa yang disebut warga negara Indonesia, dan cara bagaimanakah memperoleh kewarganegaraan Indonesia, maka tentu diatur pula hal-hal yang menyebabkan warga negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya. Umpamanya karena mendapat kewarganegaraan Negara lain, atau menjadi pegawai atau tentara negara lain tanpa izin dari Presiden, atau karena perkawinan bagi seorang perempuan warga negara Indonesia dengan laki-laki warganegara lain, dan se bagainya.
Walaupun Undang-Undang no. 62 tahun 1958 tersebut adalah produk pemerintahan di bawah Undang-Undang Dasar 1950 yang berlaku terus di bawah Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Aturan Peralihan pasal II, namun Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat belum melihat untuk membuat atau merobah Undang-Undang tersebut sampai sekarang.
Pernyataan yang dimaksud di atas harus sudah disampaikan kepada Menteri Kehakiman paling lambat dalam waktu satu tahun sejak berlakunya Undang-Undang no. 3 tahun 1946 tersebut. Karena terlalu sedikit orang yang mengajukan pernyataan tersebut, maka oleh Undang-Undang no. 8 tahun 1947 diberikan perpanjangan waktu sampai tanggal 10 April 1948. Hal ini sebenarnya dapat dimengerti karena Republik Indonesia pada waktu itu masih dalam peperangan dengan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Keadaan ini berjalan terus sampai terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat.
Setelah terbentuknya Republik Indonesia Serikat, maka pembuat Undang-Undang Dasar 1949 juga menyadari, bahwa adalah tidak mungkin untuk mengatur masalah kewarganegaraan dalam Undang-Undang Dasar. Karena itu pasal 5 dari Undang-Undang Dasar 1949 menentukan, bahwa kewarganegaraan Republik Indonesia Serikat diatur dengan Undang-Undang. Menyadari pula, bahwa adalah tidak mungkin membuat Undang-Undang dalam waktu yang singkat, maka pasal 194 Undang-Undang Dasar 1949 menentukan, bahwa sambil menunggu Undang-Undang sebagai yang dimaksud oleh pasal 5 tersebut, maka yang sudah menjadi warga negara Republik Indonesia Serikat adalah orang-orang yang menurut persetujuan Prihal Pembagian Warga Negara antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda, mempunyai kewarganegaraan Indonesia.
Persetujuan Prihal Pembagian Warga Negara tersebut adalah sebagian dari hasil Konperensi Meja Bundar antara Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia Serikat. Ada tiga hal yang penting dalam persetujuan tersebut.
1. Orang Belanda yang tetap memegang teguh kewarganegaraan Belanda. Tetapi terhadap turunannya yang lahir atau bertempat tinggal di Indonesia sekurang-kurangnya enam bulan sebelum tanggal 27 Desember 1949, dalam waktu dua tahun setelah penyerahan kedaulatan dapat menyatakan memilih kewarganegaraan Indonesia. Di sini keturunan Belanda itu diberi kesempatan untuk memilih kewarganegaraan Indonesia, dan ini dinamakan hak opsi (hak untuk memilih kewarganegaraan). Dan pemilihan kewarganegaraan di sini disebut tindakan aktif, sebagai lawan dari tindakan pasif dalam hak repudiasi.
2. Orang-orang yang tergolong sebagai kawuianegara Belanda dari golongan Indonesia aseli, yang berada di Indonesia memperoleh kewarganegaraan Indonesia, kecuali mereka yang bertempat tinggal di Suriname atau Antillen Belanda dan dilahirkan di wilayah Kerajaan Belanda, yang kemudian juga dapat memilih kewarganegaraan Indonesia.
3. Orang-orang — yang menganut sistim hukum Hindia Belanda dulu termasuk golongan Timur Asing — Kawulanegara Belanda keturunan asing yang bukan berstatus orang Belanda, yaitu dikenal dengan golongan Arab dan Cina, maka terhadap mereka terdapat dua kemungkinan yaitu jika bertempat tinggal di Belanda, mereka tetap berkewarganega-raan Belanda. Mereka yang dinyatakan sebagai warga negara Indonesia, dapat menyatakan penolakannya dalam waktu dua tahun.
Dari uraian di muka jelaslah, bahwa untuk menentukan siapa yang menjadi warga negara Indonesia, Persetujuan Prihal Pembagian Warga Negara tersebut menganut azas ius soli, karena baik bagi orang Indonesia aseli, Arab, Cina dan keturunan Belanda yang menjadi Warganegara Indonesia ditentukan pertama, bahwa mereka tersebut lahir atau telah bertempat tinggal untuk waktu tertentu di Indonesia.
