BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Permasalahan
Perkawinan merupakan suatu peristiwa
yang suci dan sangat penting bagi kehidupan masyarakat, karena perkawinan tidak
hanya menyangkut hubungan antara pribadi calon suami isteri, melainkan
menyangkut hubungan antara keluarga dan masyarakat.
Perkawinan merupakan salah satu
sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk memperoleh keturunan. Keturunan
merupakan penerus keluarga. Dengan adanya perkawinan ini maka akan mengikat
hubungan antara pribadi suami isteri untuk membentuk suatu keluarga yang kekal
dan bahagia. Dalam budaya Asia, perkawinan akan mengikat hubungan antara
keluarga kedua belah pihak.
Di zaman globalisasi ini, kebutuhan
hidup masyarakat sangat meningkat. Kebutuhan yang meningkat ini membawa suatu
negara terbuka atau melakukan hubungan internasional dengan negara lain. Adanya
hubungan internasional ini telah membantu masyarakat memenuhi kebutuhannya.
Salah satunya adalah perkawinan. Yang lebih dikenal dengan perkawinan campuran.
Perkawinan campuran (beda
kewarganegaraan) telah merambah seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat.
Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan
yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah
perkenalan melalui internet, kemudian
bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah,
dan sahabat pena. .
Berkaitan dengan status hukum daan kedudukan
hukum anak dari hasil perkawinan campuran, mengingat diberlakukannya UU No. 12
Tahun 2006 menimbulkan konsekuensi-konsekunesi yang berbeda dengan
pundang-undang yang terdahulu.
Dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974, menyebutkan bahwa:
“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam
Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu
pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Dalam UU
No. 12 Tahun 2006 ini, mengenal adanya dwi-kewarganegaraan terbatas bagi anak
yang lahir dari perkawinan campuran. Sedangkan, UU No. 62 Tahun 1958 hanya
mengenal kewarganegaraan tunggal dan kewarganegaraan anak hanya boleh mengikuti
kewarganegaraan ayah-nya. Hal ini, mengakibatkan pihak ibu tidak dapat
memperoleh hak asuh anak apabila terjadi perceraian.
Anak-anak
yang belum dewasa dan tidak di bawah kekuasaan orang tua harus ditaruh di bawah
perwalian menurut sistem Burgerlijk Wetboek. Setelah pihak orang tua
bercerai pun harus diadakan persediaan mengenai perwalian dari anak-anak mereka
yang masih di bawah umur.
B.
Identifikasi Masalah
Dengan lahirnya Undang-Undang No. 12
Tahun 2006, sangat menarik untuk dikaji bagaimana pengaruh lahirnya
undang-undang ini terhadap status hukum anak dari perkawinan campuran (beda
kewarganegaraan), berikut komparasinya terhadap undang-undang Kewarganegaraan
yang lama. Secara garis besar perumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
pengaturan status hukum anak yang lahir dari perkawinan campuran (beda
kewarganegaraan) sebelum dan sesudah lahirnya undang-undang Kewarganegaraan
yang baru?
2. Bagaimana
perlindungan hukum terhadap anak hasil perkawinan campuran (beda
kewarganegaraan) yang tidak tercatat?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis
status hukum anak yang lahir dari perkawinan campuran (beda kewarganegaraan)
sebelum dan sesudah lahirnya undang-undang Kewarganegaraan yang baru.
2.
Menganalisis perlindungan hukum terhadap anak hasil perkawinan campuran (beda
kewarganegaraan) yang tidak tercatat?
D.
Manfaat Penulisan
Manfaat yang akan diharapkan dari
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Secara
teoritis, diharapkan memberikan sumbangan pemikiran mengenai status hukum anak
dari hasil perkawinan campuran ditinjau dari sebelum dan sesudah lahirnya UU
No. 12 Tahun 2006 serta perlindungan terhadap anak yang lahir dari perkawinan
campuran (beda kewarganegaraan) yang
tidak tercatat pada khususnya.
