BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum perang atau yang sering disebut
dengan hukum Humaniter internasional, atau hukum sengketa bersenjata
memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama
tuanya dengan perang itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan,
bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun
sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian.
Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa keinsyarafan bahwa
cara berperang yang tidak mengenal batas itu sangat merugikan umat
manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan
pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur
perang antara bangsa bangsa. Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja juga
mengatakan bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum
internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri
dimulai dengan tulisantulisan mengenai hukum perang. Dalam sejarahnya
hukum humaniter internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan
keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern dari
hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara
telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan
pengalamanpengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum humaniter itu
mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan
militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya komunitas
internasional, sejumlah negara di Seluruh dunia telah memberikan
sumbangan atas perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini,
hukum humaniter internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang
benar-benar universal.
Pada umumnya
aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan
agama. Hukum untuk perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama
sengketa bersenjata dapat ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir
semua negara atau peradaban di dunia. Dalam peradaban bangsa Romawi
dikenal konsep perang yang adil (just war). Kelompok orang
tertentu itu meliputi penduduk sipil, anakanak, perempuan, kombatan yang
meletakkan senjata dan tawanan perang.
B. Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan tim penulis
dalam menyusun makalah ini tiada lain adalah sebagai tugas mata kuliah
Hukum Humaniter Internasional yang di berikan oleh Dosen pembimbing
sebagai bahan diskusi dalam proses pembelajaran bersama pada semester
lima Fakultas Hukum Universitas Tadukalo Palu.
Selain itu tujuan pembelajaran dari Hukum
Humaniter Internasional adalah untuk mengetahui bahwa hukum humaniter
internasional tidak dimaksudkan untuk melarang perang, atau untuk
mengadakan undang-undang yang menentukan permainan “perang”, tetapi
karena alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi
penderitaan individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana
kebuasan konflik bersenjata diperbolehkan. Dengan alasan-alasan ini,
kadang-kadang hukum humaniter disebut sebagai ”peraturan tentang perang
berperikemanusiaan”. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu
perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip
kemanusiaan. Mohammed Bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum
humaniter adalah untuk memanusiawikan perang. Oleh karena itu,
perkembangan hukum perang menjadi hukum sengketa bersenjata dan kemudian
menjadi hukum humaniter sebenarnya tidak terlepas dari tujuan yang
hendak dicapai oleh hukum humaniter tersebut, yaitu :
- Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering).
- Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang.
- Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Disini yang terpenting adalah asas kemanusiaan.
BAB II
PERMASALAHAN
Pada makalah ini tim penulis akan
menguraikan beberapa permasalahan mengenai hukum humaniter internasional
tetapi lebih di khususkan lagi terhadap topik yang akan dibawakan yaitu
“jenis-jenis konflik bersenjata” dimana pokok permasalahannya antara
lain yaitu :
- Apa pengertian Hukum Humaniter Internasional ?
- Jenis konflik apa saja yang diatur dalam hukum humaniter ?
- Apa itu Perang, Konflik Bersenjata dan Damai ?
- Bagaimanakah Konflik bersenjata yang bersifat internasional ?
- Bagaimanakah Konflik bersenjata yang bersifat non-internasional ?
- Jenis konflik seperti apa yang tidak diatur dalam hukum humaniter?
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Humaniter
Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms conflict),
dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Istilah Hukum
humaniter sendiri dalam kepustakaan hukum internasional merupakan
istilah yang relatif baru. Istilah ini lahir sekitar tahun 1970-an
dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun 1971. Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat rumusan atau definisi mengenai hukum humaniter :
1) Jean Pictet : “International
humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision,
whether written and customary, ensuring respect for individual and his
well being.”
2) Geza Herzeg : “ Part of the
rule of public international law which serve as the protection of
individuals in time of armed conflict. Its place is beside the norm of
warfare it is closely related to them but must be clearly distinguish
from these its purpose and spirit being different.”
3) Mochtar Kusumaatmadja: “Bagian
dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban
perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri
dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.”