Apabila diperhatikan isi Undang-Undang no. 3 tahun 1946 dan Persetujuan Prihal Pembagian Warga Negara akan ternyata, bahwa terdapat ketidak tegasan dari dalam peranakan Belanda. Arab dan Cina, berdasarkan Undang-Undang no. 3 tahun 1946 telah menjadi warga negara Indonesia dengan tidak mengajukan penolakan seperti diharuskan, sekarang oleh Persetujuan Prihal Pembagian Warga Negara, mereka belum dianggap sebagai warga negara Indonesia sampai mereka mengadakan pilihan.
Untunglah ketidak tegasan ini hanya berjalan selama kurang lebih enam bulan dengan berlakunya Undang-Undang Dasar 1950 sama dengan dua Undang-Undang Dasar sebelumnya menyadari akan lebih baik masalah kewarganegaraan ini diatur dengan Undang-Undang saja. Karena itu dalam pasal 5 ayat (l)ditentukan bahwa kewarganegaraan Repbulik Indonesia diatur dengan Undang-undang. Dan sementara badan legislatif menyusun Undang-Undang dimaksud, maka oleh ketentuan peralihan pasal 144 ditentukan, bthwa yang dimaKsua aku y a*, g menjadi wa^2
negara Republik Indonesia ialah mereka yang berdasarkan Undang-Undang no. 3 tahun 1946 dan Persetujuan Prihal Pembagian Warga Negara, sudah menjadi warga negara Indonesia.
Walaupun oleh Persetujuan Prihal Pembagian Warga Negara telah diberikan kesempatan kepada khususnya golongan Cina untuk memilih warga negara Indonesia, tidaklah berarti, bahwa mereka telah sepenuhnya berkewarganegaraan Indonesia, karena Undang-Undang kewarganegaraan Republik Rakyat Cina pada waktu itu menganut azas ius sanguinis. Dan seperti telah dijelaskan di atas, baik Undang-Undang no. 3 tahun 1946 maupun Persetujuan Prihal Pembagian Warga Negara menganut azas ius soli. Menujrut Penjelasan di muka bahwa apabila terjadi dua azas yang bertentangan ini akan menimbulkan bipatride (dwi kewarganegaraan). Dan memang pada waktu itu banyak terjadi dwi kewarganegaraan atas golongan Cina.
Seperti telah dijelaskan di muka, bahwa satu-satunya usaha untuk memperoleh pemecahan adalah mengadakan perjanjian antara negara yang bersangkutan. Dan untuk itu telah ditandai-tangani perjanjian Sonario-Chou pada tanggal 22 April 1955. Dalam perjanjian itu ditentukan bahwa kepada semua orang Cina diwajibkan untuk melakukan pilihan dengan tegas dan secara tertulis, apakah akan tetap menjadi warga negara Republik Indonesia. Kesempatan untuk memilih itu dalam waktu dua tahun setelah perjanjian itu berlaku. Perjanjian ini kemudian menjadi Undang-Undang no. 2 tahun 1958. Oleh Pemerintah Orde Baru perjanjian ini kemudian dicabut dengan Undang-Undang no. 4 tahun 1969 tanggal 10 April 1969. Dalam pasal-pasal 2, 3 dan 4 Undang-Undang tersebut ditentukan bahwa bagi mereka yang menurut perjanjian dwi kewarganegaraan tersebut telah menjadi warga negara Indonesia, tetap menjadi warga negara Indonesia, dan demikian pula dengan anak-anaknya yang telah dewasa, dan selanjutnya mereka tunduk kepada Undang-Undang no. 62 tahun 1958.
Undang-Undang no. 62 tahun 1958 tentang ’’Kewarganegaraan Republik Indonesia” yang diundangkan pada tanggal 1 Agustus 1958, sebagai pelaksanaan dari pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1950 berlaku, legislatif mampu untuk menyusun suatu Undang-Undang tentang kewarganegaraan.