2. Secara
praktis, diharapkan penulisan makalah ini dapat memberikan sumbangan terhadap
permasalahan-permasalahan yang timbul dan dihadapi pasangan-pasangan suami
isteri dalam perkawinan campuran (beda kewarganegaraan).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Tinjauan Tentang Perkawinan Campuran
1.
Pengertian Perkawinan Campuran
Jika diperhatikan kata-kata yang
dipakai oleh pembuat undang-undang waktu mengadakan interpretasi otentik
mengenai apa yang diartikan dengan istilah perkawinan
campuran (gemegde huwelijk),
dipergunakan perumusan yang luas: “Perkawinan dari orang-rang yang di Indonesia
tunduk kepada hukum yang berbeda adalah perkawinan campuran” (huwelijken tusschen personen, die in
Indonesie aan een verschillend recht onderwopen zijn, worden gemegde huwelijken
genoemd).
Sementara itu, Undang-Undang No.1
Tahun 1974 tentang perkawinan memberikan definisi yang sedikit berbeda dengan
definisi di atas. Adapun pengertian perkawinan campuran yang diatur dalam Pasal
57 Undang-Undang Perkawinan adalah:
“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam
Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu
pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Pasal 57 membatasi makna perkawinan
campuran pada perkawinan antara seorang warganegara RI dengan seorang yang
bukan warga negara RI, sehingga padanya termasuk perkawinan antara sesama warga
negara RI yang berbeda hukum dan antara sesama bukan warga negara RI.
Purnadi Purbacaraka dan Agus
Brotosusilo memberikan pengertian perkawinan internasional sebagai berikut: Perkawinan
Internasional adalah suatu perkawinan yang mengandung unsur using. Unsur using
tersebut bisa berupa seorang mempelai mempunyai kewarganegaraan yang berbeda
dengan mempelai lainnya, atau kedua mempelai sama kewarganegaraannya tetapi
perkawinannya dilangsungkan di negara lain atau gabungan kedua-duanya.
Perbedaan hukum yang ada telah
menyebabkan beberapa macam perkawinan campuran, yaitu:
a) Perkawinan Campuran Antar Golongan (Intergentiel)
Menerangkan
hukum mana atau hukum apa yang berlaku , kalau timbul perkawinan antara 2
orang, yang masing-masing sama atau berbeda kewarganegaraanya, yang tunduk
kepada peraturan hukum yang berlainan, Misalnya WNI asal Eropa kawin dengan
orang Indonesia asli.
b) Perkawinan Campuran Antar Tempat (Interlocal)
Mengatur
hubungan hukum (perkawinan) antara orang-orang Indonesia asli dari
masing-masing lingkungan adat. Misalnya, orang Batak kawin dengan orang Sunda.
c) Perkawinan Antar Agama (Interrelegius)
d) Mengatur hubungan hukum (perkawinan)
antara 2 orang yang masing-masing tunduk kepada peraturan hukum agama yang
berlainan. Misalnya orang Islam dengan orang Kristen.
Berkaitan dengan status sang istri
dalam perkawinan campuran, terdapat asas, yaitu:
a) Asas mengikuti.
Sang
istri mengikuti status hukum suami baik pada waktu perkawinan dilangsungkan
maupun kemudian setelah perkawinan berjalan.
b) Asas persamarataan.
Perkawinan
sama sekali tidak mempengaruhi kewarganegaraan seseorang, dalam arti mereka
masing-masing (suami dan istri) bebas menentukan sikap dalam menentukan
kewarganegaraan.
2.
Hubungan Orang Tua dan Anak
Orang tua mempunyai kekuasaan
tertentu atas anaknya. Kedua orang tua mernpunyai kewajiban untuk metnelihara
dan mendidik anaknya sebaik mungkin sampai anak tersebut kawin atau dianggap
dapat berdiri sendiri. Begitu pula sebaliknya, anak harus menghormati dan
mentaati kehendak orang tuanya. Orang tua juga wajib memberi nafkah kepada
anak-anaknya.