4) Esbjorn Rosenbland : “The law
of armed conflict berhubungan dengan permulaan dan berakhirnya
pertikaian; pendudukan wilayah lawan; hubungan pihak yang bertikai
dengan negara netral. Sedangkan Law of Warfare ini antara lain mencakup :
metoda dan sarana berperang, status kombatan, perlindungan yang sakit,
tawanan perang dan orang sipil.”
5) S.R Sianturi : “Hukum yang
mengatur mengenai suatu sengketa bersenjata yang timbul antara dua atau
lebih pihak-pihak yang bersengketa, walaupun keadaan sengketa tersebut
tidak diakui oleh salah satu pihak.“
6) Panitia tetap hukum humaniter, departemen hukum dan perundangundangan merumuskan sebagai berikut : “Hukum
humaniter sebagai keseluruhan asas, kaedah dan ketentuan internasional,
baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mencakup hukum perang dan hak
asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat
dan martabat seseorang.”
Dengan demikian, Hukum Humaniter
Internasional adalah seperangkat aturan yang, karena alasan kemanusiaan
dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata. Hukum ini
melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian,
dan membatasi cara-cara dan metode berperang. Hukum Humaniter
Internasional adalah istilah lain dari hukum perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict).
Hukum Humaniter Internasional adalah
bagian dari hukum internasional. Hukum internasional adalah hukum yang
mengatur hubungan antar negara. Hukum internasional dapat ditemui dalam
perjanjian-perjanjian yang disepakati antara negara-negara — yang sering
disebut traktat atau konvensi — dan secara prinsip dan praktis negara
menerimanya sebagai kewajiban hukum. Dengan demikian, maka hukum
humaniter tidak saja meliputi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
perjanjian internasional, tetapi juga meliputi kebiasaan-kebiasaan
internasional yang terjadi dan diakui.
Secara implisit dalam
pengertian perjuangan Nasional atau memperjuangkan kepentingan Nasional,
tidak dapat dilepaskan dengan kemungkinan-kemungkinan adanya
pertentangan kepentingan dengan bangsa lain, bahkan pula pertentangan
kepentingan antar kelompok dalam tubuh bangsa sendiri. Dari sini
timbullah situasi konflik. Penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan
akomodasi, integrasi secara konsensus tanpa kekerasan. Banyak dilakukan
dengan tekanan dan kekerasan, tidak terbatas selalu dengan kekerasan
senjata, tetapi dengan bentuk-bentuk kekerasan yang meliputi bidang
kehidupan, apakah politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.
Perang adalah pelaksanaan atau bentuk
konflik dengan intensitas kekerasan yang tinggi. Von Clausewitz, seorang
militer dan filsuf Jerman mengatakan antara lain bahwa perang adalah
kelanjutan politik dengan cara-cara lain. Dengan prinsip tersebut ia
melihat bahwa hakekat kehidupan bangsa adalah suatu perjuangan sepanjang
masa dan dalam hal ini ia identikkan politik dengan perjuangan
tersebut. Sementara Indonesia menganut pendirian bahwa Bangsa Indonesia
adalah Bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaannya. Pada
hakekatnya perang adalah mematahkan semangat musuh untuk melawan.
Dahulu rakyat tidak mengetahui adanya
perang, karena peperangan dilakukan oleh dua negara dengan masing-masing
menggunakan prajuritnya bahkan prajurit sewaan. Saat ini, bersamaan
dengan tumbuhnya demokrasi dalam pemerintahan dan dukungan teknologi
yang cepat, maka berubahlah perang dan konflik antar negara menjadi
sangat luas dan kompleks. Dalam alam demokrasi, perang dan konflik telah
melibatkan secara politis seluruh rakyat negara yang bersangkutan.
Dengan alat-alat komunikasi mutakhir setiap manusia dimanapun berada
akan dapat dijangkau oleh radio, bahkan televisi, sarana komunikasi dan
informasi lainnya sebagai alat konflik yang akan mempengaruhi
pikirannya.