Berlainan dengan Undang-Undang no. 3 tahun 1946 dan Persetujuan Prihal Pembagian Warga Negara yang menganut azas ius soli dalam menentukan kewarganegaraan, maka Undang-Undang no. 62 tahun 1958 menitik beratkan pada azas ius sanguinis, walaupun dalam hal-hal tertentu masih memakai azas ius soli. Dasar pertimbangan bahwa azas ius sanguinis yang dipakai dapat dibaca dari Penjelasan Umum Undang-Undang tersebut yang menyebutkan bahwa ’’keturunan dipakai sebagai suatu dasar adalah lazim. Sudah sewajarnya suatu negara menganggap seorang anak sebagai warga negaranya di mana pun ia dilahirkan, apabila orang tua anak itu warga negara dari negara itu.” Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 1 huruf b, c, d dan e, yang kesemuanya menentukan, bahwa seseorang anak adalah warga negara Indonesia karena kedua orang tuanya atau salah seorang dari orang tuanya berkewarganegaraan Indonesia.
Di atas telah dijelaskan bahwa azas ius soli dipakai sebagai dasar untuk menentukan kewarganegaraan oleh Undang-Undang tersebut adalah sebagai kekecualian, karena azas ini hanya khusus untuk mereka atau anak-anak yang lahir di wilayah Indonesia yang baik kedua orang tuanya tidak diketahui, atau orang tuanya tidak mempunyai kewarganegaraan atau mungkin belum mendapat kewarganegaraan dari negara orang tuanya, hal ini diatur dalam pasal 1 huruf f, g, h dan i.
Di muka telah dijelaskan bahwa untuk mencegah timbulnya bipatride maka dalam Undang-Undang tentang kewarganegaraan harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan timbulnya bipatride. Dan kalau diperhatikan Undang-Undang no. 62 tahun 1958 maka jelas, bahwa Undang-Undang ini juga ber-usaa untuk mencegah timbulnya bipatride, umpamanya bagi orang asing yang ingin menjadi warganegara dengan jalan naturalisasi, disyaratkan bahwa dengan memperoleh kewarganegaraan Indonesia, orang tersebut tidak akan menjadi bipatride, artinya dia benar-benar harus melepaskan kewargenegaraan asalnya, atau bagi seorang anak yang lahir dari perkawinan seorang ibu yang berkewarganegaraan Indonesia dengan orang asing, yang kemudian bercerai, atau dilahirkan di luar perkawinan di mana ibunya warga negara Indonesia, mengikuti kewarganegaraan ayahnya, setelah berusia delapanbelas tahun dapat mengajukan permohonan untuk menjadi warga negara Indonesia dengan syarat bahwa setelah menjadi warga negara Indonesia, yang bersangkutan tidak mempunyai kewarganegaraan negara lain, dan sebagainya.
Demikian pula Undang-Undang tersebut juga berusaha untuk mencegah timbulnya apatride. Hal ini dapat ditunjukkan dengan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang tersebut. Bahwa pada umumnya seorang anak mengikuti kewarganegaraan bapaknya. Dalam hal antara anak dan bapaknya tidak ada hubungan, maka si anak mengikuti kewarganegaraan ibunya. Agar jangan sampai terjadi tanpa kewarganegaraan bagi anak-anak yang lahir di Indonesia sedangkan orang tuanya tidak diketahui atau orang tuanya tidak mempunyai kewarganegaraan, maka oleh Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa mereka adalah warga negara Indonesia. Dan salah satu kegunaan dipakai azas ius soli adalah untuk mencegah apatride. Begitu pula bagi perempuan warganega-ra Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing, baru dapat meninggalkan kewarganegaraan Indonesianya apabila jelas bahwa negara asal suaminya memungkinkan bagi dia untuk mendapatkan kewarganegaraan. Kalau tidak demikian, maka kemungkinan perempuan Indonesia tadi akan menjadi apatride, sebab dia telah terlanjur meninggalkan kewarganegaraan Indonesia, sementara itu negara asal suaminya tidak memungkinkan bagi dia memperoleh kewarganegaraan.
Dengan kembali berlaku Undang-Undang Dasar 1945, pada tanggal 5 Juli 1959 oleh Dekrit Presiden, maka Undang-Undang no. 62 tahun 1958 ini tetap berlaku berdasarkan Aturan Peralihan pasal II Undang-Undang Dasar 1945. Karena Undang-Undang tersebut adalah dalam rangka melaksanakan Undang-Undang Dasar 1950 yang sistim pemerintahannya parlementer, maka untuk berlaku di bawah Undang-Undang Dasar 1945 hal-hal yang menjadi ciri dari keparlementeran tersebut harus disesuaikan dengan sistim pemerintahan presidensiil yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945. Antara lain, bahwa Menteri Kehakiman yang berwenang untuk memutuskan suatu permohonan naturalisasi setelah mendapat persetujuan dari Dewan Menteri. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 eksekutif hanyalah Presiden dan Menteri-menteri adalah Pembantu Presiden, dan tidak dikenal adalah istilah Dewan Menteri. Karena itu pasal yang menyebutkan demikian harus dibaca bahwa naturalisasi diputuskan oleh Presiden. Dan kalau Menteri Kehakiman yang menandatangani Surat Keputusannya harus diartikan bahwa Menteri Kehakiman bertindak atas nama Presiden.