Bila terdapat perbedaan
kewarganegaraan antara orang tua dan anaknya maka harus dilakukan pemilihan
mengenai hukum yang menentukan status kewarganegaraan mereka. Menurut
Undang-Undang No.62 tahun 1958, status kewarganegaraan anak akan mengikuti
kewarganegaraan bapaknya. Seorang anak yang ayahnya adalah Warga Negara
Indonesia maka anak tersebut akan menjadi WNI Namun sebaliknya, bila anak
tersebut memiliki ayah yang WNA maka anak tersebut akan mengikuti status
kewarganegaraan bapaknya.
Masalah kedudukan anak yang lahir
dari perkawinan campuran diatur dalam Pasal 11 dan 12 Stb. 1898/158. Pasal 11
menyatakan bahwa kedudukan anak yang lahir dari perkawinan campuran adalah
mengikuti kedudukan hukum bapaknya. Keadaan demikian bahkan tidak dapat
dipertikaikan, walaupun surat nikah ayah ibu mereka ada kekurangan
syarat-syarat atau bahkan dalam hal tidak adanya surat nikah tersebut pun
kedudukan anak itu tidak dapat dipertikaikan asalkan pada lahirnya kedua orang
tua mereka itu secara terang hidup sebagai suami istri (Pasal 12).
Hubungan orang tua dan anak ini
termasuk dalam bidang onderlijke macht atau
kekuasaan orang tua. Di Indonesia, hubungan kedua orang tua dan anak ditentukan
oleh hukum sang ayah. Status anak sendiri dibagi dalam 2 bagian, yaitu:
a. Anak
yang sah, yaitu anak yang lahir dalam perkawinan orang tua.
b. Anak
tidak sah, dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu anak yan lahir dari hubungan incest,
anak yang lahir dari perzinahan, dan anak yang lahir di luar nikah.
B.
Tinjauan Tentang Kewarganegaraan
a. Pengertian
Kewarganegaraan
Kewarganegaraan merupakan hubungan
yang paling sering dan kadang-kadang hubungan satu-satunya antara seorang
individu dan suatu negara yang menjamin diberikannya hak-hak dan
kewajiban-kewajiban individu itu pada hukum internasional. Kewarganegaraan
dapat sebagai etudes keanggotaan kolektivitas individu-individu di mana
tindakan, keputusan dan kebijakan mereka diakui Melalui konsep hukum negara
yang mewakili individ- individu itu.
Kewarganegaraan menurut Pasal 1 ayat
(2) Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 tahun 2006 adalah segala ihwal yang
berhubungan dengan warga negara. Hak atas kewarganegaraan sangat penting
artinya karena merupakan bentuk pengakuan asasi suatu negara terhadap warga
negaranya. Adanya status kewarganegaraan ini akan memberikan kedudukan khusus
bagi seorang Warga Negara terhadap negaranya di mana mempunyai hak dan
kewajiban yang bersifat timbal balik dengan negaranya. Indonesia telah
memberikan perlindungan hak anak atas kewarganegaraan yang dicantumkan dalam
Pasal 5 Undang- Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, di mana
disebutkan bahwa setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan
status kewarganegaraan.
Dengan adanya hak atas
kewarganegaraan anak maka negara mempunyai kewajiban untuk melindungi anak sebagai
Warga Negaranya dan juga berkewajiban untuk menjamin pendidikan dan
perlindungan hak-hak anak lainnya
b. Prinsip
Dasar Kewarganegaraan
1. Asas
Ius Soli dan Ius Sanguinis
Asas ius soli adalah bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan menurut
tempat kelahirannya. Seseorang dianggap berstatus sebagai warga negara dari
negara A karena ia dilahirkan di negara A tersebut. Sementara itu, asas ius sanguinis dapat disebut sebagai asas
keturunan orang yang bersangkutan. Sesorang adalah warga negara A, karena orang
tuanya warga negara A. Asas ius sanguinis
dianut oleh negara yang tidak dibatasi oleh lautan seperti Eropa Kontinental
dan Cina.