Negara yang memulai perang, melakukannya
dengan melancarkan serangan berkekuatan militer terhadap Negara yang
hendak ditundukkannya. Serangan dengan kekuatan militer dapat berupa
satu ofensif luas yang dinamakan invasi, juga dapat berupa serangan
dengan sasaran terbatas. Hal ini, mencerminkan adanya konflik bersenjata
dimana pihak-pihak yang berperang menggunakan kemampuan senjata yang
dimiliki. Konflik bersenjata umumnya terjadi antar Negara, namun konflik
bersenjata bukan perang dapat terjadi di dalam suatu Negara sebagai
usaha yang dilakukan daerah untuk memisahkan diri atau gerakan
separatisme dengan menggunakan kekerasan senjata, dan usaha terorisme
baik yang bersifat nasional maupun internasional. Masalah-masalah
tersebut, ada yang berkembang sepenuhnya sebagai usaha domestik karena
dinamika dalam satu Negara, tetapi juga ada yang terjadi karena peran
atau pengaruh Negara lain. Meskipun masalah-masalah itu tidak termasuk
perang, dampaknya bagi Negara yang mengalami bisa sama atau dapat
melebihi.
Dewasa ini (pada masa damai), sering
terjadi konflik di dalam suatu Negara yang dipandang akan berdampak
langsung maupun tidak langsung bagi stabilitas suatu Negara. Kesalahan
tindakan preventif terhadap konflik yang terjadi, akan berakibat fatal
bagi keutuhan sebuah Negara. Pengalaman penanganan konflik etnik yang
melanda Uni Soviet dan Negara-negara bagian, misalnya, menyadarkan
banyak Negara akan arti pentingnya tindakan preventif untuk pencegahan
konflik, agar tidak berdampak negatif bagi keamanan nasional mereka.
Pengalaman Uni Soviet, yang gagal untuk mengantisipasi konflik
menyebabkan Negara tersebut runtuh menjadi serpihan-serpihan Negara
kecil, ternyata telah menyadarkan banyak Negara akan dampak langsung
konflik bagi aspek pertahanan. Begitu pula sulitnya penanganan konflik
yang dipicu oleh masalah identitas agama yang menyebabkan konflik, yang
belum kunjung selesai di India antara Hindu dan Muslim sehingga Muslim
membentuk identitas tersendiri sejak akhir abad 19 mendorong setiap
Negara untuk mengantisipasi sifat dan jenis-jenis konflik yang mungkin
berdampak bagi faktor keamanan dan pertahanan.
C. Jenis-jenis Konflik Bersenjata
Secara garis besar,
hanya ada dua bentuk konflik bersenjata saja yang diatur dalam Hukum
Humaniter sebagaimana yang dapat dilihat dan mengkaji konvensi-konvensi
jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 yaitu : 1). “sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional” (international armed conflict); serta 2.) “sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional” (non-international armed conflict). Pembagian dua bentuk konflik ini adalah juga menurut Haryomataram.
Selain Konvensi Jenewa dan Protokol
Tambahan, para pakar Hukum Humaniter telah mengajukan bentuk konflik
bersenjata, antara lain :
- Starke, membagi konflik bersenjata menjadi dua, yaitu war proper between States, and armed conflict which are not of the character of war. Mengenai “armed conflict” yang menjadi pihak belum tentu negar, dapat juga bukan negara menjadi pihak dalam konflik tersebut. Ditambahkan pula bahwa “war proper” adalah “declared war”, yaitu perang yang didahului dengan suatu “declaration of war”.
- Shigeki Miyazaki, pakar ini menjabarkan konflik bersenjata sebagai berikut :
- Konflik bersenjata antara pihak peserta konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 1 dan Protokol I, Pasal 1, Paragraf 3.
- Konflik bersenjata antara pihak peserta (negara) dengan bukan pihak peserta (negara atau penguasa de facto), misalnya penguasa yang memimpin kampanye pembebasan nasional yang telah menerima Konvensi Jenewa dan/atau Protokol. Konvensi Jenewa Pasal 2, Paragraf 4, Protokol Tambahan I, Pasal 1, Paragraf 4, Pasal 96, Paragraf 2.