Naturalisasi (pewarganegaraan) adalah suatu cara untuk mem-pero leh kewarganegaraan Indonesia. Adalah sudah sewajarnya dibuka kemungkinan bagi orang asing yang sungguh-sungguh ingin menjadi warga negara Indonesia, namun tentu saja kepentingan Negara dan Bangsa Indonesia juga harus diperhatikan, dan karenanya dalam setiap Undang-Undang dapat dilihat bahwa pewar-genegaraan ini adalah kebijaksanaan eksekutif, demikian pendapat Undang-Undang no. 62 tahun 1958. Tetapi tidak demikian halnya dengan pendapat pembuat Undang-Undang no.3 tahun 1946 yang beranggapan bahwa pewarganegaraan tidak hanya merupakan tindakan eksekutif saja tetapi harus a ada persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Apakah pewarganegaraan itu hanya merupakan tindakan eksekutif saja, ataukah harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, kedua-duanya bertujuan agar pewarganegaraan ini benar-benar mend?*# i pertimbangan yang cermat dan teliti, sehingga kelak kepentingan Negara dan Ban^a Indonesia tidak dirugikan.
Naturalisasi dalam praktek dapat dibagi dua, yaitu pertama karena yang bersangkutan mengajukan permohonan, dan yang kedua dap&t diberikan dengan alasan kepentingan Negara atau telah berjasa untuk Negara. Pada naturalisasi cara pertama, seperti telah dijelaskan di muka, bahwa menurut Undang-Undang no. 3 tahun 1946 naturalisasi itu diperoleh dengan berlakunya Undang-Undang yang memberikan naturalisasi itu (pasal 5 ayat (1)). Ini berarti bahwa setiap kali ada naturalisasi harus dibicarakan terlebih dahulu dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak keberatan dengan permohonan itu, maka harus dinyatakan dalam Undang-Undang. Tidak jelas apa yangmenyebabkan pembuat Undang-Undang tersebut berpendapat demikian. Sebaliknya Undang-Undang no. 62 tahun 1958 menyatakan bahwa naturalisasi ini semata-mata tindakan dari eksekutif. Dan karena merupakan kebijaksanaan pemerintah, maka tidak perlu diminta persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat, namun Menteri Kehakiman tidak dapat memutuskan tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Menteri. Sedangkan naturalisasi macam yang kedua, baik Undang-Undang no. 3 tahun 1946 maupun Undang-Undang no. 62 tahun 1958. sama-sama mengatur bahwa pewarganegaraan yang diberikan dengan alasan kepentingan atau berjasa untuk negara harus diminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat terlebih dahulu. Dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat pada akhirnya harus dalam bentuk Undang-Undang. Bahwa hai itu harus demikian dapat dimengerti, karena seharusnyalah wakil-wakil rakyat mengetahui sejauh manakah kepentingan Negara tersangkut, sehingga seorang asing dapat diberikan kewarganegaraan Indonesia, atau sejauh manakah jasa dan orang yang bersangkutan untuk negara Indonesia.
Di samping suatu Undang-Undang tentang kewarganegaraan mengatur siapa yang disebut warga negara Indonesia, dan cara bagaimanakah memperoleh kewarganegaraan Indonesia, maka tentu diatur pula hal-hal yang menyebabkan warga negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya. Umpamanya karena mendapat kewarganegaraan Negara lain, atau menjadi pegawai atau tentara negara lain tanpa izin dari Presiden, atau karena perkawinan bagi seorang perempuan warga negara Indonesia dengan laki-laki warganegara lain, dan se bagainya.
Walaupun Undang-Undang no. 62 tahun 1958 tersebut adalah produk pemerintahan di bawah Undang-Undang Dasar 1950 yang berlaku terus di bawah Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Aturan Peralihan pasal II, namun Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat belum melihat untuk membuat atau merobah Undang-Undang tersebut sampai sekarang.
No comments:
Post a Comment
Aturan Berkomentar :
1. Menggunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang Berkomentar spam, flood, junk, iklan, sara, sex dsb.(Komentar Akan Saya Hapus)
3. Silahkan gunakan OpenID untuk mempermudah blogwalking