Hukum waris menurut BW
Hukum waris
menurut konsepsi hukum perdata Barat yang bersumber pada BW, merupakan bagian
dari hukum harta kekayaan. Oleh karena itu, hanyalah hak dan kewajiban yang
berwujud harta kekayaan yang merupakan warisan dan yang akan diwariskan. Hak
dan kewajiban dalam hukum publik, hak dan kewajiban yang timbul dari kesusilaan
dan kesopanan tidak akan diwariskan, demikian pula halnya dengan hak dan
kewajiban yang timbul dari hubungan hokum keluarga, ini juga tidak dapat
diwariskan. Kiranya akan lebih jelas apabila kita memperhatikan rumusan hukum
waris yang diberikan oleh Pitlo di bawah ini, rumusan tersebut
menggambarkan bahwa hukum waris merupakan bagian dari kenyataan, yaitu :
“Hukum waris
adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya
seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati
dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam
hubungan antar mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan
pihak ketiga”.
Adapun
kekayaan yang dimaksud dalam rumusan di atas adalah sejumlah harta kekayaan
yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan
pasiva. Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli
warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi hanya karena kematian. Oleh karena
itu, pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi tiga persyaratan, yaitu :
- ada seseorang yang meninggal dunia;
- ada seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia;
- ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.
Dalam hukum waris menurut BW berlaku
suatu asas bahwa “apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga
segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya”. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang beralih pada ahli
waris adalah sepanjang termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan atau hanya
hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.
Yang merupakan ciri khas hukum waris
menurut BW antara lain “adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing
untuk sewktu-waktu menuntut pembagian dari harta warisan”.
Ini berarti, apabila seorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di
depan pengadilan, tuntutan tersebut tidak dapt ditolak oleh ahli waris yang
lainnya. Ketentuan ini tertera dalam pasal 1066 BW, yaitu:
- Seseorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta peninggalan tidak dapat dipaksa untuk memberikan harta benda peninggalan dalam keadaan tidak terbagi-bagi di antara para ahli waris yang ada;
- Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada perjanjian yang melarang hal tersebut;
- Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dapat saja dilakukan hanya untuk beberapa waktu tertentu;
- Perjanjian penagguhan pembagian hanya berlaku mengikat selama lima tahun, namun dapat diperbaharui jika masih dikehendaki oleh para pihak.
Dari ketentuan pasal 1066 BW tentang
pemisahan harta peninggalan dan akibat-akibatnya itu, dapat dipahami bahwa
system hukum waris menurut BW memiliki ciri khas yang berbeda dari hukum waris
yang lainnya. Ciri khas tersebut di antaranya hokum waris menurut BW
menghendaki agar harta peninggalan seorang pewaris secepat mungkin dibagi-bagi
kepada mereka yang berhak atas harta tersebut. Kalau pun hendak dibiarkan tidak
terbagi, harus terlebih dahulu melalui persetujuan seluruh ahli waris.
Warisan dalam sistem hukum waris BW
Berbeda
dengan sistem hukum adat tentang warisan, menurut kedua sistem hukum di atas
yang dimaksud dengan warisan atau harta peninggalan adalah sejumlah harta benda
kekayaan pewaris dalam keadaan bersih. Artinya, setelah dikurangi dengan
pembayaran hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh
meninggalnya pewaris. Oleh karena itu, harta yang diterima oleh ahli waris
menurut sistem hukum Islam dan sistem hukum adat itu benarbenar hak mereka yang
bebas dari tuntutan kreditur pewaris.
Sedangkan
warisan dalam sistem hukum perdata barat yang bersumber pada BW itu meliputi
seluruh harta benda beserta hak-hak dan kewajiban-kewajiban pewaris dalam
lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Akan tetapi
terhadap ketentuan tersebut ada beberapa pengecualian, dimana hak-hak dan
kewajibankewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan ada juga yang tidak dapat
beralih kepada ahli waris, antara lain:
- Hak memungut hasil (vruchtgebruik);
- Perjanjian perburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan bersifat pribadi;
- Perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk maatschap menurut BW maupun firma menurut WvK, sebab perkongsian ini berakhir dengan meninggalnya salah seoranganggota/persero.