- Konflik bersenjata antar pihak peserta (negara) dan bukan pihak peserta (negara atau penguasa de facto), yang belum menerima baik Konvensi Jenewa maupun Protokol. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Marthen Clause, Protokol II (penguasa : authority).
- Konflik bersenjata antara dua bukan pihak peserta (non-contracting parties). Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Kovensi Jenewa Pasal 3 (penguasa), Marthen Clause, Protokol 2 (penguasa).
- Konflik bersenjata yang serius yang tidak bersifat internasional (pemberontakan). Konvensi Jenewa, Pasal 3, Protokol 2, Hukum Internasional Publik.
- Konflik bersenjata yang lain. Kovenan Internasional HAM, Hukum Publik (Hukum Pidana).
- Haryomataram, membagi konflik bersenjata sebagai berikut :
1) Konflik Bersenjata yang bersifat Internasional
Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of National Liberation) dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict).
Konflik bersenjata internasional “murni”
adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara.
Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik
bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity)
di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik
bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan
ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol
tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik
bersenjata internasional.
Mengenai Internationalized Internal Armed Conflict dapat dikatakan bahwa yang dimaksud adalah suatu non-international armed conflict kemudian karena ada pengakuan atau bantuan dari negara ke tiga berkembang menjadi non-international armed conflict yang di internasionalisir.
Mengenai apa yang dimaksdkan dengan istilah “armed conflict not of an international character” yang terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan “non-international armed conflict pada
Protokol Tambahan II 1977, tidak dapat ditemukan penjelasan dalam
konvensi atau protokol tersebut. Penjelasan selanjutnya dapat dilihat
pada pembahasan tentang Protokol Tambahan 1977.
Sengketa bersenjata yang bersifat
internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara
(misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata
antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan
di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta
Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
2) Konflik Bersenjata yang bersifat Non-Internasional
Sengketa bersenjata yang bersifat
non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang
terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war)
(misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan
pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang
pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk).
Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur
hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article
Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
Di samping mengetahui maksud atau
pengertian konflik bersenjata non-internasional menurut Konvensi Jenewa
1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977, maka tidak ada salahnya
mengetahui bagaimana pengertian konflik non-internasional menurut para
ahli. Berikut dicantumkan bagaimana pendapat ahli dalam usaha mereka
untuk merumuskan apa yang disebut dengan sengketa bersenjata
non-internasional.
1. Dieter Fleck
Konflik bersenjata non-internasional
adalah suatu konfrontasi antara penguasa pemerintah yang berlaku dan
suatu kelompok yang dipimpin oleh orang yang bertanggung jawab atas anak
buahnya, yang melakukan perlawananan bersenjata di dalam wilayah
nasional serta telah mencapai intensitas suatu kekerasan bersenjata atau
perang saudara.
2. Pietro Verri
Suatu konflik non-internasional dicirikan
dengan pertempuran antara angkatan bersenjata suatu negara dengan
perlawanan dari sekelompok orang atau pasukan pemberontak… Bagaimanapun
juga suatu konflik di suatu wilayah negara antara dua kelompok etnis
dapat pula diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata non-internasional
asalkan konflik tersebut memenuhi syarat-syarat yang diperlukan seperti
intensitas konflik, lama atau durasi konflik dan partisipasi rakyat
pada konflik tersebut. Selanjutnya, dikatakan pula oleh Verri, bahwa
konflik bersenjata non-internasional ini adalah sinonim dari perang
saudara.
3. Hans-Peter Gasser
Konflik non-international adalah
konfrontasi bersenjata yang terjadi di dalam wilayah suatu negara, yaitu
antara pemerintah di satu sisi dan kelompok perlawanan bersenjata di
sisi lain. Anggota kelompok perlawanan bersenjata tersebut apakah
digambarkan sebagai pemberontak, kaum revolusioner, kelompok yang ingin
memisahkan diri, pejuang kebebasan, teroris, atau istilah-istilah
sejenis lainnya berperang untuk menggulingkan pemerintah, atau untuk
memperoleh otonomi yang lebih besar di dalam negara tersebut, atau dalam
rangka memisahkan diri dan mendirikan negara mereka sendiri. Penyebab
dari konflik seperti ini bermacam-macam; seringkali penyebabnya adalah
pengabaian hak-hak minoritas atau hak asasi manusia lainnya yang
dilakukan oleh pemerintah yang diktator sehingga menyebabkan timbulnya
perpecahan di dalam negara tersebut.