Asas ius soli dianut oleh negara-negara migrasi seperti USA, Australia,
dan Kanada. Untuk sementara waktu asas ius soli menguntungkan, yaitu dengan
lahirnya anak-anak dari para imigran di negara tersebut maka putuslah hubungan
dengan negara asal. Namun dalam perjalanannya, banyak negara yang meninggalkan
asas ias soli, seperti Belanda, Belgia dan lain-lain.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang
Kewarganegaraan No.12 Tahun 2006 lebih memperhatikan asas-asas kewarganegaraan
yang bersifat umum atau universal, yaitu:
1. Asas
ius sanguinis (law of the blood), adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara
tempat kelahiran.
2. Asas
ius soli (law of the soil) secara terbatas, adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang, berdasarkan negara tempat kelahiran, yang
diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang.
3. Asas
kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi
setiap orang.
4. Asas
kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang.
2.
Asas Bipatride dan Apatride
Bipatride timbul ketika menurut peraturan-peraturan tentang kewarganegaraan
dari berbagai negara, seseorang sama-sama dianggap sebagai warga negara oleh
negara-negara yang bersangkutan. Contohnya, pasangan WNI melahirkan seorang
anak di Amerika Serikat (menganut asas ius
soli), Status anaknya diakui oleh hukum Amerika Serikat sebagai Warga
Negara Amerika Serikat, tetapi pada saat yang sama oleh hukum Indonesia juga
diakui sebagai WNI.
Apatride
terjadi apabila seorang anak yang negara orang tuanya menganut asas ius soli lahir di negara yang menganut ius sungunis. Contohnya, pasangan Warga
Negara Amerika Serikat melahirkan anak di Indonesia. Menurut hukum Amerika
Serikat anaknya berkewarganegaraan Indonesia, tetapi menurut Indonesia, anaknya
berkewarganegaraan Amerika Serikat bukan Indonesia.
C.
Tinjauan Tentang Anak
Definisi anak dalam pasal 1 ayat 1
UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah:
“Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
Anak dikategorikan sebagai subjek
hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap
karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan
perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan
bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada
dua yurisdiksi hukum yang berbeda.
Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang
lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU
Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan.
Menurut teori hukum perdata
internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang
tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan
pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan
hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak
dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan
ibunya.
Sejak dahulu diakui bahwa soal
keturunan termasuk status personal. Negara-negara common law berpegang pada
prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada
prinsip nasionalitas (ius sanguinis).
Umumnya yang dipakai ialah hukum
personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada
masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam
keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari
seorang istri dan hak-hak maritalnya.
Sistem kewarganegaraan dari ayah
adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya
Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara sosialis.
Dalam sistem hukum Indonesia,
Prof.Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi
kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang
mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht)
tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU
Kewarganegaraan No.62 tahun 1958.
Kecondongan pada sistem hukum ayah
demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga,
namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan
dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan
membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak
tersebut masih dibawah umur.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengaturan Tentang Status Anak dari Hasil Perkawinan
Campuran
1. Pengaturan
Status Anak dari Hasil Perkawinan Campuran Berdasarkan Hukum Perdata
Internasional
Menurut
teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan
antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai
persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak
memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah,
sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan
hukum dengan ibunya.
Sejak
dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal. Negara-negara
common law berpegang pada prinsip domisili (ius
soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas
(ius sanguinis). Umumnya yang dipakai
ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah
keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan
demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang
istri dan hak-hak maritalnya.
Sistem
kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara lain,
seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara
sosialis.
Dalam
sistem hukum Indonesia, Prof. Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan
hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang
mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang
sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No.62
tahun 1958.
Kecondongan
pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu
kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah,
lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu
untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan,
terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.
2. Pengaturan
Status Anak dari Hasil Perkawinan Campuran Berdasarkan UU No. 62 Tahun 1958
Tentang Kewarganegaraan
Indonesia
menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak mengikuti
ayah. Dalam Pasal 13
ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan:
“Anak yang
belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum
kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarganegaraan Republik
Indonesia, turut memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia setelah ia
bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal
dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena
ayahnya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menjadi tanpa
kewarganegaraan.”