Pengecualian lain terdapat pula,
yaitu ada beberapa hak yang walaupun hak itu terletak dalam lapangan hukum
keluarga, akan tetapi dapat diwariskan kepada ahli waris pemilik hak tersebut,
yaitu:
- Hak seorang ayah untuk menyangkal sahnya seorang anak;
- Hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak yang sah dari bapak atau ibunya.
Di atas telah dikemukakan bahwa
kematian seseorang menurut BW mengakibatkan peralihan segala hak dan kewajiban
pada seketika itu juga kepada ahli warisnya. Hal ini secara tegas disebutkan
dalam pasal 833 ayat (1) BW, yaitu “sekalian ahli waris dengan sendirinya
karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak, dan segala piutang
dari yang meninggal”. Peralihan hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia
kepada ahli warisnya disebut “saisine”. Adapun yang
dimaksud dengan saisine yaitu:
“Ahli waris memperoleh segala hak
dan kewajiban dari yang meninggal dunia tanpa memerlukan suatu tindakan
tertentu, demikian pula bila ahli waris tersebut belum mengetahui tentang
adanya warisan itu.”
Sistem waris BW tidak mengenal
istilah “harta asal maupun harta gono-gini” atau harta yang diperoleh bersama
dalam perkawinan, sebab harta warisan dalam BW dari siapa pun juga, merupakan
“kesatuan” yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari
tangan peninggal warisan/pewaris ke ahli warisnya.
Artinya, dalam BW tidak dikenal
perbedaan pengaturan atas dasar macam atau asal barang-barang yang ditinggalkan
pewaris. Seperti yang ditegaskan dalam pasal 849 BW yaitu “Undang-undang tidak
memandang akan sifat atau asal dari pada barang-barang dalam suatu peninggalan
untuk mengatur pewarisan terhadapnya”. Sistem hukum waris BW mengenal sebaliknya
dari sistem hukum waris adat yang membedakan “macam” dan “asal” barang yang
ditinggalkan pewaris. .
Pewaris dan dasar hukum mewaris
Pewaris adalah seseorang yang
meninggal dunia, baik laki-laki maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah
harta kekayaan maupun hak-hak yang diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang
harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat
wasiat.
Dasar hukum seseorang ahli waris
mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sisten hukum waris BW ada dua cara,
yaitu:
Undang-undang telah menentukan bahwa
untuk melanjutkan kedudukan hukum seseorang yang meninggal, sedapat mungkin
disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang-undang
berprinsip bahwa seseorang bebas untuk menentukan kehendaknya tentang harta
kekayaannya setelah ia meninggal dunia.
Di samping undang-undang, dasar
hukum seseorang mewarisi harta peninggalan pewaris juga melalui cara ditunjuk
dalam surat wasiat. Surat wasiat atau testamen adalah “suatu pernyataan tentang
apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia”. Sifat
utama surat wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku setelah pembuat surat
wasiat meninggal dan tidak dapat ditarik kembali. Selama pembuat surat wasiat
masih hidup, surat wasiat masih dapat diubah atau dicabut, sedangkan setelah
pembuat wasiat meninggal dunia surat wasiat tidak dapat lagi diubah, dicabut,
maupun ditarik kembali oleh siapa pun.
Seseorang dapat mewariskan sebagian
atau seluruhnya hartanya dengan surat wasiat. Apabila seseorang hanya
menetapkan sebagian dari hartanya melalui surat wasiat, maka sisanya merupakan
bagian ahli waris berdasarkan undang-undang (ahli waris ab intestato). Jadi,
pemberian seseorang pewaris berdasarkan surat wasiat tidak bermaksud untuk
menghapuskan hak untuk mewaris secara ab intestato.
Ahli waris menurut sistem BW dan Bagian masing-masing ahli
waris menurut BW
Undang-undang telah menetapkan
tertib keluarga yang menjadi ahli waris, yaitu: Isteri atau suami yang
ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut
undang undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah terdapat
empat golongan, yaitu:1. Bagian golongan pertama,2. Bagian golongan kedua,3. Bagian
golongan ketiga,4.Bagian golongan keempat.
Di atas telah dikemukakan bahwa BW
mengenal empat golongan ahli waris yang bergiliran berhak atas harta
peninggalan. Artinya, apabila golongan pertama masih ada, maka golongan kedua
dan seterusnya tidak berhak atas harta peninggalan, demikian pula jika golongan
pertama tidak ada sama sekali, yang berhak hanya golongan kedua, sedangkan
golongan ketiga dan keempat tidak berhak. Bagian masing-masing ahli waris
menurut BW adalah sebagai berikut:
a.