Sebelum lahirnya Konvensi Jenewa 1949,
tidak ada ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perang saudara atau
pemberontakan. Baru setelah lahirnya Konvensi-Konvensi Jenewa tahun
1949, maka mengenai sengketa bersenjata yang bersifat ini diatur. Namun
demikian, apabila pihak pemberontak memperoleh status sebagai pihak yang
berperang (belligerent), maka hubungan antara pemerintah de jure dan
pihak pemberontak akan diatur oleh hukum internasional khususnya yang
mengenai perang dan netralitas. Konsekuensi dari hal ini adalah akan
mengakibatkan berakhirnya status sifat intern (internal character) dari konflik bersenjata tersebut. Hal ini disebabkan karena pengakuan atas status belligerent tersebut oleh pemerintah de jure atau pihak ketiga akan memperkuat kedudukan pihak belligerent, sehingga apabila hal ini dilihat dari sudut pandang pemerintah de jure, maka secara politis tentunya akan merugikan pemerintah de jure. Oleh karena itu, pemerintah de jure akan selalu berusaha untuk menyangkal adanya status resmi apapun dari pihak pemberontak.
Pasal 3 keempat Konvensi Jenewa 1949
menyatakan “Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat
internasional yang berlangsung di dalam wilayah salah satu Pihak Agung
penandatangan, tiap Pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
Orang-orang yang tidak mengambil bagian
aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang
telah meletakkan senjatasenjata mereka serta mereka yang tidak lagi
turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penawanan
atau sebab lain apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan
dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang
didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin,
keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Untuk
maksud ini, maka tindakantindakan berikut dilarang dan akan tetap
dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas pada
waktu dan di tempat apapun juga :
- Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, penyekapan, perlakuan kejam dan penganiayaan;
- Penyanderaan;
- Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;
- Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.
Pasal 3 mengharuskan pihak-pihak
penandatangan untuk memperlakukan korban sengketa bersenjata internal
menurut prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 3 ayat 1. Selain itu,
Pasal 3 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 memberikan jaminan perlakuan
menurut asas-asas perikemanusiaan, terlepas dari status apakah sebagai
pemberontak atau sifat dari sengketa bersenjata itu sendiri. Dalam Pasal
3 keempat Konvensi tahun 1949 ini terdapat semua pokok utama perlakuan
korban perang menurut Konvensi-konvensi 1949, sehingga pasal ini
dinamakan juga Konvensi Kecil (Convention in Miniature). Selanjutnya Pasal 3 ayat 2 Konvensikonvensi Jenewa 1949 menyatakan bahwa yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat.
Sebuah badan humaniter tidak berpihak,
seperti Komite Palang Merah Internasional dapat menawarkan jasa-jasanya
kepada pihak-pihak dalam sengketa. Pihak-pihak dalam sengketa
selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan
persetujuan-persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan
lainnya dari konvensi ini. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di
atas, tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam
sengketa.
Ketentuan yang menyatakan bahwa
Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan
dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, menunjukkan bahwa dalam
peristiwa terjadinya sengketa dalam negara tidak dengan sendirinya seluruh
konvensi berlaku, melainkan hanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3
ayat 1. Selanjutnya, kalimat diadakannya perjanjian-perjanjian demikian
antara pemerintah de jure dan kaum pemberontak tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam pertikaian, yang
berarti bahwa maksud dari Pasal 3 adalah sematamata didorong cita-cita
perikemanusiaan dan tidak dimaksudkan untuk mencampuri urusan dalam
negeri suatu negara.