Dalam ketentuan UU kewarganegaraan
ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi Warga Negara
Indonesia dan bisa menjadi Warga Negara Asing:
a. Status hukum
anak menjadi Warga Negara Indonesia
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita WNA
dengan pria WNI (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958), maka kewarganegaraan
anak mengikuti ayahnya. Kalaupun Ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si
anak terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Bila suami
meninggal dunia dan anak-anak masih dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat
menjadi wali bagi anak-anak nya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang
berstatus pegawai negeri) meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat
memperoleh pensiun suami.
b. Status hukum anak
menjadi Warga Negara Asing
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita
warganegara Indonesia dengan warganegara asing. Anak tersebut sejak lahirnya
dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan
Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus
terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi
perceraian, akan sulit bagi ibu untuk mengasuh anaknya, walaupun pada pasal 3
UU No.62 Tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk
memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang masih di bawah umur dan
berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan.
Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958,
hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan
anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum
berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga
mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun
atau belum menikah) menjadi hilang (apabila anak tersebut tidak memiliki
hubungan hukum dengan ayahnya).
3. Pengaturan
Status Anak dari Hasil Perkawinan Campuran Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2006
Tentang Kewarganegaraan
Pemberlakuan
UU No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI, memunculkan sederet aturan dan
petunjuk pelaksanaan itu rupanya belum membuat urusan kawin campuran selesai
seratus persen. Banyak pasangan yang telah maupun mau melakukan perkawinan
campuran masih mengeluhkan kesulitan yang dihadapi di lapangan. Jumlah anak
yang didaftarkan untuk memperoleh warga negara ganda terbatas. Bisa jadi,
keengganan pasangan antar negara mendaftar karena sosialisasi kurang, pilihan
untuk tidak menjadi WNI, plus prosedur pengurusan yang dirasa panjang, serta
menguras tenaga dan uang.
Pengesahan
Undang-undang Kewarganegaraa No. 12 Tahun 2006 merupakan momentum bersejarah
bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kelahiran undang-undang ini memiliki nilai
historis karena produk hukum yang digantikan, yakni Undang-undang No. 62 Tahun
1958 merupakan peninggalan rezim orde lama yang dilestarikan orde baru.
Konfigurasi politik era orde lama dan orde baru relatif otoritarian, cenderung
melahirkan produk hukum konservatif. Sedangkan di era reformasi, karakter
politik cenderung demokratis melahirkan aturan-aturan legal yang responsif.
Perubahan konfigurasi politik inilah yang mengantarkan undang-undang
kewarganegaraan dari yang berwatak konservatif menjadi responsif.
Bagian
yang paling penting dari undang-undang baru ini adalah dianutnya asas campuran Ius
Sanguinis - Ius Solli dan mengakui kewarganegaraan ganda pada
anak-anak dari pasangan kawin campur dan anak-anak yang lahir dan tinggal di
luar negeri hingga usia 18 tahun. Artinya sampai anak berusia 18 tahun,
diizinkan memiliki dua kewarganegaraan. Setelah mencapai usia tersebut ditambah
tenggang waktu tiga tahun barulah si anak diwajibkan memilih salah satunya.
Ketentuan inilah yang menghindari terjadinya stateless.
Undang-Undang
kewarganegaraan UU No. 12 Tahun 2006 ini memuat asas-asas kewarganegaraan umum
atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai
berikut:
a. Asas ius sanguinis (law of the
blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan
keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
b. Asas ius soli (law of the soil)
secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang
berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
c. Asas kewarganegaraan tunggal
adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
d. Asas kewarganegaraan ganda
terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Berdasarkan
UU No. 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan, anak yang lahir dari perkawinan
seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan
seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara
Indonesia.
Anak
tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau
sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih
tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18
tahun atau setelah kawin.
Pemberian
kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak
hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian
kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau
tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.
Bila
dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga
memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang
didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada
ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu
dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana
bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu
pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana.
Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada
ketentuan negara yang lain.
B. Perlindungan
Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Campuran Yang Tidak Tercatat
Pembuktian keturunan harus dilakukan
dengan surat kelahiran yang diberikan oleh Pegawai Pencatatan Sipil. Jika tidak
mungkin didapatkan surat kelahiran, hakim dapat memakai bukti-bukti lain asal
saja keadaan yang nampak keluar, menunjukkan adanya hubungan seperti antara
anak dengan orang tuanya. Oleh hakim yang menerima gugatan penyangkalan itu,
harus ditunjuk seorang wali khusus yang akan mewakili anak yang disangkal itu.
Ibu si anak yang disangkal itu, yang tentunya paling banyak mengetahui tentang
keadaan mengenai anak itu dan juga paling mempunyai kepentingan, haruslah
dipanggil di muka hakim. Anak yang lahir di luar perkawinan, dinamakan
“natuurlijk kind” la dapat diakui atau tidak diakui oleh ayah atau ibunya.
Menurut Undang-Undang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
akibat perkawinan yang sah, meskipun anak tersebut lahir dari perkawinan wanita
hamil yang usia kandungannya kurang dari enam bulan lamanya sejak ia menikah
resmi.
Masalah anak sah diatur di dalam
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 pada pasal 42, 43 dan 44.
Pasal 42:
“Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.”
Pasal 43:
1.
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya.
2.
Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 44:
1.
Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya,
bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat
dari perzinaan tersebut.
2.
Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak
yang berkepentingan.
Berkenaan dengan pembuktian
asal-usul anak, Undang-Undang Perkawinan di dalam pasal 55 menegaskan:
1.
Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang
authentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
2. Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1)
pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang
asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan
bukti-bukti yang memenuhi syarat.
3. Atas
dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) ini, maka instansi pencatat
kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan
akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Anak adalah subjek hukum yang belum
cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua
atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil
perkawinan campuran dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
kewarganegaraan, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak
dengan ibunya, karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas
untuk anak hasil perkawinan campuran. Dimana anak dari hasil perkawinan
campuran mendapat hak untuk menentukan atau memilih kewarganegaraan. Hak
tersebut diberikan jika telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan setelah
berusia 18 tahun.
Ketentuan yang mengatur untuk
memilih kewarganegaraan kepada anak hasil perkawinan campuran diberikan hanya
pada anak yang tercatat atau didaftarkan di Kantor Imigrasi. Sedangkan yang
tidak terdaftar tidak mendapatkan hak-hak seperti yang dinyatakan dalan UU
No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Meskipun begitu berdasarkan Keputusan
Menteri Depkumhum memberikan kelonggaran untuk melakukan naturalisasi sebelum
Undang-Undang Kewarganegaraan direvisi, yaitu batas waktu pendaftaran.
DAFTAR
FUSTAKA
1.
Buku
Amiruddin
dan Zainal Asikin, Pengantar Metode
Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
J.G.
Starke, Pengatar Hukum Internasional,
Edisi Kesembilan, Akasara Persada, Jakarta, 1989.
Purnadi
Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata International
Suatu Orientasi, Raja Grafindo Persada, Jakartaa, 1997.
Sri Susilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum
Perdata; Suatu Pengantar, Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005.
2.
Perundang –undangan
Undang-Undang
Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
3.
Internet
Nuning Hallet,
Mencermati Isi Rancangan UU Kewarganegaraan,
http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php
mod=publisher&op=viewarticle&artid=51, (diakses pada tanggal 15
Desember 2013)
Suwarningsih,
Kawin campur Menyebabkan Berubahnya Undang-Undang Tentang Kewarganegaraan RI.
www.baliprov.go.id.
20 Februari 2008 (diakses pada tanggal 15 Desember 2013)
No comments:
Post a Comment
Aturan Berkomentar :
1. Menggunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang Berkomentar spam, flood, junk, iklan, sara, sex dsb.(Komentar Akan Saya Hapus)
3. Silahkan gunakan OpenID untuk mempermudah blogwalking