Bagian
golongan pertama yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke bawah,
yaitu anak-anak beserta keturunan mereka, dan janda atau duda yang hidup paling
lama, masing-masing memperoleh satu bagian yang sama. Jadi bila terdapat empat
orang anak dan janda, mereka masing-masing mendapat 1/5 bagian. Apabila salah
seorang anak telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris akan tetapi
mempunyai empat orang anak, yaitu cucu pewaris, maka bagian anak yang 1/5
dibagi di antara anak-anak yang menggantikan kedudukan ayahnya yang telah
meninggal itu (plaatsvervulling), sehingga masing-masing cucu memperoleh
1/20 bagian. Jadi hakikat bagian dari golongan pertama ini, jika pewaris hanya
meninggalkan seorang anak dan dua orang cucu, maka cucu tidak memperoleh
warisan selama anak pewaris masih ada, baru apabila anak pewaris itu telah
meninggal lebih dahulu dari pewaris, kedudukannya digantikan oleh anakanaknya
atau cucu pewaris.
b.
Bagian
golongan kedua yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke atas yaitu
orang tua, ayah dan ibu, serta saudara, baik laki-laki maupun perempuan beserta
keturunan mereka. Menurut ketentuan BW, baik ayah, ibu maupun sudara-saudara
pewaris masing-masing mendapat bagian yang sama. Akan tetapi bagian ayah dan
ibu senantiasa diistimewakan karena mereka tidak boleh kurang dari ¼ bagian
dari seluruh harta warisan. Jadi apabila terdapat tiga orang saudara yang
mewaris bersama-sama dengan ayah dan ibu, maka ayah dan ibu masing-masing akan
memperoleh ¼ bagian dari seluruh harta warisan. Sedangkan separoh dari harta
warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara, masing-masing dari mereka
akan memperoleh 1/6 bagian. Jika ibu atau ayah salah seorang sudah meninggal
dunia, yang hidup paling lama akan memperoleh bagian sebagai berikut:
-
½ (setengah)
bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama dengan seorang
saudaranya, baik lakilaki maupun perempuan, sama saja;
-
1/3 bagian
dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan dua orang
saudara pewaris;
-
¼
(seperempat) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama
dengan tiga orang atau lebih saudara pewaris.
Apabila ayah dan ibu semuanya sudah
meninggal dunia, maka harta peninggalan seluruhnya jatuh pada saudara-saudara
pewaris, sebagai ahli waris golongan dua yang masih ada. Apabila di antara
saudara-saudara yang masih ada itu ternyata hanya ada yang seayah atau seibu
saja dengan pewaris, maka harta warisan terlebih dahulu dibagi dua, bagian yang
satu bagian saudara seibu. Jika pewaris mempunyai saudara seayah dan seibu di
samping saudara kandung, maka bagian saudara kandung itu diperoleh dari dua
bagian yang dipisahkan tadi.
c. Bagian golongan ketiga yang meliputi
kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris, apabila pewaris sama
sekali tidak meninggalkan ahli waris golongan pertama maupun kedua. Dalam
keadaan seperti ini sebelum harta warisan dibuka, terlebih dahulu harus dibagi
dua (kloving). Selanjutnya separoh yang satu merupakan bagian sanak
keluarga dari pancer ayah pewaris, dan bagian yang separohnya lagi merupakan
bagian sanak keluarga dari pancer ibu pewaris. Bagian yang masing-masing
separoh hasil dari kloving itu harus diberikan pada kakek pewaris untuk
bagian dari pancer ayah, sedangkan untuk bagian dari pancer ibu harus diberikan
kepada nenek.
d. Bagian golongan keempat yang
meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping sampai derajat keenam, apabila
pewaris tidak meninggalkan ahli waris golongan ketiga sekalipun, maka cara
pembagiannya, bagian yang separoh dari pancer ayah atau dari pancer ibu jatuh
kepada saudarasaudara sepupu si pewaris yakni saudara sekakek atau saudara
senenek dengan pewaris.