D. Jenis Konflik yang tidak diatur dalam Hukum Humaniter
Selain ke dua jenis konflik tersebut di
atas, maka terdapat jenis konflik lainnya yang tidak diatur dalam Hukum
Humaniter. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (2)
Protokol II 1977 yang berbunyi : “Protokol ini tidak berlaku pada
situasi-situasi kekerasan dan ketegangan dalam negeri, seperti
huru-hara, tindakan-tindakan kekerasan yang bersifat sporadis dan
terisolir, serta tindakan-tindakan yang bersifat serupa lainnya, yang
bukan merupakan sengketa bersenjata”. Pada ilustrasi di atas, tidak
terdapat tanda-tanda upaya pemisahan diri dari negara induk, karena
jenis konflik yang terjadi masih dalam koridor ketegangan dan kekerasan
dalam negeri dengan intensitas konflik yang relatif masih rendah.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara garis besar, hanya ada dua tipe konflik saja yang diatur dalam Hukum Humaniter, yaitu :
1) Sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional (international armed conflict)
Sengketa bersenjata yang bersifat
internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara
(misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata
antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan
di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta
Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
2) Sengketa bersenjata yang bersifat Nasional / non-internasional” (non-international armed conflict).
Sedangkan sengketa bersenjata yang
bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan”
yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war)
(misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan
pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang
pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk).
Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur
hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article
Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
Kemudian selain ke dua jenis konflik
tersebut di atas, maka terdapat jenis konflik lainnya yang tidak diatur
dalam Hukum Humaniter. Mengapa demikian? Karena tidak semua ‘konflik’ yang
ada diatur dalam Hukum Humaniter walaupun konflik tersebut menggunakan
senjata serta mengakibatkan kerusakan dan kehancuran. Hal ini dapat
dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) Protokol II 1977 yang berbunyi :
“Protokol ini tidak berlaku pada situasi-situasi kekerasan dan
ketegangan dalam negeri, seperti huru-hara, tindakan-tindakan kekerasan
yang bersifat sporadis dan terisolir, serta tindakan-tindakan yang
bersifat serupa lainnya, yang bukan merupakan sengketa bersenjata”. Pada
ilustrasi di atas, tidak terdapat tanda-tanda upaya pemisahan diri dari
negara induk, karena jenis konflik yang terjadi masih dalam koridor
ketegangan dan kekerasan dalam negeri dengan intensitas konflik yang
relatif masih rendah.
B. Saran-saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan
kepada mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang Hukum Humaniter
Internasional lebih khusus lagi mengenai jenis-jenis konflik bersenjata.
Kita sebagai manusia tentu masih banyak
kekurangan oleh karena itu marilah kita bersama saling mengisi
kekurangan itu dengan berbagi pengetahuan. Tim penulis menyadari bahwa
kemampuan yang dimiliki masih sangat kurang dan sangat terbatas untuk
meningkatkan kemampuan penulis maka sangat diharapkan
sumbangan-sumbangan pemikiran dari mahasiswa lainnya / pembaca. Karena
tim penulis memahami sebagai seorang mahasiswa yang masih dalam tahap
pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Zulkarnain, S.H, M.H & Insarullah, S.H, Buku Ajar Hukum Humaniter dan HAM, Fakultas Hukum Untad, Palu, 2002.
Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, S.H, LLM, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Alumni, Bandung, 2002.
ICRC, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999.
———-, Penghormatan Terhadap Hukum Humaniter Internasional : Buku Pedoman untuk Anggota Parlemen No. 1 tahun 1999, ICRC, 1999.
C. de Rover, To Serve & To Protect : Acuan Universal Penegakan HAM, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.
Brig. Jend TNI. (Purn). GPH. Haryo Mataram, S.H, Bunga Rampai Hukum Humaniter (Hukum Perang), Bumi Nusantara Jaya, Jakarta, 1988.
———-, Konflik Bersenjata dan Hukumnya, Universitas Trisakti, Jakarta, 2002
Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman RI, Terjemahan Konvensi Jenewa tahun 1949, Agustus 1999.
Geoffrey Robertson QC, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan : Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komnas HAM, Jakarta, 2002.
No comments:
Post a Comment
Aturan Berkomentar :
1. Menggunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang Berkomentar spam, flood, junk, iklan, sara, sex dsb.(Komentar Akan Saya Hapus)
3. Silahkan gunakan OpenID untuk mempermudah blogwalking