Apabila dalam bagian pancer ibu sama
sekali tidak ada ahli waris sampai derajat keenam, maka bagian pancer ibu jatuh
kepada para ahli waris dari pancer ayah, demikian pula sebaliknya. Dalam pasal
832 ayat (2) BW disebutkan: ”Apabila ahli waris yang berhak atas harta peninggalan
sama sekali tidak ada, maka seluruh harta peninggalan jatuh menjadi milik
negara. Selanjutnya negara wajib melunasi hutang-hutang peninggal warisan,
sepanjang harta warisan itu mencukupi”.
Bagian warisan untuk anak yang lahir
di luar perkawinan antara lain diatur sebagai berikut :
-
1/3 dari
bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan mewaris
bersama-sama dengan anak yang sah serta janda atau duda yang hidup paling lama;
-
½ dari
bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan mewaris
bersama-sama dengan ahli waris golongan kedua dan golongan ketiga;
-
¾ dari
bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan mewaris
bersama-sama ahli waris golongan keempat, yaitu sanak keluarga pewaris sampai
derajat keenam.
-
½ dari
bagian anak sah, apabila ia mewaris hanya bersamasama dengan kakek atau nenek
pewaris, setelah terjadi kloving.
Jadi dalam hal demikian, bagian anak
yang lahir di luar nikah bukan ¾, sebab untuk ahli waris golongan keempat ini
sebelum warisan dibuka terlebih dahulu diadakan kloving/ dibagi dua,
sehingga anak yang lahir di luar nikah akan memperoleh ¼ dari bagian anak sah
dari separoh warisan pancer ayah dan ¼ dari bagian anak sah dari separoh
warisan pacer ibu, sehingga menjadi ½ bagian. Apabila pewaris sama sekali tidak
meninggalkan ahli waris sampai derajat keenam sedang yang ada hanya anak yang
lahir di luar nikah, maka harta peninggalan seluruhnya jatuh pada tangan anak
yang lahir di luar pernikahan, sebagai ahli waris satu-satunya.
Anak yang lahir dari zina dan anak
yang lahir dari orang tua yang tidak boleh menikah karena keduanya sangat erat
hubungan kekeluargaannya, menurut sistem BW sama sekali tidak berhak atas harta
warisan dari orang tuanya, anak-anak tersebut hanya berhak memperoleh bagian
sekedar nafkah untuk hidup seperlunya, (lihat Pasal 867 BW).
Peran Balai Harta Peninggalan dalam pembagian warisan
Apabila harta warisan telah terbuka
namun tidak seorang pun ahli waris yang tampil ke muka sebagai ahli waris, tak
seorang pun yang menolak warisan, maka warisan tersebut dianggap sebagai harta
warisan yang tidak terurus. Dalam keadaaan seperti ini, tanpa menunggu perintah
hakim, Balai Harta Peninggalan wajib mengurus harta peninggalan tersebut.
Pekerjaan pengurusan itu harus dilaporkan kepada kejaksaan negeri setempat.
Jika terjadi perselisihan tentang apakah suatu harta peninggalan tidak terurus
atau tidak, penentuan ini akan diputus oleh hakim.
Apabila dalam jangka waktu tiga
tahun terhitung mulai saat terbukanya warisan, belum juga ada ahli waris yang
tampil ke muka, Balai Harta Peninggalan akan memberikan pertanggung jawaban
atas pengurusan itu kepada negara. Selanjutnya harta peninggalan itu akan
diwarisi dan menjadi hak milik negara.
Ahli waris yang tidak patut menerima harta warisan
Undang-undang menyebut empat hal
yang menyebabkan seseorang ahli waris menjadi tidak patut mewaris karena
kematian, yaitu sebagai berikut:
a.
seorang ahli
warais yang dengan putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan membunuh
atau setidaktidaknya mencoba membunuh pewaris;
b.
seorang ahli
waris yang dengan putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan memfitnah
dan mengadukan pewarisbahwa pewaris difitnah melakukan kejahatan yang diancam
pidana penjara empat tahun atau lebih;
c.
ahli waris
yang dengan kekerasan telah nyata-nyata menghalangi atau mencegah pewaris untuk
membuat atau menarik kembali surat wasiat;
d.
seorang ahli
waris yang telah menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat.
http://www.slideshare.net/joehasan/hukum-waris-perdata-bw
No comments:
Post a Comment
Aturan Berkomentar :
1. Menggunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang Berkomentar spam, flood, junk, iklan, sara, sex dsb.(Komentar Akan Saya Hapus)
3. Silahkan gunakan OpenID untuk mempermudah blogwalking